Pemerintah tengah mengkaji pemajakan aset kripto. Sejumlah pelaku pasar menyambut baik rencana itu. Namun, langkah memajaki dinilai mesti hati-hati agar tidak justru menghambat perkembangannya.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pelaku pasar menyatakan tidak mempersoalkan rencana pemerintah menerapkan pajak atas investasi ataupun transaksi aset kripto. Namun, mereka berharap pengenaan pajak tidak justru menghambat pengembangan ekosistem perdagangan dan investasi aset kripto yang relatif masih baru di Indonesia.
Saat ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah membahas model bisnis sebelum menetapkan jenis pajak yang dikenakan atas transaksi aset kripto. Jika komoditas ini masuk kategori barang dan jasa, transaksi yang dilakukan terhadap aset kripto dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara jika dilihat dari sudut pandang investasi, keuntungan (capital gain) yang didapat dari perdagangannya dapat dikenai Pajak Penghasilan (PPh).
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia Teguh Kurniawan Harmanda saat dihubungi pada Jumat (14/5/2021) menyatakan, pihaknya menyambut baik rencana penerapan pajak tersebut. Selain bisa berkontribusi bagi penerimaan negara, penerapan pajak atas aset kripto juga dapat memberikan dampak positif bagi ekosistem aset kripto di Indonesia.
Pengenaan pajak dapat diartikan bahwa pemerintah memberikan legitimasi terhadap industri dan instrumen investasi aset kripto di Tanah Air. Meski begitu, lanjut Teguh, pengenaan pajak perlu dikaji lebih mendalam dan hati-hati sehingga tidak menghambat perkembangan industri yang bergantung pada komoditas aset kripto.
”Sebaiknya pemerintah jangan langsung memberikan beban pajak yang terlalu besar. Pemerintah bisa memberikan insentif dengan mengenakan tarif pajak lebih rendah dari (tarif pajak) saham yang 0,1 persen, misalnya 0,05 persen,” ujarnya.
Sementara itu, CEO Indodax Oscar Damarwan berharap, penerapan pajak kripto perlu hati-hati agar tidak menghambat perkembangan industri. Ia sepakat jika transaksi aset kripto dapat dikenakan pajak final yang besarannya setara dengan transaksi saham atau reksadana, yakni 0,1 persen.
”Sebagai penyedia platform jual-beli aset kripto, kami menyambut baik rencana (pemajakan) tersebut. Artinya, ekosistem aset kripto dapat berkontribusi positif terhadap negara dan lebih menguatkan lagi keberadaan industri aset kripto di Indonesia,” katanya.
Tumbuh pesat
Menurut Oscar, saat ini investor aset kripto di Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang relatif pesat. Sepanjang triwulan I-2021, jumlah anggota aktif pada platform Indodax telah mencapai 3 juta pelanggan. Adapun volume transaksi pada platform ini secara tahunan mencatatkan pertumbuhan hingga 300 persen.
”Ini menandakan tingginya pertumbuhan dan minat yang sangat tinggi terhadap aset kripto di Indonesia. Pertumbuhan minat ini perlu dijaga karena saat ini Indonesia hanya menyumbang 1 persen volume transaksi cryptocurrency secara global,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, lembaganya kini tengah membahas model bisnis kripto. Aset kripto merupakan barang baru di Indonesia sehingga otoritas fiskal perlu mendalami lebih lanjut jenis pajak apa yang akan diterapkan.
Menurut Suryo, aset kripto bisa dikenai PPN apabila kripto dianggap sebagai mata uang atau alat tukar atas barang/jasa. ”Kita akan melihat terlebih dahulu apakah kripto bisa disamakan dengan barang dan jasa yang dikenakan PPN di daerah pabean atau tidak,” ujarnya.
Di sisi lain, aset kripto dapat dikenakan PPh yang ditarik atas keuntungan atau capital gain yang didapatkan oleh investor dari kenaikan nilai aset kripto. Meski belum menentukan jenis pajak yang akan digunakan, Suryo selaku perwakilan pemerintah, menegaskan bahwa aset kripto akan dikenai pajak.
”Misalnya, ada aset kripto yang saat dibeli nilainya Rp 1 juta, kemudian saat dijual menjadi Rp 3 juta. Keuntungan dari sisi investor Rp 2 juta ini yang bisa dikenai tarif PPh,” kata Suryo.