Oknum Aparat dan Pejabat Suburkan Penambangan dan Ekspor Timah Ilegal
Banyak IUP hanya kedok untuk menampung hasil tambang ilegal. Oknum aparat dan pejabat tinggi menerima hasil pertambangan ilegal.
Oleh
KRIS RAZIANTO MADA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah didorong membenahi tata kelola timah nasional. Kini, oknum aparat, pejabat daerah, dan politisi diduga mendukung aktivitas penambangan dan ekspor timah secara masif.
Ekonom Faisal Basri mengatakan, praktik penambangan dan ekspor timah ilegal amat marak dan terang-terangan. Oknum-oknum aparat terlibat dengan menjadi pemilik tambang secara langsung ataupun tidak langsung.
”Saya melihat sendiri, mereka (oknum-oknum aparat) seperti raja di sana (Bangka Belitung). Mafia timah menyumbang ke partai-partai di daerah,” ujarnya dalam webinar ”Tata Niaga Timah Indonesia” yang diselenggarakan Forum Diskusi Ekonomi dan Politik (FDEP), Senin (11/1/2021).
Bisnis timah ilegal bisa bertahan karena pasarnya dekat dan terus menerima hasil penambangan ilegal. Meski secara resmi sudah dilarang, faktanya masih ada catatan sejumlah negara Indonesia mengekspor pasir timah dari Indonesia.
”Singapura yang tidak punya lokasi tambang bisa mengekspor balok timah? Dari mana dapat bijihnya?” katanya.
Sekretaris Jenderal Komite Cadangan Mineral Indonesia Arif Dahlius juga mengaku heran Indonesia tidak tercatat mengekspor timah ke Thailand. Padahal, timah sangat dibutuhkan di industri otomotif. Kebetulan, spesifikasi timah di Thailand mirip dengan yang ditemukan di Indonesia.
Kondisi itu, menurut Faisal, terjadi karena aturan tidak ditegakkan. Padahal, aturan soal tata niaga timah Indonesia sudah lengkap. Selain itu, timah tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
”Saya hampir tidak pernah melihat Menteri ESDM, Pak Luhut (Menteri Koordinasi Kemaritiman dan Investasi) membahas timah. Kalau nikel, bauksit, sering,” katanya.
Singapura yang tidak punya lokasi tambang bisa mengekspor balok timah? Dari mana dapat bijihnya?
Padahal, menurut Arif, aturan soal tata kelola timah Indonesia sangat lengkap. Dalam peraturan Kementerian ESDM dengan jelas dicantumkan kewajiban perusahaan mendapatkan pengesahan dari competent person Indonesia (CPI) untuk jumlah cadangan timah di lokasi IUP.
Tanpa pengesahan itu, rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB) pemegang IUP tidak dapat disahkan oleh pemerintah. Tanpa RKAB yang disahkan pemerintah, pemegang IUP tidak bisa beraktivitas baik untuk menambang, apalagi mengekspor.
Ia mengakui, kini ada ratusan pemegang IUP. Sementara CPI timah hanya 22 orang. Menurut aturan pemerintah, hanya 22 orang bisa memverifikasi cadangan yang dicantumkan dalam RKAB. ”Mereka diawasi oleh asosiasi. Ada oknum-oknum penaksir yang tidak patuh kode etik dan dijatuhi sanksi,” ujarnya.
Praktisi pertambangan timah Indonesia, Teddy Marbinanda, mengatakan bahwa aturan terkait timah dilanggar secara masif di lapangan. Meski tidak ada verifikasi CPI, faktanya RKAB perusahaan swasta tetap disahkan oleh pemerintah daerah.
Iklim pertimahan Indonesia, menurut Faisal, membuat pelaku tambang legal kalah saing dari petambang ilegal.
Ia juga pernah menemukan salah satu perusahaan timah di Bangka Belitung yang sedang dalam proses persiapan di menambang di wilayah konsesinya. Anehnya, perusahaan itu sudah punya cadangan ratusan ton balok timah siap ekspor. ”Produksi belum dilakukan, hasilnya sudah ada,” katanya.
Selain itu, ada pula perusahaan yang kapasitas produksinya jauh di bawah jumlah balok timah yang diekspornya. "Dihitung dengan cara apa pun, tidak sesuai. Anehnya, tetap diizinkan untuk ekspor. Kondisi seperti ini sudah terjadi bertahun-tahun,” katanya.
Dorong ilegal
Iklim pertimahan Indonesia, menurut Faisal, membuat pelaku tambang legal kalah saing dari petambang ilegal. ”Sudah jelas, banyak pemegang IUP (izin usaha pertambangan) tidak memenuhi syarat. Karena, tujuannya bukan itu. Mereka hanya mau jadi penadah hasil tambang ilegal. Harganya lebih murah dibandingkan dengan tambang legal," katanya.
Teddy mengatakan, pengabaian atas kekacauan tata kelola timah Indonesia akan merugikan negara. Sebab, negara kehilangan sumber daya tanpa mendapat penghasilan memadai. ”Hingga 90 persen lokasi penambangan ilegal ada di IUP PT Timah (BUMN yang dibentuk untuk mengurus timah). Sebagian besar hasil penambangan ilegal dijual ke pihak lain dengan harga murah. Tidak adil sekali bagi PT Timah dan negara,” ujarnya.
Ia setuju dengan Faisal soal keterlibatan oknum aparat di pertambangan timah ilegal. Keterlibatan mereka membuat pelaku industri yang patuh aturan dan bekerja secara legal menjadi tidak berdaya.