Pembangunan infrastruktur mesti disesuaikan dengan skala prioritas. Indonesia Investment Authority menjadi alternatif pembiayaan infrastruktur, tetapi bukan solusi tunggal membebaskan BUMN dari lilitan utang.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority dapat menjadi alternatif sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Namun, LPI atau INA bukan solusi tunggal untuk menyelamatkan BUMN di sektor konstruksi atau BUMN karya dari lilitan utang dalam waktu dekat.
Pemerintah diminta tetap realistis menyusun rencana pembangunan infrastruktur di masa pandemi Covid-19. Pembangunan harus sesuai skala prioritas dan kondisi kapasitas pembiayaan agar tidak menambah tumpukan utang BUMN dan beban keuangan negara.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, utang BUMN sudah sangat besar, sedangkan modal INA masih terbatas. Tahun ini, pemerintah menargetkan modal awal LPI Rp 75 triliun yang bersumber dari penyertaan modal negara Rp 15 triliun pada 2020 dan 2021, serta sisanya dari saham inbreng. Sementara, utang BUMN karya per September 2020 mencapai Rp 170 triliun.
Rasio utang terhadap ekuitas BUMN karya mendekati batas wajar, yaitu 3-4 kali. Menurut data Kementerian Keuangan, rasio utang terhadap ekuitas PT Adhi Karya (Persero) Tbk adalah 5,76 kali, PT Waskita Karya (Persero) Tbk 3,42 kali, PT PP Properti (Persero) Tbk 2,9 kali, PT PP (Persero) Tbk 2,81 kali, dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 2,7 kali.
”LPI atau INA juga akan sulit mengambil alih beban utang BUMN karena sebagian besar utang BUMN jangka pendek, sedangkan investasi di LPI umumnya berjangka panjang. Berarti, ada ketidaksesuaian,” kata Tauhid saat dihubungi di Jakarta, Minggu (18/4/2021).
Akuisisi aset BUMN dan pembiayaan untuk proyek pembangunan harus mempertimbangkan risiko serta nilai ekonomi dari proyek atau aset bersangkutan. ”Kalau tidak, hal ini ibarat hanya memindahkan celengan dari yang satu ke yang lainnya. Kalau LPI diharapkan terus menutupi utang-utang jangka pendek perseroan, akan membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi di LPI. Sebab, belum ada hasilnya tapi sudah harus dipakai untuk meringankan utang,” katanya.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings berpandangan serupa. Dalam keterangan resminya, 23 Maret 2021, Fitch menilai, pada dasarnya INA bisa mengurangi utang BUMN dengan memberi alternatif pembiayaan pembangunan proyek yang lebih sehat melalui ekuitas. INA juga bisa mengakuisisi sejumlah proyek dan aset BUMN serta memberi ruang pada arus kas perseroan.
Akuisisi aset BUMN dan pembiayaan untuk proyek pembangunan harus mempertimbangkan risiko serta nilai ekonomi dari proyek atau aset bersangkutan
Namun, Fitch menyoroti, modal INA yang masih terbatas tidak sebanding dengan utang BUMN karya. Kehadirannya tidak akan signifikan menurunkan utang perseroan dalam waktu dekat dengan modal yang terbatas. Apalagi, kebutuhan infrastruktur yang direncanakan pemerintah cukup tinggi di tengah kondisi pandemi.
Optimalisasi
Beberapa BUMN karya bersiap mengoptimalisasi kehadiran INA. PT Hutama Karya (Persero) Tbk, misalnya, berharap bisa mendapat pembiayaan dari INA untuk menutup kebutuhan biaya pembangunan Jalan Tol Trans-Sumatera (JTSS) yang ditugaskan pemerintah.
Direktur Utama Hutama Karya Budi Harto mengatakan, dalam waktu dekat, untuk meringankan beban kas perseroan, pihaknya akan lebih dulu mendivestasi sejumlah ruas jalan tol di proyek JTSS. Tiga ruas tol akan didivestasi, yaitu Medan-Binjani, Bakauheni-Palembang, dan Pekanbaru Dumai.
Hutama Karya juga menyiapkan anak usahanya, PT Hutama Karya Infrastruktur (HKI) untuk penawaran saham perdana (IPO) pada semester II-2021. Upaya itu diharapkan menghasilkan dana segar Rp 2 triliun untuk mengembangkan bisnis perusahaan.
”Saat ini kami telah memiliki utang Rp 42 triliun untuk pembangunan JTSS. Setelah kami tinjau ulang, angka ini cukup besar. Kami sudah sampaikan ke pemerintah dan pemegang saham untuk menurunkan pinjaman. Namun, kami akan butuh tambahan suntikan dana dan dukungan untuk menyelesaikan pembangunan jalan tol,” kata Budi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonensia Mohammad Faisal menilai INA butuh waktu cukup lama untuk mengumpulkan modal besar dari investor eksternal serta menggunakan dana hasil kelolaan untuk membiayai proyek BUMN. Pemerintah dinilai perlu meninjau ulang daftar proyek strategis nasional (PSN) yang akan dikejar tahun ini sesuai skala prioritas. Secara bersamaan, BUMN harus menempuh aksi korporasi untuk memperbaiki likuiditas keuangan.
Pemerintah dinilai perlu meninjau ulang daftar proyek strategis nasional (PSN) yang akan dikejar tahun ini sesuai skala prioritas.
”Bukannya kita tidak membutuhkan infrastruktur, tetapi jangan sampai terlalu besar pasak daripada tiang dan kita mengorbankan keuangan BUMN dan perekonomian negara untuk itu,” kata Faisal.
Pemerintah menargetkan pengerjaan 38 PSN pada 2021 senilai Rp 464,6 triliun. (AGE)