Sejak zaman Kesultanan Palembang berlanjut pada era kolonial hingga sekarang, Kepulauan Bangka Belitung tak pernah bebas dari belenggu konflik terkait tambang timah.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Lebih dari 300 tahun, dari zaman Kesultanan Palembang sampai sekarang, Kepulauan Bangka Belitung tak pernah bebas dari konflik terkait tambang timah. Berkali-kali rencana melepaskan ketergantungan dari timah dicanangkan, tetapi mimpi itu kandas di tengah jalan. Bahkan, setelah cadangan timah di darat menipis, kini penambangan timah bergeser ke laut.
Hendri (39), nelayan di Pantai Matras, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Rabu (7/4/2021), memandang nanar ke arah laut. Hari itu ia tak bisa melaut karena alat tangkapnya rusak. Dua minggu sebelumnya, 15 unit jaring kakap miliknya hancur ditabrak kapal isap produksi (KIP) Chokdee yang dioperasikan oleh mitra PT Timah.
”Jaring itu baru beli tiga hari. Padahal, satu (jaring) harganya sekitar Rp 1,5 juta. Sampai sekarang belum ada kejelasan kapan mereka mau ganti jaring saya,” kata Hendri.
Sejak November 2020, ada 11 KIP yang beroperasi di perairan yang berjarak kurang dari 4 mil atau sekitar 6 kilometer dari garis Pantai Matras. Setiap hari, siang dan malam, mereka menyedot timah dari dasar laut. Limbah buangan dari KIP berupa tailing atau lumpur sisa produksi membuat laut sekitar menjadi keruh. Akibatnya, terumbu karang tertutup lumpur dan ikan-ikan pergi menjauh.
Selain itu, aktivitas KIP menambang timah juga membuat relief dasar laut menjadi penuh lubang dan gundukan. Hal itu tampak dari munculnya sejumlah pusaran air atau yang disebut nelayan setempat sebagai busung. Busung membahayakan nelayan kala melaut pada malam hari. Apabila menabrak busung, perahu nelayan bisa terbalik atau bahkan hancur.
”Baru beberapa bulan saja sudah banyak busung. Bagaimana kalau (aktivitas KIP) itu sampai tahunan, enggak tahu lagi seperti apa laut kami nanti. Mungkin semuanya jadi busung,” ujar Hendri.
Penolakan terhadap rencana usaha pertambangan timah di pesisir Matras hingga Pesaren, Bangka, yang panjangnya lebih kurang 70 kilometer dilakukan sejak 2015. Sekitar 2.000 nelayan berkali-kali melakukan demonstrasi. Namun, pemerintah serta PT Timah bergeming. Jeritan nelayan dibiarkan tenggelam di antara deru mesin belasan KIP.
Jaring itu baru beli tiga hari. Padahal, satu (jaring) harganya sekitar Rp 1,5 juta. Sampai sekarang belum ada kejelasan kapan mereka mau ganti jaring saya. (Hendri)
Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Agung Pratama menyatakan tidak dapat menghentikan operasionalisasi KIP di pesisir Matras. ”Tapi kalau dipaksakan harus stop, saya bilang tidak bisa karena operasionalisasi kapal (isap) ini juga dibutuhkan 6.500 karyawan PT Timah. Kapal tetap jalan karena kapal itu sumber hidup banyak orang,” kata Agung dalam pertemuan dengan nelayan dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kepulauan Babel, Kamis (15/4/2021).
Ia menambahkan, jika nanti IUP PT Timah di lokasi itu habis pada 2024 dan pemerintah tidak memperpanjang, PT Timah akan patuh.
Pada Oktober 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan menjalin sinergi terkait kegiatan penambangan timah di pesisir pantai dari 0 hingga 2 mil (0-3,2 km), yang merupakan wilayah penambangan PT Timah. Dikutip Kontan, kala itu Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan, penambangan timah di laut tidak dilarang asalkan metode dan teknologi yang dipakai tidak merusak lingkungan.
Terkait rekomendasi penggantian kapal isap dan kapal keruk dengan metode penambangan borehole mining, Corporate Secretary PT Timah Zulkarnaen Dharmawi sampai saat ini belum menanggapi permohonan wawancara Kompas yang disampaikan lewat pesan tertulis dan panggilan telepon.
Pada Oktober 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan menjalin sinergi terkait kegiatan penambangan timah di pesisir pantai dari 0 hingga 2 mil, yang merupakan wilayah penambangan PT Timah. Dikutip Kontan, kala itu Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan, penambangan timah di laut tidak dilarang asalkan metode dan teknologi yang dipakai tidak merusak lingkungan.
Konflik antara nelayan dan petambang timah juga muncul di Teluk Kelabat Dalam, perbatasan Kabupaten Bangka dan Bangka Barat. Sejak 2016, ratusan ponton petambang ilegal menutupi muka teluk itu. Aktivitas ribuan petambang ilegal menyebabkan pencemaran dan pendangkalan teluk. Akibatnya, para nelayan mengeluh jumlah tangkapan turun drastis.
”Mereka (petambang) pernah menawari bagi hasil, tetapi kami menolak. Buat apa punya uang banyak, perahu besar, atau jaring baru kalau laut ini sudah rusak,” ujar Wisnu (41), salah seorang nelayan.
Ketua Forum Pecinta Teluk Kelabat Dalam Maryono (48) mengatakan, maraknya penambangan timah ilegal juga berdampak terhadap sektor pertanian. Pada 2020, sawah warga seluas lebih kurang 70 hektar gagal panen karena terendam air laut. Rusaknya hutan bakau di Teluk Kelabat Dalam mengakibatkan air laut meresap ke sawah warga.
Sejak 300 tahun lalu, sejarah penambangan timah di Bangka selalu diwarnai dengan konflik. Surutnya perekonomian timah yang terjadi pada 1990-an seharusnya menjadi peringatan bagi Pemprov Babel untuk mempercepat transformasi menuju ekonomi yang berkelanjutan.
Museum Timah di Kota Pangkal Pinang mencatat, pertambangan timah pertama di Pulau Bangka berada di Kampung Calin, Merawang, pada 1709. Saat itu, Pulau Bangka merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Palembang. Pada era itu, setidaknya tercatat dua kali terjadi konflik akibat penyelundupan timah oleh penduduk yang dianggap merugikan sultan.
Konflik seputar timah juga terjadi saat Belanda dan Inggris bergantian memonopoli perdagangan timah di Bangka pada 1722-1814. Kesultanan Palembang dua kali diserbu Inggris dan Belanda yang ingin menguasai pertambangan timah. Kesultanan Palembang runtuh pada 1823. Namun, Pulau Bangka baru dikuasai VOC sepenuhnya pada 1851.
Konflik di Bangka terus berlanjut pada masa kemerdekaan. Puncaknya terjadi pada 1991 saat PT Timah membubarkan Unit Penambangan Timah Bangka, Belitung, dan Singkep karena harga timah di pasaran internasional terus merosot. Sejak saat itu, PT Timah mulai mengalihkan kegiatan penambangan darat ke penambangan di laut.
Restrukturisasi PT Timah juga berdampak kepada pegawai. Jumlah pegawai dipangkas dari awalnya lebih kurang 25.000 orang pada 1991 menjadi hanya 5.500 orang pada 1996. Surutnya kegiatan PT Timah dimanfaatkan petambang ilegal. Namun, kehadiran para petambang ilegal malah memicu kerawanan sosial dan memantik bara konflik yang belum bisa dipadamkan hingga sekarang.