Penyebab terpuruknya kinerja keuangan BUMN, selain pandemi, adalah beban penugasan dari pemerintah yang tidak setimpal dengan kemampuan perseroan. Kondisi itu diperparah dengan tata kelola buruk serta intervensi politik.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Sampai tahun depan, suntikan dana berupa penyertaan modal negara kepada badan usaha milik negara akan meningkat. Sementara kontribusi dividen dari perusahaan pelat merah diproyeksikan tetap minim. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menyebut periode 2021-2022 ini sebagai momen bertahan hidup (survival).
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memperkirakan, pada tahun ini, suntikan penyertaan modal negara (PMN) untuk perseroan akan mencapai Rp 67 triliun. Jumlah itu meningkat drastis dibandingkan PMN untuk BUMN pada 2020 yang senilai Rp 28 triliun. Pada 2022, kondisi diprediksi belum akan membaik. BUMN diperkirakan masih membutuhkan suntikan dana PMN dalam jumlah besar meski sedikit turun dari tahun ini, yakni Rp 62 triliun.
Seiring dengan dukungan dana masif yang masih harus disiapkan bagi BUMN, kontribusi dividen ke APBN pun diperkirakan akan minim. Tahun lalu, BUMN hanya sanggup menyetor dividen sebesar Rp 44 triliun. Tahun ini, kontribusi dividen dari perseroan diperkirakan turun menjadi Rp 28 triliun.
Adapun tahun depan, setoran dividen ke kas negara diperkirakan mulai naik menjadi Rp 35 triliun, tetapi masih jauh di bawah dana PMN yang harus dikeluarkan pemerintah. Erick Thohir meminta agar situasi ini diterima sebagaimana adanya. Selain karena tekanan pandemi, masih ada penugasan yang harus dijalankan sejumlah BUMN di masa pandemi.
Erick Thohir meminta agar situasi ini diterima sebagaimana adanya. Selain karena tekanan pandemi, masih ada penugasan yang harus dijalankan sejumlah BUMN di masa pandemi.
Namun, kondisi ini bukan hanya terjadi lantaran pandemi. Kinerja sebagian besar BUMN sudah bermasalah sejak sebelum kemunculan Covid-19. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, rata-rata dividen yang disetorkan BUMN ke negara tidak sebanding dengan total aset yang dimilikinya serta suntikan dana yang sudah diberikan pemerintah. Dari tahun 2010-2020, BUMN menyetor pendapatan ke negara dalam bentuk dividen dan pajak masing-masing Rp 377,8 triliun dan pajak Rp 1.518,7 triliun.
Namun, mayoritas setoran dividen itu hanya berasal dari 10 perseroan. Masih banyak BUMN yang saat ini sibuk bergumul dengan dirinya sendiri dan tidak memberi kontribusi. Dividen itu juga belum sebanding dengan total aset BUMN, yang nilainya per Desember 2020 telah mencapai Rp 8.400 triliun. Adapun dana PMN yang telah disuntikkan negara kepada BUMN selama satu dekade terakhir senilai Rp 186,47 triliun.
Mencapai titik keseimbangan antara menjalankan tanggung jawab publik dan meningkatkan profitabilitas adalah persoalan klasik yang selama ini menyertai tata kelola BUMN. Terbelah antara ranah publik dan privat, BUMN menghadapi tantangan dan tuntutan yang berat.
Saat ini, pendapatan dan laba bersih mayoritas BUMN turun. Selain itu, beban utangnya juga menumpuk. Penyebab terpuruknya kinerja keuangan BUMN, selain pandemi, adalah beban penugasan dari pemerintah yang tidak setimpal dengan kemampuan perseroan. Kondisi itu diperparah dengan tata kelola buruk serta intervensi politik yang kerap membayangi BUMN.
Penyebab terpuruknya kinerja keuangan BUMN, selain pandemi, adalah beban penugasan dari pemerintah yang tidak setimpal dengan kemampuan perseroan. Kondisi itu diperparah dengan tata kelola buruk serta intervensi politik.
Beban penugasan yang aturannya tidak jelas membuat BUMN kerap mendapat penugasan tidak resmi dari pejabat kementerian/lembaga tertentu, yang memunculkan risiko terjadinya kecurangan (fraud risk). Penugasan bisa diberikan oleh pejabat di luar manajemen perseroan.
Menjelang tahun politik, penugasan ke BUMN diperkirakan akan bertambah banyak, baik yang diberikan secara resmi maupun tidak. Di tengah beban kas perseroan saat ini, maraknya penugasan ”siluman” seperti itu semakin menekan keuangan perusahaan dan merugikan keuangan negara.
Pada Maret 2021, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri BUMN Nomor 1/MBU/03/2021 tentang Pedoman Pengusulan Pelaporan, Pemantauan, dan Perubahan Penggunaan Tambahan PMN kepada BUMN dan Perseroan Terbatas. Regulasi itu menertibkan skema pemberian PMN dalam konteks penugasan.
Diharapkan, tidak ada lagi lobi-lobi politik dan penugasan yang tidak resmi antara BUMN dengan pihak-pihak tertentu. Semua bentuk penugasan kepada BUMN yang menerima PMN harus melalui Menteri BUMN dan Menteri Keuangan untuk dipastikan legalitasnya.
Langkah perbaikan tata kelola lainnya sedang ditempuh pemerintah, seperti pembentukan klasterisasi usaha untuk memperkuat rantai pasok (supply chain), penyiapan model bisnis yang lebih adaptif setelah Covid-19, serta restrukturisasi dan pembentukan holding BUMN agar lebih efisien.
Proses menuju perbaikan tata kelola BUMN akan memakan waktu, apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi. Pemerintah menargetkan, BUMN akan tetap membutuhkan suntikan dana yang besar dari pemerintah sampai tahun 2022, tanpa bisa memberikan kontribusi dividen yang signifikan.
Periode ”bertahan hidup” itu diharapkan tidak berlangsung terlalu lama. Langkah-langkah reformasi BUMN perlu dimatangkan dari sekarang untuk mendorong transformasi yang cepat. Dengan demikian, BUMN tidak perlu terus-terusan sekadar bertahan hidup dan dapat menjalankan kewajibannya melayani publik tanpa memberatkan keuangan negara.