Pemerintah Berencana Tertibkan Penyaluran Subsidi Listrik dan Elpiji
Skema penyaluran yang fokus pada masyarakat yang ada di data terpadu kesejahteraan sosial membuat subsidi listrik semakin tepat sasaran. Pemerintah juga bisa menghemat anggaran subsidi dan tidak membuatnya kian membesar.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketepatan sasaran penyaluran subsidi energi, baik listrik maupun elpiji 3 kilogram, bergantung dari data yang digunakan. Pemerintah berencana memfokuskan penyaluran subsidi pada masyarakat yang terdaftar dalam data terpadu kesejahteraan sosial atau DTKS. Namun, skema ini membutuhkan verifikasi dan validasi data.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (2/6/2021), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memaparkan, rencana anggaran, pendapatan, dan belanja negara (RAPBN) 2022 untuk subsidi listrik sebesar Rp 61,83 triliun untuk 38,53 juta pelanggan dan volume penjualan listrik 67,66 terawatt jam (TWh). Angka subsidi ini lebih tinggi dibandingkan APBN 2021 yang sebesar Rp 59,26 triliun untuk 38,33 juta pelanggan dan volume penjualan 62,4 TWh.
Namun, pemerintah menawarkan alternatif subsidi listrik dalam RAPBN 2022 sebesar Rp 39,5 triliun. Pada skema alternatif ini, sebanyak 15,19 juta pelanggan daya listrik 450 voltampere (VA) yang tidak terdaftar dalam DTKS tidak mendapatkan subsidi.
Menurut Arifin, skema tersebut membuat subsidi listrik semakin tepat sasaran. Pemerintah juga bisa menghemat anggaran subsidi dan tidak membuatnya kian membesar. ”Kami koordinasi dengan Kementerian Sosial terkait pemutakhiran, verifikasi, dan validasi data ini,” katanya dalam rapat yang disiarkan secara langsung.
Skema tersebut membuat subsidi listrik semakin tepat sasaran. Pemerintah juga bisa menghemat anggaran subsidi dan tidak membuatnya kian membesar.
Anggota Komisi VII DPR, Dony Maryadi Oekon, menyoroti perbedaan kedua skema RAPBN 2022 untuk subsidi listrik yang hampir mencapai 50 persen. Dia menggarisbawahi akurasi data yang menjadi acuan. Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi teknis di lapangan agar penyalurannya benar-benar tepat sasaran.
Di tengah pandemi Covid-19, anggota Komisi VII DPR, Ratna Juwita Sari, menilai, pemerintah terburu-buru dalam memotong anggaran untuk subsidi listrik lewat skema alternatif tersebut. ”Ada situasi yang menjepit. Kondisi APBN sedang tidak baik-baik saja, tetapi masyarakat masih membutuhkan subsidi listrik. Saya menyarankan anggaran subsidi RAPBN 2022 sama seperti tahun ini dengan catatan adanya perbaikan data,” tuturnya.
Selain itu, kuota untuk subsidi elpiji 3 kilogram yang berdasarkan APBN 2021 sebanyak 7,5 juta ton juga turut menjadi sorotan. Menurut perkiraan pemerintah, realisasi penyaluran elpiji bersubsidi itu mencapai 7,15 juta ton dengan realisasi sepanjang Januari-Mei 2021 sebesar 2,96 juta ton. Pada RAPBN, Kementerian ESDM mengusulkan kuota tabung elpiji bersubsidi berkisar 7,4-7,5 juta ton.
Ratna menyatakan, perkiraan realisasi yang lebih rendah dibanding kuota tersebut merupakan permasalahan tersendiri karena isu kelangkaan elpiji bersubsidi masih terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu, dia meminta Kementerian ESDM memperinci sumber masalah tersebut, baik dari segi pola distribusi maupun jumlah piutang pemerintah pada PT Pertamina (Persero).
Pemerintah perlu menyiapkan strategi teknis di lapangan agar penyaluran subsidi benar-benar tepat sasaran.
Anggota Komisi VII DPR, Arkanata Akram, menambahkan, Kementerian ESDM perlu merinci sasaran awal selisih sekitar 350.000 ton elpiji bersubsidi. Selain itu, faktor munculnya selisih tersebut juga perlu ditelusuri.
Pengurangan premium
Paparan Kementerian ESDM menyebutkan, volume bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada RAPBN 2022 terdiri dari minyak tanah sebanyak 0,46-0,48 juta kiloliter dan solar 14,34-15,1 juta kiloliter. Besaran itu cenderung di bawah APBN 2021, yakni 0,5 juta kiloliter minyak tanah dan 15,8 juta kiloliter solar.
Adapun premium tidak masuk dalam daftar BBM bersubsidi. Arifin menyebutkan, pemerintah akan mengurangi suplai premium di kawasan Jawa, Madura, dan Bali. Di luar kawasan tersebut, suplai premium tetap ada.
Dia mengatakan, pengurangan tersebut dilatarbelakangi oleh emisi yang ditimbulkan premium. Sebagai penggantinya, pemerintah akan menyuplai BBM jenis pertalite yang lebih ramah lingkungan.