Perdagangan bebas di sektor jasa mesti diiringi dengan berbagai kesiapan, salah satunya sumber daya manusia. Dengan cara itu, Indonesia tak akan kalah saing.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penandatanganan perjanjian perdagangan bebas tanpa diiringi inovasi dan pengembangan industri akan semakin menekan neraca perdagangan jasa Indonesia yang setiap tahun selalu defisit. Industri jasa harus disiapkan untuk bersaing di tengah semakin terbukanya pasar global dan pesatnya digitalisasi.
Sinkronisasi kebijakan antara perdagangan barang dan jasa juga dibutuhkan. Sebab, sektor jasa akan memberi nilai tambah dan menopang perdagangan barang.
Berbagai hal ini patut disiapkan sebelum pemerintah dan DPR mulai membahas ratifikasi Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) pada tahun ini.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, berbagai perjanjian dagang internasional yang sudah ditandatangani Indonesia dalam beberapa tahun terakhir belum membuahkan hasil sesuai harapan. Pada sektor jasa, neraca perdagangan terus defisit dari tahun ke tahun.
Menurut dia, persoalan pada perdagangan jasa tidak terletak pada poin-poin perjanjian dagang, tetapi pada kesiapan pemerintah dan pelaku industri.
”Persoalannya sama dengan perdagangan barang. Kita janjikan liberalisasi perdagangan, kita buka pintu lebar-lebar ke negara lain, tapi kita tidak siap dengan produknya,” kata Piter dalam diskusi virtual yang diadakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi di Jakarta.
Persoalan pada perdagangan jasa tidak terletak pada poin-poin perjanjian dagang, tetapi pada kesiapan pemerintah dan pelaku industri.
Perdagangan di sektor jasa akan semakin terbuka setelah Indonesia menandatangani RCEP pada November 2020 dan meratifikasinya pada pertengahan tahun ini. Lewat perjanjian dagang terbesar di dunia itu, tingkat komitmen negara-negara ASEAN dan para mitranya untuk perdagangan jasa semakin luas dan dalam dibandingkan perjanjian-perjanjian dagang sebelumnya.
Indonesia, misalnya, berkomitmen membuka 104 subsektor perdagangan jasa atau lebih banyak dari berbagai penjanjian sebelumnya. Misalnya, di Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif ASEAN Jepang (AJCEP), Indonesia membuka 48 subsektor. Sementara, di Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN Australia dan New Zealand (AANZFTA), Indonesia membuka 86 subsektor untuk perdagangan jasa.
Piter mengatakan, sertifikasi profesi bagi tenaga profesional juga menjadi faktor penting untuk meningkatkan daya saing sektor jasa. Pemerintah tidak bisa hanya membuka pintu pada perdagangan jasa global tanpa memastikan kualitas sumber daya manusia serta sertifikasi pekerja profesional dalam negeri.
”Kalau kita bicara jasa profesional, maka terkait juga dengan sertifikasi. Jika kita tidak mampu melakukan sertifikasi, pasar kita buka, maka profesional asing masuk, tetapi profesional kita tidak bisa keluar,” katanya.
Ia menambahkan, sinkronisasi kebijakan antara perdagangan barang dan jasa juga menjadi penting. Industri jasa akan menopang kinerja perdagangan barang, demikian pula kinerja perdagangan barang yang efektif juga akan mendukung perdagangan jasa.
Menurut dia, selama ini, perdagangan barang dan jasa tidak selalu berjalan beriringan. Aktivitas ekspor dan impor, misalnya, masih lebih banyak menggunakan perusahaan asuransi asing dan kapal-kapal asing.
”Padahal, semakin besar ekspor dan impor kita, semakin besar juga asuransi yang dibutuhkan, transportasi logistik yang dibutuhkan. Hal-hal seperti ini perlu sinkronisasi kebijakan. Kalau itu tidak disiapkan, kita akan terus mengalami defisit,” katanya.
Kajian
Direktur Perundingan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Iskandar Panjaitan mengatakan, produktivitas dan daya saing sektor jasa dalam negeri menjadi tantangan utama yang harus disiapkan sebelum RCEP diratifikasi dan poin-poin perundingannya resmi berlaku.
”Perlu diakui juga, kebijakan kita pun masih relatif tertutup dan tidak stabil. Meskipun belakangan sudah ada Undang-Undang Cipta Kerja, perlu diakui bahwa kita masih perlu banyak persiapan,” ujar Iskandar.
Pemerintah sedang menyelesaikan kesiapan dokumen untuk ratifikasi RCEP. Pihaknya juga sedang menyusun kajian terkait kekuatan dan kelemahan sektor jasa Indonesia sebagai panduan dalam ratifikasi bab terkait sektor perdagangan jasa. Apalagi, melalui RCEP, negara-negara anggota berkomitmen membuka sektor jasanya lebih luas.
Ada beberapa sektor jasa unggulan Indonesia yang potensial, seperti jasa pariwisata dan perjalanan, ritel, ekonomi kreatif, serta konstruksi.
”Melalui RCEP, seluruh negara wajib berkomitmen minimal 100 subsektor untuk perdagangan jasa. Jadi, memang ini cukup luas cakupan subsektornya dan cukup dalam juga liberalisasinya,” katanya.
Meskipun belakangan sudah ada Undang-Undang Cipta Kerja, perlu diakui bahwa kita masih perlu banyak persiapan.
Poin lainnya adalah menyiapkan pelaku sektor jasa untuk bersiap menghadapi era digitalisasi. Pasca-pandemi, sejumlah layanan jasa beralih dalam bentuk digital. Sejumlah moda perdagangan jasa seperti pariwisata, pengiriman tenaga kerja, dan investasi sektor jasa relatif sulit dilakukan karena aturan pembatasan bepergian.
”Namun, meski cakupan perdagangan jasa sekarang lebih luas, kita belum tentu akan memberikan semuanya. Ada limitasi yang kita pertahankan, misalnya kalau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau karena ada permintaan dari kementerian atau lembaga tertentu,” kata Iskandar. (Age)