Bandeng Kawak Sidoarjo dan Gresik yang Tak Kawakan
Bertambak bandeng bisa jadi usaha kawak (lawas) yang berkembang sejak zaman Majapahit. Namun, eksistensinya tak pernah kawakan (usang) sebagai pendenyut nadi ekonomi ataupun penjaga kearifan budaya kesetiakawanan sosial.
Bertambak bandeng bisa jadi usaha kawak atau lawas yang berkembang sejak zaman Majapahit atau bahkan sebelumnya. Namun, eksistensi usaha rakyat ini tak pernah kawakan (usang) sebagai pendenyut nadi ekonomi ataupun penjaga kearifan budaya kesetiakawanan sosial, terutama di Gresik dan Sidoarjo.
Setelah absen akibat pandemi Covid-19 tahun lalu, Pasar Raya Bandeng dan Lelang Bandeng Kawak di Kabupaten Gresik hadir kembali pada Ramadhan 2021. Namun, karena pandemi belum sepenuhnya teratasi, kegiatan yang telah berlangsung sejak zaman Sunan Giri ini digelar dengan beragam strategi agar tak memicu kluster baru penularan Covid-19.
Salah satunya Pasar Raya Bandeng yang biasanya berpusat di tengah kota, kini digelar di 10 kecamatan demi meminimalkan kerumunan pedagang dan pembeli. Lokasinya di Kecamatan Manyar, Ujung Pangkah, Kedamean, Sidayu, Benjeng, Bungah, Cerme, Duduksampeyan, Menganti, dan Gresik.
Masih dalam upaya menyiasati pandemi, acara kontes dan lelang bandeng kawak digelar secara virtual. Jumlah tamu yang hadir dibatasi dan wajib menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Meski demikian, masyarakat bisa menyaksikan siaran langsungnya melalui beragam platform digital.
Baca juga : Mengepulkan Asap Bandeng Asap Sidoarjo
”Pasar bandeng dan lelang bandeng secara virtual merupakan upaya mempertahankan tradisi di tengah pandemi. Oleh karena itulah penerapan protokol kesehatan pencegahan sebaran Covid-19 tetap dikedepankan,” ujar Bupati Gresik Fandi Ahmad Yani pada acara Lelang Bandeng, Jumat (7/5/2021).
Di Gresik, usaha budidaya tambak terutama ikan bandeng (Chanos chanos) berkembang secara turun-temurun. Usaha ini menopang ekonomi rakyat dengan produksi mencapai 80.000 ton ikan bandeng per tahun dari tambak seluas 28.000 hektar. Dengan asumsi harga bandeng per kilogram Rp 10.000, total uang berputar mencapai Rp 1 triliun lebih, hanya dari usaha penjualan ikan segar.
Saat ini, rata-rata harga bandeng di petambak berada di kisaran Rp 20.000 per kilogram hingga 25.000 per kg. Dengan kata lain, perputaran uang di Kota Wali ini dari usaha tambak bandeng berpotensi mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya.
Selain nilai uangnya besar, budidaya bandeng juga merupakan sektor usaha padat karya yang mampu menyerap banyak tenaga kerja tanpa mensyaratkan pendidikan tinggi atau penguasaan keterampilan yang mumpuni.
Seiring berkembangnya pola konsumsi masyarakat, usaha bandeng pun berkembang pesat. Tak hanya dijual segar, ikan juga diolah dengan cara digoreng, dibakar, dikukus, diasap, disarden, dipresto, dikuah, dan dibuat otak-otak. Pengolahan bandeng memicu berkembangnya idustri kreatif makanan olahan.
Mengingat besarnya peran bandeng, Pasar Raya Bandeng dan Lelang Bandeng tetap digelar di tengah pandemi untuk menyemangati petambak agar usahanya terus berkembang.
Salah satu usaha yang berkembang pesat belakangan ini ialah cabut duri. Mayoritas digeluti oleh ibu rumah tangga sehingga mereka memiliki penghasilan tambahan untuk menaikkan taraf ekonomi keluarga tanpa perlu meninggalkan tugas utama mengurus anak dan suami.
Baca juga : Pasar Murah Bandeng Sambut Peringatan Maulid Nabi di Sidoarjo
Dengan produksi sebanyak 80.000 ton per tahun, bandeng Gresik tidak habis dikonsumsi oleh warga setempat. Bandeng-bandeng ini telah lama menjadi duta- duta kuliner ke sejumlah kota besar, seperti Surabaya dan Jakarta.
