Ketidakpastian hukum dan tumpang tindih regulasi masih menjadi masalah yang dihadapi investor sektor energi di Indonesia. Padahal, investasi sektor ini urgen karena berpengaruh langsung bagi ketahanan energi negara.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah tantangan dihadapi pengusaha di sektor energi di Indonesia. Salah satunya adalah kepastian hukum dan regulasi yang masih tumpang tindih. Berbagai tantangan tersebut harus dicari solusinya di era transisi energi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan. Sementara itu, perbaikan iklim investasi di bidang fiskal oleh pemerintah masih sebatas usulan.
Demikian poin yang mengemuka dalam webinar ”Kolaborasi untuk Percepatan Investasi di Sektor Energi dan Mineral Indonesia”, Senin (12/4/2021). Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial serta Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani menjadi pembicara kunci dalam seminar yang dihadiri para pakar energi dan pelaku usaha itu.
Dalam paparannya, Rosan mengemukakan sejumlah tantangan yang dihadapi pengusaha di Indonesia yang berinvestasi di sektor energi dan mineral. Selain masalah kepastian hukum, harga energi (minyak dan batubara) sangat tidak stabil dan sulit diterka pergerakannya. Hal itu turut menyebabkan ketidakstabilan pasar.
”Tantangan lainnya adalah tingginya biaya logistik dalam membangun sarana pendukung energi di Indonesia. Selain itu, dari sisi investasi energi terbarukan, harga listrik dari sumber energi terbarukan di Indonesia masih terlampau murah (di bawah keekonomian),” kata Rosan.
Selain masalah kepastian hukum, harga energi (minyak dan batubara) sangat tidak stabil dan sulit diterka pergerakannya.
Kendati demikian, tambah Rosan, dunia usaha di Indonesia tidak hanya berpangku tangan dalam situasi tersebut. Beberapa bentuk dukungan yang diberikan pelaku usaha adalah membantu sosialisasi aturan turunan Undang-Undang tentang Cipta Kerja; membantu promosi investasi ke berbagai negara; mendukung transisi energi untuk mencegah kerusakan iklim yang lebih besar; serta memberi masukan kepada pemerintah untuk memperbesar insentif bagi investasi di sektor energi.
Menteri ESDM 2000-2009 Purnomo Yusgiantoro, mengenai kepastian berusaha di sektor energi, berpendapat bahwa fleksibilitas skema kontrak di sektor hulu minyak dan gas bumi Indonesia diperlukan. Keputusan pemerintah yang belakangan ini membebaskan kontraktor memilih skema kontrak gross split (bagi hasil migas berdasar produksi bruto) atau cost recovery (biaya produksi yang dapat dipulihkan) sudah tepat.
”Sebaiknya jangan ada perubahan (skema kontrak) lagi. Saya mendukung adanya kebebasan memilih sistem fiskal. Yang penting ada kesepakatan antara pemerintah dan investor,” kata Purnomo.
Sektor energi Indonesia tengah menghadapi sejumlah tantangan besar, yaitu menurunnya produksi minyak mentah nasional, ketergantungan terhadap impor elpiji, infrastruktur gas dan listrik yang belum terintegrasi, serta tekanan terhadap ekspor batubara.
Purnomo juga mendukung kebijakan pemerintah memberikan royalti nol persen bagi perusahaan tambang batubara yang melaksanakan hilirisasi batubara. Hilirisasi batubara di Indonesia yang sedang digagas adalah untuk memproduksi dimetil eter sebagai pengganti elpiji dan memproduksi metanol. Ia percaya, kendati kebijakan itu berdampak pada penurunan penerimaan negara, kebijakan tersebut juga akan menciptakan nilai ganda bagi perekonomian nasional.
Dari sisi pemerintah, sektor energi Indonesia tengah menghadapi sejumlah tantangan besar, yaitu menurunnya produksi minyak mentah nasional, ketergantungan terhadap impor elpiji, infrastruktur gas dan listrik yang belum terintegrasi, serta tekanan terhadap ekspor batubara. Pemerintah tengah menyiapkan strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu mencanangkan target produksi minyak bumi 1 juta barel per hari pada 2030, hilirisasi batubara menjadi dimetil eter untuk menggantikan elpiji, mempercepat pengembangan kendaraan listrik, serta optimalisasi sumber energi terbarukan.
”Beberapa hal yang sudah kami lakukan adalah penyederhanaan perizinan di sektor energi, pelayanan perizinan yang terintegrasi secara elektronik, atau memberi akses data di sektor ESDM kepada calon investor,” ujar Ego.
Ego menambahkan, investasi sektor ESDM dalam beberapa tahun terakhir selalu fluktuatif. Pada 2015, misalnya, serapan investasi mencapai 33,5 miliar dollar AS dan turun menjadi 28,3 miliar dollar AS pada 2017. Sempat naik menjadi 32,9 miliar dollar AS pada 2018, investasi kembali merosot menjadi 25,8 miliar dollar AS sepanjang 2020 yang terpengaruh oleh pandemi Covid-19. Tahun ini, pemerintah menargetkan investasi di sektor ESDM sebesar 40,2 miliar dollar AS.