Menyelamatkan ”Sang Penyelamat”
Menyelamatkan usaha mikro, kecil, dan menengah yang berperan besar dalam perekonomian di Tanah Air akan menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Sepanjang sejarah krisis ekonomi yang pernah menimpa negara ini, usaha mikro, kecil, dan menengah mampu bertahan. Bahkan, segmen ini menjadi penyelamat perekonomian pada saat usaha berskala besar terpukul krisis. Namun, kali ini, ”penyelamat” ikut babak belur menanggung dampak pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), pada 2020 ada 30 juta UMKM yang terdampak pandemi dan akhirnya gulung tikar. Diperkirakan, hanya tersisa sekitar 34 juta unit dari total 64 juta unit UMKM yang masih mampu bertahan dari krisis ekonomi akibat Covid-19.
Pada 2020, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) merupakan yang terendah sejak 2010, yakni hanya 37,3 persen. Padahal, sebelumnya, selama 10 tahun terakhir, UMKM menyumbang hingga 57-60 persen dari PDB nasional.
Kendati ikut terpuruk, UMKM tetap memainkan peranan penting dalam pemulihan ekonomi nasional. Selain sumbangsihnya yang besar terhadap pertumbuhan PDB, sektor ini juga menyerap hingga sekitar 120 juta tenaga kerja. Dari sisi jumlah, unit UMKM sekitar 99,7 persen dari seluruh unit usaha di Indonesia.
Berbagai kebijakan stimulus dan insentif bagi UMKM telah disiapkan pemerintah lewat skema program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yang umumnya berkaitan dengan dukungan pembiayaan. Misalnya, melalui bantuan produktif usaha mikro (BPUM), subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) dan non-KUR, potongan pajak penghasilan usaha (PPh Pasal 25), serta relaksasi atau restrukturisasi pembayaran utang.
Dalam program PEN 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 184,8 triliun untuk program dukungan UMKM dan pembiayaan korporasi. Sementara, pada 2020, pemerintah telah merealisasikan Rp 173,2 triliun untuk mendukung UMKM dan korporasi.
Dalam program PEN 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 184,8 triliun untuk program dukungan UMKM dan pembiayaan korporasi.
Namun, penyaluran dukungan finansial masih menemui kendala. Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan telah menerbitkan kebijakan bantuan penjaminan, penurunan suku bunga acuan, dan restrukturisasi kredit. Namun, distribusi kredit usaha masih terbatas, baik untuk UMKM maupun korporasi non-UMKM.
Berdasarkan laporan OJK per Desember 2020, realisasi restrukturisasi kredit perbankan baru 18 persen dengan sekitar Rp 971 triliun dan diberikan kepada 7,6 juta debitor. Rinciannya, restrukturisasi kredit untuk UMKM sebesar Rp 386 triliun untuk 5,8 juta debitor dan bagi non-UMKM sebesar Rp 584 triliun bagi 1,8 juta debitor.
Risiko kredit bermasalah atau NPL yang tinggi di saat krisis membuat perbankan enggan menyalurkan likuiditas kepada pelaku usaha di sektor-sektor yang tertekan pandemi.
Baca Juga: Optimalkan Dukungan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah
Perlakuan ini dirasakan pelaku UMKM, yang kerap dianggap tidak layak mendapat akses kredit dari bank. Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) mulai menjalankan kewajiban untuk menyalurkan kredit usaha bagi UMKM. Namun, langkah serupa tidak dilakukan semua bank swasta.
Akhirnya, banyak usaha yang sudah tertekan pandemi mengalami kesulitan likuiditas. Pemutusan hubungan kerja (PHK), pemangkasan upah, dan merumahkan pekerja tak terhindarkan.
Mengarahkan kebijakan stimulus yang cepat dan tepat pada saat krisis memang rumit. Sebab, semua pihak bergerak di ruang yang terbatas. Dalam hal penyaluran kredit, ada koridor tata kelola yang perlu diperhatikan untuk menekan risiko yang lebih besar.
Namun, situasi genting membutuhkan solusi yang berani dan luar biasa. Peran pemerintah untuk hadir sebagai pihak penjamin kredit dapat mengurangi kekhawatiran bank atas risiko NPL dan membantu memperlancar penyaluran kredit bagi usaha-usaha kecil yang dianggap tidak layak mendapat pinjaman.