Seiring berkembangnya industri makanan olahan berbahan ikan, bandeng semakin mudah dijumpai di penjuru Nusantara, bahkan mancanegara, sebagai oleh-oleh bagi wisatawan ataupun perantauan.
”Mengingat besarnya peran bandeng, Pasar Raya Bandeng dan Lelang Bandeng tetap digelar di tengah pandemi untuk menyemangati petambak agar usahanya terus berkembang,” kata Fandi Ahmad Yani.
Merawat budaya
Selain ekonomi, Pasar Raya Bandeng dan Lelang Bandeng juga bagian dari upaya merawat budaya. Jejak usaha tambak setidaknya bisa ditemukan dalam Prasasti Karangbogem (1937) di Kecamatan Bungah. Prasasti yang ditulis oleh Batara Parameswara Pamotan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, pemimpin Majapahit (1350-1389), menyatakan tentang penetapan seorang patih untuk daerah tambak di Gresik.
Keberadaan prasasti ini menunjukkan betapa pentingnya usaha tambak di Gresik bagi Kerajaan Majapahit. Signifikansi tambak di Gresik juga dibuktikan dengan minat Belanda mengelola usaha tersebut. Melalui perusahaan dagangnya, VOC, Belanda memperluas area tambak dan memilah-milah atau membuat kluster usaha. Pada masa Presiden Soeharto, Gresik pernah menjadi penghasil ikan bandeng terbesar di Jatim tahun 1984.
Budayawan Gresik, Kris Aji AW, mengatakan, pasar bandeng yang biasanya berlangsung 2-3 hari menjelang Lebaran merupakan warisan leluhur. ”Pada masa Sunan Giri, banyak santri dari sejumlah daerah di Nusantara yang mondok di Gresik. Mereka biasanya pulang menjelang Lebaran,” ujarnya.
Baca juga : Bandeng 96 Kilogram Menangi Kontes Bandeng Tradisional di Gresik
Saat hendak pulang itulah banyak santri mencari oleh-oleh untuk keluarga di kampung halaman. Saat itulah banyak yang mencari bandeng. Di sisi lain, masyarakat setempat memiliki tradisi menyuguhkan masakan olahan bandeng sebagai menu Lebaran kepada tamu-tamunya yang berkunjung.
Kebiasaan saat Lebaran itu juga melahirkan budaya kontes dan lelang bandeng kawak. Kontes digelar untuk mendapatkan bandeng terbaik dan terbesar dari petambak. Untuk menghasilkan bandeng besar, butuh masa pemeliharaan selama bertahun-tahun sehingga disebut bandeng kawak. Usia bandeng yang dikonteskan minimal lima tahun.
Kesetiakawanan sosial
Kris Aji mengatakan, pada era Adipati Pusponegoro memerintah di Gresik di zaman Belanda, lelang bandeng dikelola oleh petambak masyarakat dengan tujuan menaikkan gengsi bagi pemenangnya. Semakin tinggi harga bandeng yang dibeli, semakin tinggi gengsinya di masyarakat. Setelah kemerdekaan, lelang dikelola pemerintah (Kompas, 31 Juli 2016).
Di awal pengelolaan pemerintah, lelang bandeng kerap bernuansa politik atau bisnis. Pemenang bisa pengusaha yang ingin mendapatkan proyek prioritas dari pemerintah. Pemenang juga bisa dari kalangan politisi yang menaikkan citra diri demi merengkuh kekuasaan.
Seiring berjalannya waktu, konsep lelang bandeng berubah menjadi sarana menumbuhsuburkan rasa kesetiakawanan sosial di masyarakat. Seperti yang terjadi pada malam Lelang Bandeng Gresik, Jumat pekan lalu, lelang bandeng menjadi ajang menghimpun dana dari pemodal besar dan pejabat.
Pada masa Sunan Giri, banyak santri dari sejumlah daerah di Nusantara yang mondok di Gresik. Mereka biasanya pulang menjelang Lebaran.
Fandi Ahmad mengundang Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak dan semua bupati serta wali kota di Jatim untuk hadir secara langsung dan virtual. Kepada hadirin, seperti Bupati Lamongan, Wali Kota Surabaya, Bupati Pasuruan, dan Bupati Sidoarjo, dia menawarkan ikan bandeng terbaik yang memenangi kontes untuk mendapatkan penawaran harga tertinggi.
