Ruang uji coba yang diluncurkan BI kali ini akan mencakup tiga fungsi, yakni fungsi laboratorium inovasi, uji coba industri, dan regulasi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia meluncurkan ruang uji coba bagi industri sistem pembayaran yang mulai merambah segmen digital untuk mengakselerasi ekonomi keuangan digital. Selain memberikan sarana kepada pelaku industri, bank sentral juga memberikan sarana uji coba pengembangan bagi regulator agar mampu mengejar kecepatan inovasi layanan keuangan.
Ruang uji inovasi yang populer disebut sebagai sandbox ini berfungsi untuk menguji coba sejumlah aspek, di antaranya produk, layanan, tekonologi, dan model bisnis.
Dalam acara peluncuran Sandbox 2.0 yang berlangsung secara virtual, Kamis (8/4/2021), Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, ruang uji coba yang diluncurkan BI kali ini akan mencakup tiga fungsi, yakni fungsi laboratorium inovasi, uji coba industri, dan regulasi. Laboratorium inovasi ini merupakan sarana pengembangan inovasi layanan yang belum digunakan atau telah digunakan pada industri sistem pembayaran secara terbatas.
Adapun uji coba industri adalah sarana bagi industri sistem pembayaran guna mengadaptasi layanan yang sudah dikembangkan untuk kemudian didorong penggunaannya secara lebih luas. Untuk mempermudah para inovator dalam melakukan inovasi, bank sentral menyediakan fasilitas sarana dan prasarana tempat kerja yang mengusung tema digital Nusantara.
Sementara ruang uji coba regulasi akan menjadi sarana bagi regulator untuk menyamakan kecepatan inovasi kebijakan atau ketentuan dengan kecepatan inovasi layanan sistem pembayaran. ”Melalui peluncuran ini, kita bersama mendorong, memperkuat, dan memperluas inovasi untuk kemajuan digitalisasi ekonomi keuangan digital Indonesia,” ujarnya.
Ruang uji coba yang diluncurkan BI kali ini akan mencakup tiga fungsi, yakni fungsi laboratorium inovasi, uji coba industri, dan regulasi.
Menurut Perry, komitmen BI mendukung inovasi di bidang sistem pembayaran ini sejalan dengan inisiatif Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025. Inisiatif BSPI itu mengamanatkan reformasi regulasi sebagai upaya mencari titik keseimbangan antara optimalisasi inovasi dengan memelihara stabilitas dan kepentingan nasional.
”Reformasi pengaturan sistem pembayaran tersebut mencakup penguatan fungsi uji coba inovasi teknologi sistem pembayaran yang sesuai dengan praktik internasional,” ujarnya.
Perkembangan transaksi digital sejatinya sudah mulai masif sejak tahun 2019. Namun, lanjut Perry, adanya pandemi Covid-19 membuat pertumbuhan penggunaan layanan sistem pembayaran digital semakin terakselerasi.
Berdasarkan data BI, transaksi e-dagang pada 2020 sudah menembus Rp 253 triliun. Angka tersebut naik sebesar 23,11 persen dari posisi akhir 2019 yang mencapai Rp 205,5 triliun. Menurut proyeksi BI, tren belanja di e-dagang akan semakin tinggi di tahun ini dan nilainya ditaksir bisa mencapai Rp 337 triliun, naik 33,2 persen secara tahunan.
Untuk memastikan stabilitas dan keamanan layanan keuangan digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menerbitkan Peraturan OJK (POJK) tentang perbankan digital pada semester I-2021. Ketua Eksekutif Industri Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, aturan tersebut akan melengkapi POJK terkait operasional bank umum.
OJK akan mengatur berbagai aspek operasional bank digital, seperti tata kelola operasional, mekanisme keamanan data nasabah, dan mekanisme mengatasi kejahatan siber. ”Sebagian besar bank sudah siap untuk bertransformasi menuju bank digital. Banyak bank bermodal mini kecil sudah mulai mengambil ancang-ancang untuk bertransformasi menuju bank digital,” ujarnya.
Suku bunga
PT Bank Central Asia Tbk merupakan salah satu bank yang berminat menjalankan segmen bisnis perbankan digital. Hal ini terbukti dengan rencana BCA meluncurkan PT Bank BCA Digital pada pertengahan tahun ini.
Dalam VIP Forum Bank Digital yang berlangsung secara virtual, Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menyatakan, para bankir telah menyadari industri layanan pinjaman antarpihak (peer to peer lending) telah lebih dahulu masuk ke segmen layanan keuangan digital.
Segmen industri tersebut telah dikenal sebagai pemberi layanan keuangan dengan bunga tinggi. Namun, jika mulai merambah segmen layanan keuangan digital, perbankan tidak mungkin menyamakan tingkat bunga pinjaman setinggi industri peer to peer lending karena perbankan punya ketentuan suku bunga dasar kredit.
”Saya harapkan bunganya bisa tetap satu digit bertemu di tengah (dengan bunga peer to peer lending). Namun, untuk itu, bank digital masih akan menunggu arahan OJK,” ujar Jahja.
Di sisi lain, OJK memprediksi bank digital bisa memberikan suku bunga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan bank konvensional. Heru Kristiyana menuturkan, bunga kredit dibentuk berdasarkan beberapa faktor, mulai dari biaya operasional hingga pertimbangan keuntungan.
”Suku bunga kredit terbentuk oleh, di antaranya, biaya operasional, biaya dana, premi risiko, dan profit margin yang hendak dicapai. Apabila melayani secara digital, biaya operasional lebih rendah karena tidak butuh kantor yang banyak,” tuturnya.