Pengendalian Pandemi Berdampak pada Daya Saing Ekspor
Negara yang lebih dulu berhasil mengendalikan pandemi Covid-19 memiliki daya saing lebih tinggi. Pengendalian pandemi yang lambat bisa menggerus pangsa pasar perdagangan global.
JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan dunia tetap menggeliat bergerak pada 2020. Geliat itu ditopang ekspor sejumlah negara yang telah berhasil mengendalikan kasus Covid-19. Indonesia masih perlu mengejar kinerja serupa.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) memublikasikan laporan Global Trade Update 2020, pekan lalu.
Laporan itu menyebutkan, perdagangan dunia secara menyeluruh pada 2020 turun 9 persen secara tahunan. Perdagangan barang merosot 6 persen, sedangkan perdagangan jasa anjlok 16,5 persen.
Pemulihan kinerja perdagangan dunia ditopang pertumbuhan perdagangan wilayah Asia Timur secara signifikan.
Laporan itu menyebutkan, dampak pandemi Covid-19 terhadap perdagangan dunia cukup berat pada semester I-2020. Kondisi tersebut ditandai dengan penurunan nilai perdagangan hingga 15 persen.
Namun, kinerja perdagangan dunia mulai pulih pada triwulan III-2020 dan triwulan IV-2020. Pemulihan yang mulai berjalan itu memperkecil dampak pandemi Covid-19 terhadap keseluruhan nilai perdagangan pada tahun lalu.
Dalam laporan yang sama disebutkan, indeks kinerja ekspor sejumlah negara pada Januari-November 2020 dihitung dari laju pertumbuhan dan daya saing. Indeks kinerja ekspor Indonesia sebesar 0,48. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia mengungguli Malaysia (0,46), Filipina (0,41), Singapura (0,41), dan Thailand (0,42). Namun, Indonesia kalah dari Vietnam yang membukukan indeks kinerja 0,63.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani, data tersebut mengindikasikan kecepatan pengendalian pandemi dan normalisasi ekonomi. Langkah ini berdampak pada daya saing ekspor negara di pasar global.
”Ekspor-impor serta pangsa pasar China dan Vietnam tumbuh karena keduanya telah berhasil mengendalikan pandemi pada periode enam bulan terakhir di 2020. Akibatnya, mereka mampu melepaskan aturan-aturan yang mengekang produktivitas manufaktur,” katanya.
Ekspor-impor serta pangsa pasar China dan Vietnam tumbuh karena keduanya telah berhasil mengendalikan pandemi pada periode enam bulan terakhir di 2020.
Pelaku usaha dan industri nasional khawatir tidak bisa mengambil kembali pangsa pasar Indonesia yang telah dikuasai China dan Vietnam. Oleh sebab itu, pemerintah mesti lebih serius mengendalikan pandemi Covid-19. Keberhasilan pengendalian kasus diindikasikan melalui penurunan kasus secara permanen sehingga terjadi normalisasi kegiatan ekonomi di sentra industri manufaktur berorientasi ekspor.
Berdasarkan data di laman covid19.go.id dan worldometers.info, total kasus Covid-19 Indonesia per Minggu (14/2/2021) sebanyak 1.217.468 kasus. Adapun kasus aktif sebanyak 159.012 kasus.
Sejak 13 Januari 2021, Indonesia mulai melaksanakan vaksinasi Covid-19. Diperkirakan, perlu waktu 15 bulan untuk menuntaskan vaksinasi bagi 181 juta penduduk.
Berpeluang tumbuh
Laporan UNCTAD menunjukkan, Indonesia unggul dalam perdagangan produk pertanian dan pangan serta pakaian jadi. Akan tetapi, daya saing kedua kelompok produk tersebut cenderung tetap.
Kondisi ini berbeda dengan Vietnam yang daya saingnya naik, yakni untuk produk pakaian jadi, peralatan komunikasi, peralatan mesin kantor, dan tekstil.
Untuk mendongkrak daya saing produk pertanian dan pangan di pasar dunia, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, berpendapat, Indonesia memerlukan industrialisasi yang berorientasi pada kesejahteraan petani.
”Industrialisasi dapat membuat produk pertanian dan pangan yang diekspor memenuhi skala keekonomiannya,” katanya saat dihubungi, Minggu (14/2/2021).
