Dorong Penerimaan Pajak, Pemerintah Tambah 18 Kantor Pelayanan Pajak Madya
Untuk menopang target penerimaan pajak tahun 2021 sebesar Rp 1.299 triliun, pemerintah melakukan perombakan organisasi dengan mengonversi 18 kantor pelayanan pajak (KPP) level pratama menjadi level madya.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melakukan berbagai langkah untuk menggenjot penerimaan pajak yang hingga kini masih terkontraksi. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan mereorganisasi kantor pelayanan pajak sebagai ujung tombak penerimaan negara.
Realisasi penerimaan pajak hingga akhir April 2021 mencapai Rp 374,9 triliun atau 30,94 persen dari proyeksi tahun ini sebesar Rp 1.229,6 triliun. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, penerimaan pajak terkontraksi negatif 0,46 persen.
Dalam acara Peresmian Organisasi dan Tata Kerja Baru Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang digelar secara virtual, Senin (24/5/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, meskipun secara keseluruhan masih terkontraksi, sejumlah segmen mulai menunjukkan pemulihan.
Realisasi penerimaan pajak hingga akhir April 2021 mencapai Rp 374,9 triliun atau 30,94 persen dari target total untuk tahun ini sebesar Rp 1.229,6 triliun.
Segmen yang mulai pulih antara lain Pajak Penghasilan (PPh) badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPh badan terpantau tumbuh 31,1 persen secara bruto, sementara PPN dalam negeri tumbuh 6,4 persen secara bruto.
”Meskipun tidak semua sektor atau segmen sudah pulih, ada yang pulih cukup nyata,” kata Sri Mulyani.
Dia menyebut, strategi yang tepat dibutuhkan untuk mengejar target penerimaan negara. Strategi tersebut bisa tercapai apabila ada sinergi yang baik di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Salah satu strategi yang bisa dilakukan adalah dengan memaksimalkan kantor pelayanan pajak (KPP).
Untuk menyederhanakan proses bisnis inti pada KPP, dilakukan juga pengumpulan fungsi-fungsi yang serumpun dalam satu seksi, dengan mengonversi 18 KPP Pratama menjadi 18 KPP Madya di beberapa kantor wilayah sesuai skala ekonomi dan potensi masing-masing wilayah.
Fokus penerimaan
Sebelum adanya konversi, terdapat 20 KPP Madya yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dengan adanya tambahan 18 KPP Madya, saat ini terdapat 38 KPP Madya yang menurut Sri Mulyani akan bertanggung jawab terhadap 33,79 persen penerimaan pajak negara.
”Sebelumnya 20 KPP Madya bertanggung jawab untuk berkontribusi 19,53 persen penerimaan pajak negara,” ujar Sri Mulyani.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, melalui reorganisasi tersebut, KPP Pratama akan lebih fokus pada penguasaan wilayah terkait informasi, pendataan, pemetaan subyek dan obyek pajak melalui produksi data, pengawasan formal serta material SPT Masa dan SPT Tahunan.
Selanjutnya, KPP Madya bersama KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Khusus akan fokus pada pengawasan terhadap wajib pajak strategis penentu penerimaan sehingga diharapkan dapat mengamankan 80-85 persen dari total target penerimaan pajak secara nasional.
”Wajib pajak strategis di KPP masing-masing, terutama wajib pajak yang berkelompok dan grup, beserta pemiliknya disatukan dalam tempat berdasarkan satu KPP Madya,” kata Suryo.
Ia menambahkan, reorganisasi instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak merupakan bagian dari reformasi perpajakan. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui penyelenggaraan administrasi perpajakan yang efisien, efektif, berintegritas, berkeadilan, serta meningkatkan kredibilitas organisasi.
Peleburan pajak
Untuk memaksimalkan penerimaan, lanjut Suryo, Direktorat Jenderal Pajak telah mengajukan skema multitarif PPN untuk diimplementasikan tahun 2022. Ia menjelaskan terdapat dua bentuk PPN dalam skema multitarif.
Pertama, tarif lebih rendah untuk barang/jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah atau kebutuhan pokok. Kedua, tarif lebih tinggi untuk barang mewah.
Berdasarkan dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2022, pemerintah tengah mengkaji kemungkinan untuk melebur pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ke dalam sistem PPN.
Dengan perbaikan sistem tersebut, pemerintah berharap ke depan PPN akan lebih sehat dan menjadi sumber utama penerimaan pajak.
Merujuk Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif PPnBM paling rendah sebesar 10 persen dan paling tinggi 200 persen. Sementara tarif PPN yang berlaku saat ini sebesar 10 persen.