Pemerintah memberikan sejumlah insentif guna menggerakkan sektor properti lebih kencang di tengah pandemi Covid-19. Namun, sejauh mana insentif bakal mampu menggerakkan pasar perumahan?
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Sejumlah jurus tengah digulirkan pemerintah untuk menggerakkan sektor properti. Setelah pelonggaran uang muka kredit rumah hingga nol persen, terhitung mulai Maret 2021 pemerintah memberikan insentif pajak pertambahan nilai 50-100 persen untuk penjualan rumah.
Insentif itu digulirkan setelah Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan ke level 3,5 persen. Dengan bauran kebijakan ini, pembeli rumah nonsubsidi berkesempatan membeli rumah dengan uang muka nol persen, Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP), serta suku bunga kredit pemilikan rumah yang rendah.
Relaksasi menyasar konsumen kelas menengah atas yang selama ini minim insentif. Fasilitas PPN DTP sebesar 100 persen berlaku untuk penjualan unit rumah tapak atau rumah susun bernilai jual sampai Rp 2 miliar, sedangkan PPN DTP 50 persen untuk rumah dengan nilai jual di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar.
Kriteria PPN DTP antara lain rumah baru yang diserahkan dalam kondisi siap huni. Konsumen memperoleh insentif ini maksimal untuk pembelian satu unit rumah tapak atau rumah susun serta tidak boleh dijual kembali dalam jangka waktu satu tahun. Stimulus ini diharapkan mendorong penjualan 27.000-30.000 rumah nonsubsidi.
Adapun pelonggaran rasio pinjaman terhadap nilai (LTV/FTV) rumah yang dibeli paling tinggi 100 persen atau uang muka nol persen berlaku untuk rumah tapak, rumah susun, dan ruko/rukan bagi bank yang memenuhi kriteria. Rumah tapak yang mendapat kelonggaran adalah rumah tapak berdimensi kurang dari 21 meter persegi, antara 21 meter persegi dan 70 meter persegi, serta lebih dari 70 meter persegi.
Selama ini, insentif yang digulirkan pemerintah di sektor perumahan menyasar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Insentif itu berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga (SSB), subsidi bantuan uang muka (SBUM), dan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT).
Akan tetapi, permintaan terbesar justru dari segmen kelas menengah dengan kisaran harga rumah Rp 500 juta-Rp 2 miliar per unit. Segmen terbesar ini masih kesulitan menjangkau hunian karena kendala bunga KPR yang tinggi. Sementara itu, fasilitas KPR belum menyentuh warga berpenghasilan tak tetap di sektor informal yang membutuhkan rumah.
Pada tahun 2019, pemerintah memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) hunian mewah dari 5 persen jadi 1 persen. Batasan nilai hunian mewah yang kena PPh dinaikkan dari Rp 5 miliar-Rp 10 miliar jadi Rp 30 miliar. Namun, pasar properti menengah atas yang diharapkan bangkit melalui insentif itu dinilai masih minim karena investor di segmen atas cenderung menahan investasi.
Pasar properti tengah memasuki keseimbangan baru. Pasar properti dengan harga di atas Rp 2 miliar, yang pada 2012-2014 sempat meledak dan didominasi investor, kini menurun. Sebaliknya, properti dengan harga jual di bawah Rp 2 miliar per unit, yang kepemilikannya didominasi penghuni (end user), terus tumbuh.
Tak dimungkiri, kepemilikan properti mulai didominasi kaum milenial yang mencakup 60 persen dari total pasar properti. Dari jumlah itu, sekitar 80 persen membeli properti untuk dihuni, bukan sebagai investasi. Kondisi ini berbeda dengan lima tahun lalu, yakni 60 persen pasar properti dikuasai investor dan 40 persen oleh penghuni.
Pertanyaannya, sejauh mana insentif fiskal mampu menggerakkan pasar properti? Pandemi yang memukul berbagai sektor menekan pendapatan masyarakat yang berujung pada pelemahan daya beli. Permintaan properti turun hampir di semua segmen. Di tengah penurunan daya beli, risiko keuangan menjadi pertimbangan konsumen.
Di sisi lain, persoalan mendasar lain yang belum sepenuhnya terpecahkan adalah bunga KPR. Meski Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan hingga ke level terendah, hal itu belum diikuti penurunan bunga KPR. Selama tahun 2020, penurunan suku bunga kredit masih terbatas, yakni 83 bps ke level 9,70 persen.
Tingginya bunga kredit masih jadi pertimbangan utama konsumen. Pasalnya, pembelian rumah di segmen menengah didominasi skema KPR. Oleh karena itu, diperlukan bauran kebijakan yang beriringan agar lebih efektif menggerakkan sektor properti dan tepat sasaran membantu masyarakat dalam menjangkau rumah.
Upaya membangkitkan industri properti diharapkan mampu menggerakkan 175 industri terkait. Momentum ini jangan sampai terlewat.