Warga Menengah Bawah Kurang Antusias dengan Uang Muka KPR Nol Persen
Pelonggaran uang muka kredit rumah belum menjawab persoalan mendasar, yakni mahalnya harga rumah. Meski uang muka ditiadakan, harga rumah tetap sama.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bagi warga dengan aset dan tabungan yang sudah stabil, pelonggaran uang muka kredit rumah hingga nol persen menjadi momentum untuk berburu properti baru. Sementara bagi sebagian pekerja muda, relaksasi ini tidak terlalu menarik. Mereka khawatir tak lagi fleksibel membelanjakan uang karena punya cicilan jangka panjang.
Pelonggaran uang muka kredit rumah menjadi insentif baru setelah penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia ke level 3,5 persen. Dengan bauran kebijakan ini, masyarakat berkesempatan membeli rumah dengan uang muka nol persen, Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP), serta suku bunga kredit pemilikan rumah yang rendah.
Relaksasi yang membidik kelas menengah atas ini disambut antusias oleh Yedida Rani (36) dan suami. Mereka ingin menambah hunian. Warga Surabaya, Jawa Timur, ini sekarang sedang intens berkomunikasi dengan sejumlah pengembang di Surabaya.
Sejauh ini, baru ada tawaran rumah dengan PPN DTP. ”Untuk yang uang muka kredit nol persen masih ditanya-tanya, nih,” ujar pekerja di bidang farmasi ini, ketika dihubungi Jumat (9/4/2021).
Beberapa waktu lalu, dia melihat video promosi rumah di Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten. Ada tawaran rumah baru fully furnished dengan uang muka kredit nol persen. Cicilan per bulan sekitar Rp 4 juta. Bagi Rani dan suami, cicilan itu terbilang mumer alias murah meriah.
Masalahnya, suami Rini tak berkenan karena belum melihat langsung kondisi rumahnya. Di samping itu, lokasi rumah juga terlalu jauh dari Surabaya. ”Makanya kami memutuskan mungkin lebih baik di Surabaya saja mencarinya. Ini lagi gerak cepat menghubungi semua agen properti yang ada di kontak gawai,” katanya.
Saat ini, Rani dan suami punya 2 rumah dengan luas tanah masing-masing 100 meter persegi. Kedua rumahnya dibeli dengan skema kredit pemilikan rumah (KPR). Satu rumah ditempati oleh Rani dan keluarga, sedangkan rumah yang satunya lagi disewakan.
”Harga sewa rumah, sih, memang enggaksepenuhnya bisa menutup cicilan KPR. Tetapi, sudah cukup terbantu mengingat harga rumah, kan, terus naik nantinya,” katanya. Selain rumah, Rani juga punya sepetak tanah yang dibeli secara tunai di Surabaya.
Rani dan suami ingin membeli hunian baru yang lebih luas. Saat ini, kedua rumahnya itu hanya memiliki dua kamar. Sementara salah seorang dari dua anaknya sudah duduk di bangku SMP. ”Pertimbangan rumah dua kamar itu biar cepat lakunya ketika dijual atau disewakan,” ujarnya.
Pekerja muda
Berbeda dengan Rani, pekerja di salah satu perusahaan BUMN di Jambi, Arif Zulnanda Putra (30), belum tertarik untuk membeli hunian. Ini karena dia merasa khawatir dengan utang jangka panjang. Di keluarga, hanya dia yang bekerja. Sementara istrinya ibu rumah tangga.
”Kalau penghasilan setiap bulan dipotong, nanti malah repot kalau butuh uang secara mendadak. Beda dengan menabung, kalau kepepet bisa dicairkan dulu,” kata ayah satu anak ini.
Alih-alih membeli rumah secara kredit, dia memilih untuk menyisihkan pendapatan sebanyak 30 persen setiap bulan. Tabungan ini diinvestasikan ke emas, reksa dana, dan saham yang dikelola sendiri.
Dengan total penghasilan sekitar Rp 200 juta per tahun, dia bisa menyisihkan Rp 60 juta selama setahun. ”Targetnya, nanti paling lambat di usia 40 tahun sudah bisa punya rumah sendiri,” katanya lagi.
Senada dengan Arif, Nicky Desfika (30), karyawan di sebuah perusahaan minyak di Duri, Riau, juga belum kepikiran untuk membeli rumah. Ini terkait dengan statusnya sebagai pekerja kontrak. ”Enggak ada jaminan, kan, akan bekerja sampai tua. Bagaimana nanti jika mengalami kecelakaan kerja dan tak dipakai lagi oleh perusahaan? Nanti yang ada rumahnya ditarik bank,” ujarnya.
Ditambah lagi, dia merasa tak aman dalam posisi berutang. ”Menjelang lunas, pasti kepikiran terus. Jadi, kalau selama ini ada uang lebih, saya lebih memilih berinvestasi ke emas karena termasuk safe haven,” ucapnya.
Lulusan sarjana teknik elektronika ini menyadari bahwa rumah termasuk kebutuhan penting, mengingat dirinya sudah berkeluarga. Namun, untuk saat ini, memiliki rumah sendiri belum begitu mendesak. Sebab, harga sewa rumah di Duri terbilang murah. Dia, istri, dan anaknya tinggal di kontrakan dengan sewa Rp 300.000 per bulan.
Menurut peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Dwiyanti Kusumaningrum, pelonggaran uang muka kredit rumah belum menjawab persoalan mendasar, yakni mahalnya harga rumah. Meski uang muka ditiadakan, harga rumah tetap sama. Mahalnya harga rumah akan berimplikasi terhadap besaran cicilan dan lamanya kredit.
”Cuma kesan mahalnya saja yang seakan hilang dengan kebijakan uang muka kredit nol persen ini, tetapi sebenarnya harga rumahnya, kan, tetap,” ujarnya.