Pertamina perlu mengamankan pasokan elpiji yang kebutuhannya secara terus meningkat. Sementara proyek gasifikasi batubara untuk menghasilkan dimetil eter sebagai pengganti elpiji terus masih menuai sorotan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero) sepakat mengimpor elpiji dan sulfur dari Abu Dhabi National Oil Company atau ADNOC, perusahaan minyak dan gas bumi Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Langkah ini untuk mengamankan pasokan elpiji nasional.
Di tahun-tahun mendatang, kebutuhan elpiji di dalam negeri diperkirakan terus meningkat. Pemerintah tengah mengembangkan substitusi elpiji dari gasifikasi batubara.
Dalam siaran pers, Minggu (7/3/2021), Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga pada PT Pertamina Patra Niaga—anak usaha Pertamina—Hasto Wibowo mengatakan, kesepakatan dengan ADNOC untuk memastikan keamanan pasokan elpiji di Indonesia yang meningkat setiap tahun. Data Pertamina menyebutkan, kebutuhan elpiji di Indonesia pada 2022 diperkirakan 8,3 juta ton dan menjadi 9,12 juta ton pada 2023. Pada 2024 diperkirakan naik menjadi 10 juta ton.
”Saat ini, kebutuhan impor elpiji Indonesia mencapai 6 juta ton per tahun. Kerja sama impor dengan ADNOC diharapkan menjaga kestabilan pasokan,” kata Hasto.
Hasto menambahkan, kerja sama jual beli elpiji dengan ADNOC bisa diperpanjang setiap tahun. Namun, tidak dijelaskan volume impor elpiji tahun ini, termasuk nilainya. Kerja sama tersebut tertuang dalam sales confirmation agreement yang ditandatangani Vice President Trading & Other Business Subholding Commercial and Trading Pertamina Maya Kusmaya dengan Senior President Internaional Relations ADNOC Salem al Meheiri.
”Sebagai salah satu produsen minyak dan gas bumi terbesar di dunia, kami menjamin akan memasok produk yang andal ke Indonesia,” kata Salem.
Data Pertamina menyebutkan kebutuhan elpiji di Indonesia pada 2022 diperkirakan 8,3 juta ton dan menjadi 9,12 juta ton pada 2023.
Mengutip laman resmi ADNOC, kemampuan produksi minyak perusahaan tersebut sebanyak 3,5 juta barel per hari dan gas bumi sebanyak 10,5 miliar kaki kubik per hari. Perusahaan yang berdiri pada 1971 itu tidak hanya memproduksi minyak dan gas bumi, tetapi juga memiliki bisnis perdagangan migas dan pengolahan minyak mentah (refinery).
Dalam daftar impor elpiji Pertamina pada 2019, selain Uni Emirat Arab, negara pengekspor elpiji ke Indonesia, antara lain, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar, Aljazair, Nigeria, Australia, dan Amerika Serikat. Volume impor pada 2019 sebanyak 5,8 juta ton senilai 2,7 miliar dollar AS. Adapun konsumsi elpiji nasional pada 2019 sebanyak 6,8 juta ton.
Gasifikasi
Pemerintah tetap berencana mengembangkan gasifikasi batubara untuk menghasilkan dimetil eter (DME) yang berfungsi menggantikan elpiji. Proyek gasifikasi ini dilakukan PT Bukit Asam Tbk, salah satu BUMN tambang batubara di Muara Enim, Sumatera Selatan. Dengan menggandeng Pertamina dan Air Products, perusahaan asal AS selaku pemilik teknologi gasifikasi, proyek ini ditargetkan masuk layanan komersial pada 2025 dengan produksi DME sebanyak 1,4 juta ton per tahun.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) sudah menguji coba penggunaan dimetil eter sebagai pengganti elpiji untuk skala rumah tangga. Ada tiga tipe pengujian, yaitu tabung gas berisi 100 persen DME, tabung berisi 50 persen DME dan 50 persen elpiji, serta tabung dengan komposisi 20 persen DME dan 80 persen elpiji. Pengujian dilakukan di Palembang, Sumatera Selatan, dan di DKI Jakarta sejak akhir 2019 hingga awal 2020.
Apabila Indonesia memproduksi 1,5 juta ton DME per tahun, akan ada potensi kerugian sebanyak 377 juta dollar AS per tahun.
”Hasil uji terap menunjukkan, nyala api DME berwarna biru dan api mudah dinyalakan. Hanya saja, waktu memasak menggunakan DME 1,2 kali lebih lama dibanding menggunakan elpiji. Secara teknis, pemanfaatan DME 100 persen layak dan bisa menggantikan fungsi elpiji,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Balitbang Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Dalam webinar mengenai riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) tentang proyek hilirisasi batubara, Selasa (2/3/2021), proyek gasifikasi batubara tersebut sulit meraup untung. Pasalnya, diperlukan biaya besar untuk menghilangkan kadar air di dalam batubara berkalori rendah. Batubara kalori rendah adalah bahan baku utama dalam proyek gasifikasi batubara di Indonesia. Biaya produksi DME lebih tinggi dibandingkan dengan biaya mengimpor elpiji saat ini.
”Dari kajian IEEFA, biaya produksi DME per ton bisa mencapai 470 dollar AS atau lebih tinggi dari impor elpiji saat ini yang harganya 365 dollar AS per ton. Apabila Indonesia memproduksi 1,5 juta ton DME per tahun, akan ada potensi kerugian sebanyak 377 juta dollar AS per tahun,” kata analis keuangan energi IEEFA Ghee Peh.