Keyakinan konsumsi masyarakat dan ekonomi perlahan membaik kendati masih cenderung pesimistis dengan perkembangan pandemi Covid-19.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat perlahan mulai kembali meningkatkan pengeluaran untuk konsumsi seiring pulihnya mobilitas warga. Keyakinan masyarakat terhadap situasi ekonomi cenderung membaik kendati masih pesimistis dengan perkembangan penanganan Covid-19.
Afdan Farid (36), warga Kramat Jati, Jakarta Timur, yang bermatapencarian utama sebagai ojek daring, misalnya, baru saja mengambil kredit motor baru untuk mengganti motor lamanya yang sering bermasalah. Keputusan ini ia ambil setelah penghasilan dari ojek daring membaik beberapa bulan terakhir.
Ia mengaku bisa mengangkut belasan sampai maksimal penumpang setiap hari. Situasi saat ini, menurut dia, lebih baik dibanding akhir tahun lalu, atau masa-masa pemberlakuan pembatasan sosial ketat di Jakarta. Bulan Februari lalu pun ia bisa mendapatkan penghasilan yang hampir setara upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta yang tahun ini ditetapkan sebesar Rp 4,4 juta.
”Alhamdulillah, sekarang penghasilan naik lagi karena orang-orang banyak yang mulai keluar rumah. Setahun lalu sampai akhir tahun lalu, penghasilan ngojek jauh dari sekarang, sampai-sampai saya buka usaha jualan bubur ayam di rumah karena pemasukan kurang,” katanya kepada Kompas, Senin (8/3/2021).
Setelah kegiatan mengojek membaik, Afdan mengaku tidak lantas menutup usaha berjualan bubur ayam. Usaha yang dibuka Agustus 2020 lalu itu tetap dilanjutkan sang istri yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga.
Hasil usaha kecil-kecilan tersebut pun disebut cukup untuk dipakai belanja makanan keluarga dan jajan ketiga anak mereka. Sementara itu, penghasilan dari mengojek dipakai untuk membayar tagihan wajib, sewa rumah kontrakan, dan kredit jangka panjang seperti motor.
Pedagang kue di kawasan perkantoran Jakarta Selatan, seperti Aminah (52), juga mulai merasakan kenaikan penjualan. Omzet hariannya jauh lebih baik dari akhir tahun lalu kendati nilainya masih 50 persen dibandingkan omzet sebelum adanya pandemi. Ini terjadi sejak aktivitas bisnis dan acara mulai ramai meminta produk jualannya.
”Toko saya sudah mulai ramai lagi didatangi orang kantoran karena kapasitas kerja di kantor ditambah, kan. Pesanan untuk acara juga mulai banyak. Tapi, sekarang saya juga mulai cari pasar lain dengan jualan online supaya cepet ada penghasilan lebih,” ujarnya, yang dihubungi terpisah.
Awal tahun ini, Aminah mulai merintis penjualan secara daring yang saat dinilai memudahkan dan memperluas akses pasar. Salah seorang anaknya ikut membantunya, termasuk membelikannya ponsel pintar sebagai modal usaha.
Aminah pun harus belajar beradaptasi menggunakan platform e-dagang dan media sosial untuk berjualan. Sejauh ini, ia sudah melayani dua pesanan besar sejak memiliki akun jualan di e-dagang.
Situasi dua orang tersebut juga tecermin dalam hasil Survei Konsumen yang dilakukan Bank Indonesia (BI) pada Februari 2021, yang dirilis hari ini (8/3/2021). Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Februari membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 85,8, sedikit membaik ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar 84,9.
Keyakinan konsumen yang membaik pada Februari didorong persepsi terhadap kondisi ekonomi saat ini, baik dari aspek ketersediaan lapangan kerja maupun penghasilan. Keyakinan konsumen untuk melakukan pembelian barang tahan lama juga membaik, terutama untuk jenis barang elektronik dan perabot rumah tangga. Kenaikan indeks terjadi pada responden dengan pengeluaran Rp 2,1 juta-Rp 3 juta dan di atas Rp 4 juta per bulan.
Zona pesimistis
Kendati membaik, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mencatat, keyakinan konsumen masih berada di zona pesimistis. Ini terlihat dari IKK yang masih di bawah angka 100, sebagai titik mula keyakinan konsumen.
”Kenaikan tipis menandakan tingkat konsumsi sudah bergerak ke arah positif, tetapi masih sangat lambat sehingga masih ada di zona pesimistis,” ujarnya.
Perbaikan kepercayaan konsumen, menurut dia, dikontribusi penyaluran berbagai stimulus fiskal. Selain itu, juga adanya faktor meningkatnya mobilitas masyarakat karena pelonggaran aktivitas usaha di perkantoran hingga pusat perbelanjaan.
Kontraksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2021 pun diprediksinya lebih baik dibandingkan beberapa triwulan sebelumnya. Faisal memproyeksikan, angka pertumbuhannya -1 sampai 0 persen secara tahunan.
Negatifnya pertumbuhan ekonomi di tiga bulan pertama 2021 juga mungkin terjadi karena masih rendahnya penjualan riil. BI sebelumnya memprediksi, Indeks Penjualan Riil (IPR) Januari 2021 akan terkontraksi 14,2 persen secara tahunan. Ini lebih baik dari IPR Desember 2020 yang terkontraksi 19,2 persen dan November 2020 yang terkontraksi 16,3 persen secara tahunan.
Perbaikan penjualan riil dilihat BI, dalam laporannya awal Februari lalu, sebagian besar didukung penjualan sandang, makanan dan minuman, tembakau, dan kelompok perlengkapan rumah tangga lainnya.
Sementara itu, pada triwulan II-2021, angka pertumbuhan ekonomi baru diproyeksikan positif dibandingkan triwulan 2020 ketika pandemi secara signifikan memperlambat perekonomian.
”Untuk mewujudkan ini, beragam program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang sudah dirancang harus diperbaiki dan dipercepat penyalurannya. Selebihnya, yang masih menjadi PR besar adalah menekan angka kasus Covid-19, yang menjadi sumber krisis kesehatan dan ekonomi,” ujarnya.