JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah diminta mengurangi ketergantungan terhadap dana bagi hasil minyak dan gas bumi. Pasalnya, cadangan minyak dan gas bumi di Indonesia suatu saat akan habis lantaran sifatnya yang tidak bisa diperbarui. Daerah juga diminta untuk kreatif menciptakan sumber pendapatan baru.
Demikian yang mengemuka dalam webinar bertajuk ”Memahami Dinamika Dana Bagi Hasil Migas” pada Selasa (20/4/2021) yang diselenggarakan Kantor Perwakilan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief S Handoko, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian, dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan pada Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti menjadi narasumber dalam acara tersebut.
Menurut Astera, alokasi dana bagi hasil (DBH) tahun ini Rp 101,96 triliun. Dari jumlah itu, alokasi DBH migas mencapai 14 persen atau setara dengan Rp 14,43 triliun. Sementara alokasi DBH nonmigas Rp 24,92 triliun dan alokasi terbesar ada di DBH pajak, yakni Rp 62,61 triliun. DBH diberikan ke daerah untuk menciptakan keseimbangan vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Alokasi DBH migas 2021 sebanyak 14 persen atau setara dengan Rp 14,43 triliun. Sementara alokasi DBH nonmigas adalah Rp 24,92 triliun dan alokasi terbesar ada di DBH pajak, yaitu Rp 62,61 triliun.
Baca juga : Perlu Cara Luar Biasa untuk Capai Target 1 Juta Barel Per Hari
”Namun, tantangan untuk pembagian DBH adalah begitu tergantungnya daerah penghasil migas terhadap DBH itu sendiri. Akibatnya, saat harga migas rendah, maka besaran DBH yang diterima daerah tersebut akan merosot drastis dan berpengaruh terhadap struktur belanja di daerah,” kata Astera.
Oleh karena itu, lanjut Astera, pemerintah daerah harus kreatif menciptakan sumber penerimaan yang baru dengan tidak selamanya bergantung pada DBH migas. Apalagi, cadangan minyak disebut kurang dari 10 tahun lagi, sedangkan cadangan gas bumi tersisa kurang dari 20 tahun. Besaran DBH juga sangat dipengaruhi oleh harga pasar minyak dan gas bumi itu sendiri.
Arief menambahkan, lantaran DBH migas sangat bergantung pada kinerja hulu migas, upaya untuk menaikkan produksi migas di Indonesia menjadi sangat penting. Diakui memang dalam beberapa tahun terakhir terjadi penurunan produksi migas di dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah menargetkan peningkatan produksi minyak 1 juta barel per hari dan produksi gas bumi sebanyak 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030.
”Untuk mencapai target produksi migas pada 2030, diperlukan berbagai inovasi dan terobosan, seperti proses perizinan yang perlu dipercepat dan dipermudah, optimalisasi produksi lapangan yang sudah beroperasi (existing field), serta menaikkan status cadangan ke produksi,” ujar Arief.
Dalam lima tahun terakhir, produksi minyak mentah Indonesia terus menurun. Pada 2016, produksi minyak nasional mencapai 829.000 barel per hari dan merosot menjadi 707.000 barel per hari pada 2020. Tiadanya penemuan sumber cadangan baru dan usia lapangan minyak yang sudah tua menjadi penyebab angka produksi terus menurun.
Masalah tersebut, antara lain, perbedaan perhitungan besaran DBH lantaran ada perbedaan data produksi, nilai tukar rupiah, dan harga jual minyak dan gas bumi.
Baca juga : Nasib Hulu Migas Masih Tak Menentu
Dari sisi investasi hulu migas, realisasi investasi di 2020 tercatat 12,1 miliar dollar AS atau lebih rendah dari realisasi di 2019 lalu yang sebesar 12,9 miliar dollar AS. Tahun ini, pemerintah menargetkan realisasi investasi hulu migas sebesar 17,6 miliar dollar AS.
Transparansi
Dalam pembagian DBH migas, menurut Ardian, kerap ditemukan sejumlah masalah antara pemerintah pusat dan daerah. Masalah tersebut, antara lain, perbedaan perhitungan besaran DBH lantaran ada perbedaan data produksi, nilai tukar rupiah, dan harga jual minyak dan gas bumi. Masalah ini kerap menimbulkan kecurigaan di antara pemangku kepentingan.
”Penyaluran DBH migas kerap tidak pasti antara yang dialokasikan dengan realisasinya. Jadi, aspek transparansi sangat penting, terutama menyangkut data produksi, dalam hal pembagian DBH migas ini,” kata Ardian.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, antara alokasi dan realisasi DBH migas di 2018 lalu seimbang, yaitu Rp 20,5 triliun. Namun, pada 2019, terdapat perbedaan antara alokasi dan realisasi. Alokasi di 2019 tercatat Rp 22,2 triliun, tetapi realisasinya lebih rendah, yaitu Rp 17 triliun. Sementara alokasi DBH migas 2020 adalah Rp 10,2 triliun dan realisasinya Rp 9,7 triliun.
Baca juga : Daya Tarik Fiskal Migas Indonesia di Bawah Rata-rata