Laporan UNCTAD juga memproyeksikan laju pemulihan perdagangan dunia melambat pada triwulan-I 2021. Perdagangan barang pada triwulan I-2021 diperkirakan turun 1,5 persen dibandingkan dengan triwulan IV-2020. Adapun perdagangan jasa diperkirakan merosot 7 persen.
Baca juga: WTO: Indeks Perdagangan Jasa Global Kian Melemah
Fithra menilai, kinerja perdagangan Indonesia masih berpeluang tumbuh di tengah pandemi. Caranya, dengan memanfaatkan tren relokasi pusat industri dan geliat perekonomian di China.
”Saat ini Indonesia juga mesti mengelompokkan komoditas yang berpotensi difokuskan untuk hilirisasi,” ujarnya.
Kinerja perdagangan Indonesia masih berpeluang tumbuh di tengah pandemi.
Pada 2020, Indonesia membukukan surplus 21,739 miliar dollar AS pada neraca perdagangan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), surplus terjadi karena ekspor senilai 163,307 miliar dollar AS lebih besar daripada impor yang senilai 141,568 miliar dollar AS.
Data BPS menunjukkan, nilai ekspor pada 2020 lebih rendah dibandingkan dengan nilai ekspor pada 2019, yakni 167,683 miliar dollar AS. Sementara nilai impor pada 2020 juga lebih rendah daripada 2019 yang sebesar 171,275 miliar dollar AS.
Impor yang anjlok 17,34 persen terjadi pada semua kelompok penggunaan barang, yakni konsumsi, bahan baku dan penolong, serta barang modal. Namun, penurunan terdalam terjadi pada bahan baku dan penolong, yakni 18,32 persen. Sementara impor barang modal pada 2020 merosot 16,73 persen dibandingkan dengan 2019 dan impor barang konsumsi turun 10,93 persen.
Padahal, pada 2020, sekitar 72,91 persen impor Indonesia berupa bahan baku dan penolong untuk kebutuhan industri.
Baca juga: Pertanian dan Pangan 2020
Data UNCTAD menunjukkan, ekspor utama Indonesia pada Januari-November 2020 adalah pertanian pangan, yang tumbuh 6 persen. Adapun sektor utama kedua adalah pakaian yang turun 16 persen.
Sertifikat internasional
Sementara itu, Kementerian Perindustrian memfasilitasi industri kecil dan menengah (IKM) di sektor pangan untuk memperoleh sertifikat standar internasional.
”Syarat ekspor produk pangan memang cukup ketat. Dengan fasilitas ini, kami mengharapkan IKM pangan bisa naik kelas, omzetnya meningkat, dan pasarnya makin luas,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih melalui siaran pers yang diterima Sabtu.
IKM pangan bisa naik kelas, omzetnya meningkat, dan pasarnya makin luas.
Sertifikasi itu adalah Hazard Analitical Critical Control Point (HACCP).
Menurut Gati, HACCP merupakan sistem pengamanan produk pangan berstandar internasional yang perlu dimiliki setiap produsen pangan untuk menjamin produknya aman dikonsumsi. Dengan mengantongi sertifikat itu, IKM pangan dapat lebih mudah memasarkan produk.
Baca juga: Kenaikan Impor Harus Diimbangi Peningkatan Ekspor
Konsultan HACCP, Jamal Zamrudi, memaparkan, sertifikasi HACCP bisa didapatkan jika IKM pangan telah memiliki izin usaha industri. IKM yang telah mengantongi izin pangan industri rumah tangga (PIRT) dan izin makanan dalam (MD) serta sertifikat halal berpotensi diprioritaskan.
Sertifikat itu menjamin produk yang dihasilkan aman dikonsumsi serta terhindar dari bahaya kontaminasi kimia, biologi, dan fisik.
Data BPS menyebutkan, lapangan usaha pertanian, kehuatanan, dan perikanan Indonesia pada 2020 tumbuh 1,75 persen. Angka pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan dengan 2019 yang sebesar 3,61 persen.
Pertumbuhan lapangan usaha pertanian pada 2020 didorong produksi palawija yang naik dan produksi hortikultura yang meningkat.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan, realisasi investasi pada 2020 sebesar Rp 826,3 triliun. Nilai itu terdiri dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 413,5 triliun dan penanaman modal asing (PMA) Rp 412,8 triliun.
Sektor yang mendapat realisasi investasi PMDN terbesar adalah transportasi, gudang, dan telekomunikasi. Adapun sasaran terbesar PMA adalah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin, dan peralatannya. (JUD)