Bandeng terbesar dengan bobot 6 kg berhasil dilelang dengan harga Rp 25,5 juta. Pemenangnya Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Adapun bandeng terbesar kedua dengan berat 5,1 kg dimenangi Sekda Provinsi Jatim Heru Tjahjono dengan penawaran Rp 20,2 juta.
Sementara itu, bandeng terbesar ketiga dengan berat 5,05 kg terjual pada Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko dengan penawaran Rp 10 juta. Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak yang tak ikut lelang tetap menyumbangkan dananya Rp 24 juta untuk memupuk kesetiakawanan sosial di antara sesama.
Uang yang terkumpul digunakan untuk kegiatan sosial yang tak dianggarkan oleh pemda atau dianggarkan, tetapi masih kurang nilainya. Kali ini, dananya dipakai untuk pengadaan alat bantu bagi penyandang disabilitas.
Di pesisir utara Jawa Timur, kontes dan lelang bandeng kawak juga mentradisi di Sidoarjo, tepatnya sejak 1952. Dengan tambak seluas 15.541 hektar atau sekitar 21 persen dari luas total wilayah Sidoarjo, produksi bandeng yang dihasilkan mampu mencapai 30.000 ton per tahun.
Di Sidoarjo, kontes dan lelang bandeng digelar untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun, pada 2019, acara serupa juga digelar untuk memeriahkan perayaan hari jadi kabupaten yang berjuluk ”Kota Delta” ini. Sejak pandemi Covid-19 merebak, kegiatan serupa ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Dalam acara Kontes dan Lelang Bandeng Sidoarjo sebelum pandemi, Rabu (13/11/2019), Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berhasil menghimpun dana Rp 1,4 miliar hanya dalam waktu 2 jam. Bandeng terbesar dengan berat 7,66 kg dimenangi Kahuripan Nirwana Village (KNV), pengembang perumahan dengan penawaran Rp 155 juta.
Bandeng terbesar kedua dimenangi Minarak Gas Brantas dan PT Sarana Dwi Makmur yang sama-sama menawar Rp 150 juta. Adapun bandeng terbesar ketiga dimenangi pengembang perumahan Pondok Tjandra dengan nilai penawaran Rp 120 juta.
Sekretaris Daerah Sidoarjo Achmad Zaini mengatakan, uang hasil lelang dikelola untuk kegiatan sosial masyarakat yang tidak dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Lelang bandeng merupakan sarana menggugah kesadaran warga, terutama perusahaan swasta yang beroperasi di Sidoarjo, untuk berpartisipasi mengatasi masalah sosial kemayarakatan dan menjadikan mereka peka pada lingkungan sekitar.
”Di sisi lain, kontes dan lelang bandeng menjadi penyuntik semangat bagi petambak untuk mengembangkan usahanya di tengah industri yang berkembang pesat di Sidoarjo,” ujar Zaini.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Sidoarjo Djoko Supriyadi menambahkan, kontes dan lelang bandeng juga berpotensi dikemas menjadi wisata edukasi dan hiburan bagi masyarakat. Proses pemeliharaan bandeng, penangkapan, hingga pengukuran berat bandeng berpotensi menjadi obyek wisata edukasi.
Sementara itu, lelang bandeng yang dimeriahkan oleh beragam budaya khas Sidoarjo, seperti penampilan Reog Cemandi dan tarian Banjar Kemuning, merupakan sarana edukasi dan hiburan bagi masyarakat. Dalam acara itu, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diberi kesempatan berkreasi mengolah bandeng menjadi makanan yang lezat dan memperkaya keanekaragaman oleh-oleh Sidoarjo.
Bertambak bandeng memang usaha kawak yang berkembang sejak zaman Majapahit, bahkan bisa jadi jauh sebelum itu. Namun, alih-alih ditinggalkan, eksistensi usaha budidaya bandeng ini justru terus berkembang sehingga mampu menjadi sumbu pemutar roda ekonomi di pesisir utara ”Brang Wetan”, sebutan Jatim.
Usaha tambak bandeng yang telah lama melebur dalam budaya masyarakat lokal sampai kini terbukti bisa berkontribusi positif dalam menumbuhsuburkan nilai kearifan terutama rasa kesetiakawanan sosial.