Ekosistem bisnis
Persoalan tidak berhenti pada urusan pembiayaan. Untuk mendorong produktivitas dan pengembangan daya saing produknya di tengah krisis, UMKM perlu akses pasar yang seluas-luasnya serta jaminan penyerapan produk agar roda ekonomi kembali berjalan.
UMKM perlu akses pasar yang seluas-luasnya serta jaminan penyerapan produk.
Pengembangan ekosistem bisnis yang kondusif bagi pelaku UMKM akan memajukan UMKM di pasar dalam negeri dan global. Peluang berkolaborasi dengan usaha-usaha besar serta proyek pemerintah perlu dibuka seluas-luasnya. UMKM perlu lebih dilibatkan dalam rantai pasok dalam negeri.
Baca Juga: Topang Pemulihan Lewat Dunia Usaha
Untuk membangun ekosistem bisnis, cara berpikir pelaku usaha dan pemerintah perlu diubah. Iklim usaha lokal berskala kecil harus dilihat sebagai kolaborasi pendorong ekosistem baru. Iklim usaha bagi UMKM bukan kompetisi bisnis yang ujung-ujungnya saling mematikan satu sama lain, atau dipandang sebelah mata karena skala usahanya yang kecil.
Dukungan terhadap usaha merek lokal diharapkan bukan hanya jargon sesaat, melainkan gerakan berkesinambungan untuk mewujudkan tren baru berbelanja produk lokal. Upaya ini harus dimulai dari belanja dan proyek pemerintah, BUMN, hingga kolaborasi bisnis dengan usaha-usaha besar.
Di sisi lain, pandemi membawa momentum krusial bagi kemajuan UMKM lewat kebangkitan lokalitas serta kemunculan tren ekonomi hijau yang mengutamakan pelestarian lingkungan dan kesetaraan sosial, terutama di kalangan anak muda.
Riset oleh Inventure Consulting sepanjang pandemi menyoroti tren perilaku konsumen yang belakangan mencuat, yakni kesadaran berbelanja produk lokal. Tren ini didorong dua faktor. Pertama, harga produk asing yang lebih mahal akibat disrupsi perdagangan global. Kedua, empati dan sentimen tolong-menolong komunitas yang bangkit selama pandemi. Peluang pergeseran tren perilaku konsumen ini harus mampu direbut UMKM.
Daya saing
Ada pekerjaan rumah besar yang harus dijawab saat ini, yakni meningkatkan kualitas produk UMKM. Sejauh ini, daya saing produk Indonesia masih menjadi persoalan besar yang membuat Indonesia tidak mendapat porsi besar di pasar global.
Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan 21,74 miliar dollar AS pada 2020 akibat nilai impor yang tertekan lebih dalam daripada ekspor. Namun, peran Indonesia di rantai pasok global masih terhitung rendah.
Baca Juga: Pengendalian Pandemi Berdampak pada Daya Saing Ekspor
Data Global Trade Update oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) pada Februari 2021 menunjukkan, daya saing Indonesia di rantai pasok global tidak berubah, termasuk di sektor agribisnis/pertanian. Padahal, sepanjang 2020, sektor itu tumbuh positif secara nasional.
Maka, ekosistem perlu dibenahi secara sistematis. Di samping itu, rantai pasok perlu didesain ulang dengan melibatkan pelaku UMKM. Kemauan politik itu harus sejalan dengan pemanfaatan teknologi yang lebih masif bagi pelaku usaha, peningkatan kapasitas pekerja, serta perbaikan standar kualitas produksi yang berpotensi untuk dipasarkan secara global.
Rantai pasok perlu didesain ulang dengan melibatkan pelaku UMKM.
Pemerintah meski bekerja bersama untuk memberdayakan UMKM. Hilangkan program yang tumpang tindih dan tidak efektif akibat ketiadaan koordinasi. Perlu ada pendekatan strategis dan terpadu untuk mencapai target memajukan UMKM. Jika ingin memulihkan perekonomian nasional di masa krisis ini, para ”penyelamat” harus lebih dahulu diselamatkan.