Ketergantungan Indonesia terhadap gula impor semakin tinggi seiring kian surutnya porsi gula produksi dalam negeri. Para petani tebu menagih keberpihakan pemerintah untuk membenahi kusutnya problem pergulaan nasional.
Oleh
agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dari tahun ke tahun, petani tebu terus mengalami kerugian karena kebijakan impor yang eksesif dan lemahnya komitmen terhadap penyerapan gula petani. Petani tebu menagih komitmen pemerintah untuk menyejahterakan petani lewat kebijakan yang berpihak, pengawasan, serta penegakan hukum yang lebih ketat.
”Tahun 2021 ini menjadi titik kritis bagi para petani tebu dan kehidupan industri gula nasional berbasis tebu jika tidak kunjung ada kebijakan yang berpihak untuk mengurai persoalan,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional APTRI di Jakarta, Jumat (9/4/2021).
Sejak 2018, petani tebu mengalami kerugian berturut-turut karena kebijakan impor yang semakin masif serta lemahnya komitmen industri gula untuk menyerap gula petani. Harga gula petani anjlok dan pendapatan petani tebu tergerus. ”Sampai-sampai, di lelang, (gula petani) pernah ditawar di bawah harga Rp 10.000 (per kilogram),” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa dalam acara yang sama menyebutkan, volume impor gula melonjak dari 983.944 ton pada 2008 hingga mencapai 5,62 juta pada 2020. Tahun 2017-2018, Indonesia tercatat sebagai pengimpor gula terbesar di dunia.
Guna menjamin produktivitas dan kesejahteraan petani, APTRI meminta pemerintah merevisi harga pokok pembelian (HPP) gula petani yang belum pernah disesuaikan sejak tahun 2016, yakni di harga Rp 9.100 per kilogram. Petani usul HPP dinaikkan jadi Rp 11.500 per kilogram dengan mempertimbangkan biaya pokok produksi yang terus meningkat.
Terkait itu, Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra mengatakan, pemerintah akan mengkaji HPP gula petani. Tahapannya, Kementerian Perdagangan akan menunggu usulan dari Kementerian Pertanian berdasarkan hitungan biaya pokok produksi gula petani.
Survei akan dilakukan oleh tim gabungan kementerian/lembaga terkait, termasuk akademisi dan asosiasi tani. Hasil kajian itu akan diserahkan Kementerian Pertanian ke Kementerian Perdagangan untuk kemudian dilakukan analisis besaran HPP dengan memperhitungkan keuntungan petani, inflasi, dan kemiskinan.
Kenaikan HPP diharapkan bisa meningkatkan produktivitas dan meningkatkan daya saing gula lokal sehingga impor bisa ditekan. ”Kalau memang perlu kita review, ini bukan sesuatu yang haram. Kebetulan kami juga sedang menghitung harga acuan untuk komoditas lain,” kata Syailendra.
Senada, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan, pihaknya saat ini sedang menyusun kajian biaya pokok produksi petani untuk diusulkan ke Kementerian Perdagangan. ”Kami sedang dalam proses pengolahan dan finalisasi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, target kami, sebelum proses giling sudah kami sampaikan ke Kementerian Perdagangan,” katanya.
Audit industri
Regulasi baru tentang jaminan ketersediaan bahan baku industri gula dinilai memperlebar potensi rembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi. Pemerintah diminta mengaudit industri gula nasional untuk mengidentifikasi produksi dan jalur distribusinya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad, Jumat (9/4), mengatakan, permasalahan gula terjadi sistematis, sejak perencanaan kuota dan rekomendasi izin impor sampai distribusi gula. ”Sekarang saja, di pasar daring, gula rafinasi bisa dibeli bebas oleh konsumen. Padahal, gula rafinasi seharusnya hanya boleh dibeli oleh industri pengguna,” kata Tauhid.
Selain mengaudit perusahaan yang melanggar alur distribusi, anggota Komisi VI DPR, Nusron Wahid, mengatakan, pemerintah harus mengaudit pabrik gula rafinasi yang tidak memenuhi komitmen menyerap gula petani tebu setidaknya 20 persen sesuai amanat Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2017.
”Faktanya, tidak ada yang menampung sesuai kuota 20 persen, hanya kurang dari 5 persen. Jadi, hanya sebagai kamuflase saja, seakan-akan sudah menampung gula petani,” kata Nusron.