Impor garam tahun ini diperkirakan 3,07 juta ton, naik dibandingkan dengan tahun lalu yang 2,7 juta ton. Namun, pada saat yang sama, garam petambak rakyat menumpuk tak terserap pasar dan harganya anjlok.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Petambak garam Arifin Jami\'an memanen garam di ladang garam prisma miliknya di Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Jumat (3/7/2020). Pengolahan garam dengan metode rumah prisma tersebut memungkinkan Arifin panen sepanjang tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Impor garam industri diperkirakan mencapai 3,07 juta ton seiring dengan meningkatnya kebutuhan tahun ini. Pada saat yang sama, garam produksi petambak rakyat menumpuk karena tak terserap pasar, sementara harganya anjlok di bawah ongkos produksi.
Data yang dikutip Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebutkan, produksi garam nasional tahun 2021 ditaksir 2,1 juta ton, sedangkan kebutuhan garam nasional diperkirakan 4,67 juta ton. Adapun impor garam diperkirakan 3,07 juta ton, naik dibandingkan dengan tahun lalu yang 2,7 juta ton.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin menyatakan, impor garam tahun ini lebih banyak karena kebutuhan tahun berjalan dan kebutuhan stok tahun depan guna menjaga kestabilan stok garam industri.
Hingga saat ini, lahan produksi garam masih terbatas, yakni 21.000-22.000 hektar. Sementara itu, produksi garam nasional cenderung fluktuatif karena faktor iklim. Di sisi lain, investasi industri pengguna bahan baku garam cenderung meningkat setiap tahun. Keterbatasan produksi dan kapasitas lahan garam nasional mendorong impor garam.
Menurut Safri, lima tahun lalu pemerintah berpatokan bahwa Indonesia sudah mengarah ke swasembada garam industri. Ketika itu, kebutuhan hanya 2 juta ton per tahun, tetapi kini sudah 3 juta ton per tahun. ”Kalau bicara garam industri, kita tak bisa dikatakan swasembada,” ujarnya dalam telekonferensi ”Major Project 2021”, Rabu (10/3/2021).
Industri antara lain mensyaratkan garam dengan kadar NaCl 97-98 persen, sedangkan garam rakyat berkadar NaCl di bawah 97 persen. Dengan proses pemurnian, kadar NaCl bisa meningkat menjadi 97 persen, tetapi struktur biaya kian kompetitif.
Meski demikian, sejak tahun 2012, Indonesia sudah mencapai swasembada garam konsumsi. Kebutuhan garam konsumsi dinilai dapat dipenuhi dari garam rakyat. Pemerintah kini sedang menyusun regulasi impor garam agar tidak merembes ke pasar garam konsumsi dan merugikan petambak garam.
Regulasi itu, antara lain, mensyaratkan garam impor tidak boleh dipakai untuk garam konsumsi. Selain itu, impor garam hanya boleh dilakukan oleh industri pengguna garam industri, dan garam impor tidak boleh diperdagangkan.
Petani memanen garam di lahan yang dilindungi plastik di Desa Bungko Lor, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (5/8/2019). Teknologi tunnel dengan plastik dan geomembran itu diklaim dapat meningkatkan kualitas garam dengan NaCL hingga 97 persen. Selama ini, kadar NaCl sebagian besar garam rakyat di Cirebon jauh di bawah 94 persen.
Pemerintah kini juga sedang menginisiasi produksi garam dari air tua yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). PLTU selama ini menggunakan air laut sebagai pendingin yang terkonsentrasi menjadi air tua.
Air tua itu bisa dimanfaatkan untuk produksi garam melalui proses pemurnian. PLTU dengan kapasitas 500-600 MW ditaksir bisa menghasilkan 100.000-150.000 ton garam per tahun.
Semangat luntur
Secara terpisah, Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam Jawa Timur Muhammad Hasan berpendapat, harga garam yang anjlok pada musim panen 2020 telah menghancurkan semangat petambak untuk kembali berproduksi. Harga garam pada kisaran Rp 300-Rp 350 per kilogram (kg) di tingkat petambak. Padahal, ongkos produksi pada kisaran Rp 450-Rp 550 per kg.
Kondisi itu diperburuk dengan rendahnya penyerapan garam oleh industri pengolahan. Ada indikasi perusahaan enggan menyerap garam rakyat karena membanjirnya garam impor. Sebagian petambak terpaksa menyimpan hasil panen karena harga jual anjlok.
Hasan menyoroti janji pemerintah memasukkan garam sebagai barang kebutuhan pokok/penting serta menetapkan harga pokok pembelian (HPP). Namun, janji itu belum terealisasi. Padahal, jika harga garam stabil, petambak akan tergerak memacu produksi.
Kalau pemerintah tidak turun tangan membenahi tata niaga garam, nasib petambak akan semakin hancur. (Muhammad Hasan)
Sebaliknya, kalau harga anjlok, petambak loyo berproduksi dan lahan terbengkalai. ”Kalau pemerintah tidak turun tangan membenahi tata niaga garam, nasib petambak akan semakin hancur,” katanya.
Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Miftahul Huda mengakui sistem resi gudang belum optimal. Sistem tersendat karena perbankan tak mau menerbitkan resi. Harga garam yang rentan anjlok dinilai tidak memberikan kepastian dan jaminan bagi perbankan.