Demam kripto tengah melanda dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Jumlah pelanggan di platform-platform perdagangan bertambah, nilai transaksinya pun makin berlipat. Regulasi dan pengawasan dinilai kian mendesak.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
AFP/PIERRE TEYSSOT
Sebuah gambar menunjukkan toko mata uang kripto Bitcoin Italia pertama ”Bitcoin Compro Euro” (artinya Saya Beli Euro) pada 11 Desember 2017 di Rovereto, Italia utara.
Nilai transaksi perdagangan aset kripto di Tanah Air, sepanjang Januari-Maret 2021, mencapai Rp 126 triliun. Laporan 13 pedagang terdaftar ke Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menunjukkan, ada kenaikan nilai transaksi hingga 45 persen pada Maret 2021, yakni dari rata-rata Rp 36,5 triliun per bulan pada dua bulan pertama menjadi Rp 53 triliun pada bulan ketiga tahun ini.
Lonjakan itu, antara lain, didorong oleh kenaikan harga aset kripto, khususnya Bitcoin, yang naik dari kisaran Rp 407 juta per koin pada awal Januari 2021 menjadi Rp 880 juta per koin pada pertengahan Maret 2021. Harga Bitcoin mencapai puncak terbarunya, yakni pada kisaran Rp 940 juta per koin, pada pertengahan April 2021.
Kenaikan harga aset yang signifikan menarik para pendatang baru masuk ke arena perdagangan aset kripto beberapa tahun terakhir. Bappebti mencatat, jumlah pelanggan yang aktif bertransaksi di platform-platform yang disediakan 13 pedagang terdaftar mencapai 4,45 juta pelanggan. Angka ini diyakini bakal bertambah seiring meningkatnya literasi serta masih relatif kecilnya pemain aset kripto dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Selain itu, teknologi rantai blok (blockchain) yang berada di belakangnya dinilai memiliki prospek baik pada masa depan. Segenap proyek yang tengah dikerjakan dengan teknologi itu menawarkan solusi mengatasi ketidakpastian dan hambatan yang kini masih terjadi.
Namun, bagaimana sebenarnya status perdagangan aset kripto di Tanah Air? Apakah legal atau ilegal? Hasil rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sebagaimana tertuang dalam Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor S-30/M.EKON/09/2018 tanggal 24 September 2018, memasukkan aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka, tetapi melarangnya sebagai alat pembayaran.
Pertimbangannya, secara ekonomi, ada potensi investasi yang besar terkait dengan aset kripto. Selain itu, apabila transaksi kripto dilarang, ada potensi investasi keluar (capital outflow) dan konsumen dikhawatirkan mencari pasar yang melegalkan transaksi kripto. Berdasarkan kajian, komoditas digital atau komoditas kripto di sistem teknologi rantai blok dinilai bisa dikategorikan sebagai hak atau kepentingan sehingga terkategori sebagai subyek perdagangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
Di sisi lain, aset kripto telah berkembang luas sehingga pengaturannya mendesak guna memberikan perlindungan kepada masyarakat serta memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Oleh karena itu, beberapa regulasi diterbitkan untuk mengaturnya.
Sejumlah regulasi mengatur perdagangan kripto di Tanah Air, antara lain. adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto, Peraturan Bappebti Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka, serta Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan perkembangan usaha, perdagangan aset kripto memerlukan lembaga pengawas, lembaga kliring dan penjaminan berjangka, bursa berjangka, pedagang dan pelanggan, serta pengelola tempat penyimpanan aset kripto. Regulasi telah mengaturnya, tetapi hingga awal Mei 2021, sejumlah kelengkapan itu belum resmi dibentuk dan diumumkan ke publik, kecuali pedagang dan pelanggan yang telah lebih dulu aktif beberapa tahun terakhir.
Bitcoin yang digambarkan dalam foto file diambil pada 17 Juni 2014 di Washington, DC.
Kini, ketika segenap perangkat kelembagaan itu belum terwujud, hal yang urgen dikerjakan adalah meningkatkan literasi agar masyarakat mampu mengelola investasinya lebih cermat dan aman, paham akan risiko volatilitas aset kripto, dan terhindar dari risiko kejahatan. Selain itu, regulator dan pengawas mesti meningkatkan kewaspadaan soal potensi penggunaan aset kripto untuk tujuan ilegal, seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, atau pengembangan senjata pemusnah massal.
Sebelum para ”penumpang gelap” masuk lebih dalam dan mencari korban-korban baru, regulasi mesti begerak cepat, pertama-tama guna melindungi publik serta iklim usaha dan inovasi yang sehat. Kripto mungkin merupakan barang baru bagi sebagian kita. Namun, menerima atau menolaknya mentah-mentah bukanlah langkah bijak sebab ada gelap dan terang di dalamnya.
Seperti kata Ilias Louis Hatzis, pendiri di Mercato Blockchain Corporation AG dalam tulisannya ”Is Cryptocurrency the Future of Money?”, kripto bisa baik dan jahat, seperti semua hal lain dalam hidup. Banyak orang gagal memahami nilai sebenarnya dari mata uang kripto karena mereka hanya berfokus pada perdagangan spekulatif yang didorong oleh harga dan volatilitas.