Serukan Benci Produk Asing, Presiden: ”Gitu Aja Rame!”
Seruan untuk lebih mencintai produk dalam negeri bukan berarti pemerintah menganut paham proteksionisme dalam ekonomi. Presiden Joko Widodo menyampaikan, Indonesia tetap menganut keterbukaan ekonomi.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo angkat bicara menjelaskan mengenai seruannya untuk lebih mencintai produk dalam negeri dan membenci produk asing yang menjadi polemik selama dua hari ini. Kampanye untuk lebih mencintai produk dalam negeri itu dimaksudkan untuk mendongkrak kinerja industri, membuka lapangan kerja yang merupakan prasyarat untuk memulihkan perekonomian nasional.
Penjelasan tersebut disampaikan Presiden di hadapan para pengusaha muda yang mengikuti acara pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) 2021 secara virtual dan tatap muka di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/3/2021) pagi.
”Kemarin (Kamis), saya sampaikan untuk cinta produk Indonesia, untuk bangga terhadap produk Indonesia. Dan, boleh saja kita ngomong tidak suka pada produk asing. Masak enggak boleh kita enggak suka? Kan, boleh saja tidak suka pada produk asing. Gitu aja rame! Ya, saya ngomong benci produk asing, gitu aja rame! Boleh, kan, kita tidak suka pada produk asing, tapi untuk menuju pada sebuah loyalitas konsumen pada produk-produk dalam negeri?” kata Presiden.
Sebelumnya, saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Perdagangan, Kamis (4/3/2021), Presiden meminta Kementerian Perdagangan menyiapkan kebijakan dan strategi untuk mengembangkan pasar bagi produk dalam negeri. Salah satunya strategi untuk mendorong masyarakat agar lebih mencintai dan mendukung produk-produk dalam negeri, sekaligus menyerukan untuk membenci produk-produk asing.
”Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri harus terus digaungkan. Produk-produk dalam negeri digaungkan. Gaungkan juga benci produk-produk luar negeri. Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk luar negeri,” ujar Presiden, Kamis kemarin.
Seruan untuk membenci produk asing itu pun ditanggapi beragam, bahkan sampai menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang menyesalkan pernyataan tersebut karena sebenarnya Presiden cukup menyampaikan seruan untuk lebih mencintai produk dalam negeri tanpa harus menyerukan untuk membenci produk asing.
Di hadapan para pengusaha muda dari seluruh penjuru Tanah Air, Presiden mengungkapkan bahwa pernyataannya punya maksud yang jelas, yakni mengajak masyarakat untuk lebih mencintai produk dalam negeri.
Jika lebih banyak masyarakat yang memilih produk dalam negeri ketimbang produk asing, kinerja industri yang sempat lesu akibat pandemi bisa terdongkrak. Kondisi itu tentu akan berdampak positif pada ketersediaan lapangan kerja baru, sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Meski begitu, menurut Presiden, dibutuhkan sejumlah prasyarat untuk membangun loyalitas konsumen terhadap produk dalam negeri. Selain harganya kompetitif, untuk bisa menarik konsumen juga dibutuhkan produk yang berkualitas.
”Dari sisi produsen harus terus memperbaiki kualitasnya, memperbaiki packaging (kemasan)-nya. Perbaiki desainnya dan bisa mengikuti tren,” tuturnya.
Terkait penggunaan produk dalam negeri, Presiden selalu menyampaikan kepada kementerian/lembaga serta badan usaha milik negara (BUMN) untuk lebih banyak lagi menggunakan komponen dalam negeri dalam melaksanakan berbagai proyek pembangunan.
”Jangan sampai proyek-proyek pemerintah, proyek BUMN, masih memakai barang-barang impor. Kalau itu bisa dikunci, itu akan menaikkan permintaan produk dalam negeri yang tidak kecil, gede banget,” katanya.
Bukan proteksionisme
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menegaskan, seruan untuk lebih mencintai produk dalam negeri bukan berarti Pemerintah Indonesia menganut paham proteksionisme dalam ekonomi. Presiden menyampaikan bahwa Indonesia tetap menganut keterbukaan ekonomi, tetapi tetap harus menjaga agar tidak menjadi korban ketidakadilan dalam perdagangan global.
”Sekali lagi saya tegaskan bahwa kita ini menganut keterbukaan ekonomi, enggak ada yang kita tutup-tutup. Tapi, saya tegaskan bahwa kita juga bukan bangsa yang menyukai proteksionisme karena sejarah membuktikan bahwa proteksionisme itu justru merugikan. Tetapi, kita juga tidak boleh menjadi korban unfair practices dari perdagangan dunia. Saya juga enggak mau itu,” tuturnya.
Terkait seruan untuk lebih mencintai produk dalam negeri, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyampaikan bahwa semestinya pemerintah membuat peraturan yang bisa memaksa platform e-commerce untuk lebih banyak memberikan ruang kepada pelaku usaha, terutama UMKM, Indonesia. Sebab, selama ini keberadaan e-commerce justru menjadi jalan masuknya berbagai produk asing ke dalam negeri.
”Dengan 270,2 juta penduduk, Indonesia menjadi market yang luar biasa bagi berbagai produk. Jangan sampai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri justru dipasok melalui impor dengan keberadaan platform e-commerce. Kehadiran e-commerce seharusnya bisa memberikan kontribusi bagi rakyat Indonesia,” ujar Bamsoet.
Sementara itu, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Hipmi Mardani H Maming, dalam sambutannya, menyampaikan, akan mendorong anggotanya untuk terus berinovasi serta memanfaatkan teknologi untuk memajukan usaha. Inovasi penting dilakukan guna mengurangi ketergantungan bangsa pada produk asing.
”Melalui Covid-19 ini kami menyadari masih banyak sektor ekonomi Indonesia yang bergantung pada bahan baku dan produk dari luar. Bukan hanya produk kesehatan, melainkan juga pangan, industri, jasa, dan teknologi. Dan, ketika terjadi gangguan rantai pasok global, banyak sektor ekonomi nasional yang mengalami kemacetan,” kata Maming.
Di hadapan Presiden, Menteri Perdagangan M Lutfi, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, Maming menyampaikan, sudah saatnya menggeser posisi Indonesia dari bangsa yang konsumtif menjadi produktif.
Selain itu, menggeser posisi dari bangsa yang bertumpu pada sumber daya alam menjadi bangsa yang mengutamakan teknologi dan inovasi serta dari bangsa penjahit menjadi bangsa dengan penguasaan terhadap teknologi tinggi.