Dari sekitar 3.500 lini tarif dalam GSP AS, Indonesia baru memanfaatkan sekitar 20 persen. Banyak eksportir Indonesia yang belum mengetahui detail fasilitas ini.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu strategi meraih target pertumbuhan ekspor nonmigas tahun ini adalah meningkatkan pemanfaatan atau utilisasi fasilitas dan perjanjian dagang yang sudah diimplementasikan dengan negara-negara mitra. Kendala utilitas terletak pada ketidaktahuan eksportir dan produk belum memenuhi standar di negara tujuan.
Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor nonmigas pada 2021 tumbuh sebesar 6,3 persen dan optimistis dapat mencapai 7 persen. Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor nonmigas sepanjang 2020 sebesar 155 miliar dollar Amerika Serikat.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Jumat (29/1/2021), mengatakan, Kemendag akan menggenjot eksportir untuk memanfaatkan fasilitas dan perjanjian dagang Indonesia dengan negara-negara mitra yang telah diimplementasikan. Ada dua faktor yang memengaruhi upaya itu, yaitu ketidaktahuan eksportir dan ketidaksiapan produk ekspor, terutama yang ada dalam perjanjian itu.
”Contohnya pemanfaatan fasilitas tarif preferensial umum (GSP) dari AS. Dari sekitar 3.500 lini tarif, Indonesia baru memanfaatkan sekitar 20 persen. Banyak eksportir kita yang belum mengetahui detail fasilitas ini,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Jika pemanfaatan fasilitas GSP AS itu semakin meningkat, pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada 2021 diperkirakan bisa mencapai 3,87 persen. Nilai ekspor nonmigas ke AS yang merupakan negara tujuan ekspor kedua Indonesia pada 2020 sebesar 18,6 miliar dollar AS.
Tak hanya soal GSP AS, ada juga kendala ketidaksiapan produk dalam pemanfaatan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang sudah diterapkan pada 5 Juli 2020. ”Misalnya, (standar emisi) produk otomotif kita masih EURO II, sedangkan di Australia EURO IV,” kata Lutfi.
Jika pemanfaatan fasilitas GSP AS itu semakin meningkat, pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada 2021 diperkirakan bisa mencapai 3,87 persen.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Fithra Faisal berpendapat, kenaikan tingkat utilisasi perjanjian dagang yang sudah ada hingga 60 persen dapat berdampak signifikan pada kinerja ekspor Indonesia sepanjang 2020. Saat ini, rata-rata tingkat utilisasi perjanjian dagang berkisar 30 persen berdasarkan penelitiannya.
Salah satu cara meningkatkan pemanfaatan perjanjian dagang ialah dengan sosialisasi secara masif. Masih banyak pelaku usaha, terutama di daerah, yang belum mengetahui tentang perjanjian dagang, manfaatnya, serta dampak fasilitas tarif bagi produknya.
”Oleh sebab itu, pemerintah pusat dan daerah perlu berkolaborasi dengan perguruan tinggi, swasta, dan komunitas setempat untuk menguatkan komunikasi publik,” ujarnya saat dihubungi, Jumat.
Selain IA-CEPA, perjanjian dagang yang sudah diimplementasikan antara lain Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Chile (IC-CEPA), Perjanjian Perdagangan Preferensial Indonesia-Pakistan, dan Nota Kesepahaman dalam Fasilitas Perdagangan untuk Produk Tertentu Indonesia-Palestina.
Di tingkat regional, Indonesia memiliki Perjanjian Perdagangan Jasa ASEAN-India, Perjanjian Perdagangan Bebas dan Investasi ASEAN-Hong Kong-China, serta Perjanjian Perdagangan ASEAN-Australia-Selandia Baru (AANZFTA).
Baik melalui perjanjian dagang maupun pendekatan bilateral, Indonesia juga akan meningkatkan ekspor produk-produk jadi hasil industri dan teknologi tinggi. Hal ini seiring dengan proses transformasi Indonesia dari negara eksportir barang mentah dan setengah jadi menjadi eksportir barang jadi.
Menurut Lutfi, sejumlah produk akan menjadi unggulan, seperti otomotif, logam dan produk logam, elektronik, minyak kelapa sawit dan turunannya, serta karet dan produk karet. ”Indonesia juga akan membuka diri sebagai pasar sehingga dapat mendatangkan investasi yang mendorong industrialisasi dan berdampak pada perbaikan struktur ekspor nasional,” katanya.
Sejumlah produk akan menjadi unggulan, seperti otomotif, logam dan produk logam, elektronik, minyak kelapa sawit dan turunannya, serta karet dan produk karet.
Lutfi menambahkan, transformasi Indonesia menjadi eksportir produk jadi menimbulkan sejumlah hambatan dagang. Oleh karena itu, Kemendag akan memperkuat fungsi dan peran atase perdagangan serta Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) guna menjaga pasar ekspor di masing-masing negara.
Kemendag mencatat, terdapat 37 kasus sengketa dagang (trade remedies) yang terdiri dari 24 kasus antidumping dan 13 kasus pengamanan perdagangan (safeguards). Ada 14 negara yang menginisiasi sengketa tersebut, antara lain Filipina, Australia, AS, India, dan Korea Selatan.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, perjanjian dagang yang sudah diratifikasi lebih efektif untuk mewujudkan perdagangan yang berorientasi pada industrialisasi. Hal ini perlu dioptimalkan mengingat adanya tren rekonfigurasi rantai pasok global pascapandemi Covid-19.
Perdagangan dapat menjadi mesin pertumbuhan paling menjanjikan dalam proses pemulihan ekonomi. ”Perdagangan tidak hanya mendatangkan devisa dari ekspor, tetapi juga investasi di berbagai jenis sektor ekonomi,” katanya.
Terkait dengan hambatan perdagangan, Shinta mengatakan, proteksionisme dagang tengah tumbuh karena tiap negara berhati-hati menjaga kinerja neraca perdagangan agar tak memperparah krisis ekonomi yang terjadi di negara masing-masing. Negara mitra perjanjian perdagangan bebas (FTA) tidak bisa menambahkan kebijakan yang restriktif terhadap Indonesia.
”Inilah sebabnya kita perlu mengamankan akses pasar ke negara mitra strategis dengan perjanjian dagang,” ujarnya.