Tingginya pertumbuhan nilai aset kripto menggiring sebagian masyarakat untuk berkecimpung di dalamnya. Namun, risiko fluktuasi tinggi dibandingkan instrumen investasi lain sehingga masyarakat diimbau hati-hati.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
Di saat sejumlah instrumen investasi terkontraksi, mata uang kripto atau cryptocurrency dengan jenis bitcoin, tetap menjanjikan keuntungan menggiurkan sehingga menjadi primadona di kalangan pelaku investasi.
Meski begitu, sebelum memutuskan untuk berkecimpung dalam transaksi jual beli atau berinvestasi di bitcoin atau kripto lainnya, ada baiknya pelaku pasar tetap memperhitungkan peluang dan risiko yang ada.
Melansir Bloomberg, Jumat (16/4/20210), harga bitcoin terus mengalami kenaikan, terutama setelah munculnya sentimen aksi penawaran saham perdana (IPO) dari Coinbase Global Inc pada Rabu (14/4/2021).
Aksi korporasi tersebut menandai tonggak sejarah lain dalam pengembangan bitcoin dan aset digital. Debut Coinbase di pasar saham dilakukan melalui daftar langsung sehingga tidak ada saham yang dijual sebelum pembukaan.
Saham Coinbase dibuka pada 381 dollar AS per lembar saham, naik 52,4 persen dari harga referensi 250 per lembar saham yang ditetapkan pada hari sebelumnya.
Penguatan tersebut memperpanjang kenaikan nilai bitcoin ke level 61.269 dollar AS (Rp 895,14 juta) pada akhir pekan ini. Padahal pada 8 Januari 2021, bitcoin ada di level 42.000 dollar AS (Rp 611,68 juta).
Kenaikkan investasi tersebut berbanding terbalik bila dibandingkan dengan logam mulia emas. Berdasarkan data Antam, sejak 2 Januari 2021 harga logam mulia non NPWP anjlok 2,68 persen dari Rp 969.000 per gram menjadi Rp 943.000 per gram pada akhir pekan ini.
Dihubungi Jumat, Business Manager Indosukses Futures, Suluh Adil Wicaksono, mengingatkan bahwa bitcoin memiliki risiko fluktuasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan instrumen pasar uang lainnya. Fluktuasi ini tidak dapat diprediksi dan dianalisis, baik secara teknikal maupun fundamental.
“Belum lagi, tidak ada aturan suspensi atau penghentian perdagangan sementara seperti saham apabila kenaikan dan penurunan yang terjadi sangat tajam,” kata Suluh.
Dibandingkan dengan instrumen saham, otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) menetapkan aturan untuk membendung aktivitas pasar yang tak biasa (Unusual Market Activity /UMA). Otoritas akan menghentikan perdagangan bila menilai terdapat pergerakkan nilai saham yang tidak wajar.
Apabila pelaku pasar keukeuh ingin tetap berinvestasi pada aset mata uang kripto, Suluh menekankan untuk melakukan transaksi pada badan atau lembaga yang telah memiliki izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
“Selain itu, lebih baik memilih aset kripto dari yang terkecil dari volume transaksinya maupun jumlah harganya. Jadi volume transaksinya yang mini dulu atau memilih aset kripto yang masih murah,” ujar Suluh.
Sebelumnya, Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), Erwin Haryono menegaskan bahwa BI selaku regulator sistem pembayaran melarang penggunaan mata uang kripto sebagai alat pembayaran. Namun, untuk pemanfaatan investasi, BI mengimbau masyarakat untuk tetap berhati-hati.
“Kami melarang penggunaan cryptocurrency sebagai pembayaran. Tapi untuk investasi, kami ingatkan risikonya sangat tinggi karena instrumen ini tidak punya underlying asset (aset dasar),” Erwin.
Sementara itu, Asisten Gubernur & Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Filianingsih Hendarta menjelaskan, secara umum dalam berinvestasi, masyarakat harus memperhatikan dua aspek yakni imbal hasil dan risiko. Jika imbal hasil tinggi, maka lanjutnya, risiko juga akan tinggi.
“Jadi, tergantung dari kemampuan menyerap risiko dari masing-masing investor. Bagaimana menyeimbangkan antara imbal hasil yang dihasilkan dengan risiko yang ada,” kata Filianingsih.