Mahalnya Cabai Rawit, Usaha Warung Makan di Jakarta Menjerit
Pengusaha warung makan sulit bertahan saat cabai rawit sedang mahal di Jakarta. Sebagian mereka berusaha menekan uang belanja meski kunjungan pelanggan belum normal selama pandemi Covid-19.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga cabai yang mahal selama pandemi Covid-19 menambah kerugian beberapa pengusaha warung makan di Jakarta. Mereka sulit bertahan dengan kondisi naiknya harga bahan baku, sementara penjualan di masa ini juga belum normal.
Harga sejumlah jenis cabai merangkak naik sejak pandemi melanda. Cabai rawit, misalnya, sejak pertengahan 2020 mencapai sekitar Rp 100.000 per kilogram (kg). Harga ini juga makin tinggi sejak awal tahun 2021, mencapai kisaran Rp 120.000 per kg.
Seperti pada Jumat (5/3/2021), situs resmi Info Pangan DKI Jakarta mencatat harga rata-rata cabai rawit merah di pasaran senilai Rp 122.083 per kg. Adapun harga tertinggi mencapai Rp 150.000 per kg di Pasar Tomang Barat, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
Pada Jumat (5/3), situs resmi Info Pangan DKI Jakarta mencatat harga rata-rata cabai rawit merah di pasaran senilai Rp 122.083 per kg. Adapun harga tertinggi mencapai Rp 150.000 per kg di Pasar Tomang Barat, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
Kondisi itu membuat Ipah (40), pemilik warteg di Tanjung Duren, Grogol Petamburan, makin terimpit dengan harga bahan baku makanan. Dengan modal untuk belanja bahan makanan sehari-hari di pasar sekitar Rp 300.000 hingga Rp 500.000, sulit sekali untuk balik modal.
Terutama untuk cabai. Ipah mengaku, tak kurang dari 20 persen modal belanja atau sekitar Rp 100.000 hanya digunakan untuk belanja beberapa jenis cabai. ”Saya belanja cabai sedapatnya, tetapi tetap diutamakan untuk rawit supaya pedasnya tetap terasa. Harga lagi mahal, mau enggak mau, takaran (cabai) buat masakan juga ikut berkurang,” ucap Ipah.
Omzet harian yang berkisar Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta selama masa sebelum pandemi Covid-19 sekarang turun menjadi sekitar Rp 600.000 atau Rp 700.000 per hari. Sementara modal belanja bahan makanan sehari-hari untuk warungnya tak kurang dari Rp 500.000.
Ipah sebelumnya bimbang dalam pilihan menaikkan harga atau mengurangi takaran cabai pada masakan. Opsi naik harga pasti akan membuat pelanggan resah dan berisiko pindah ke warung makan yang lain. Padahal, warungnya hanya untung tipis, sekitar Rp 100.000 sampai Rp 200.000 per hari.
Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) pun mengeluhkan tingginya harga cabai. Ketua Kowantara Mukroni mengatakan, harga cabai yang tambah mahal semakin menekan usaha warteg yang masih sulit bangkit dari krisis pandemi.
Khusus untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), ada sedikitnya 10.000 pengusaha warteg yang tergabung dalam komunitas ini. Baik warteg berskala besar maupun kecil, mereka semua terdampak karena sepi kunjungan. Warteg skala kecil dengan modal sedikit pasti kian terimpit dengan situasi saat ini.
Mukroni memperkirakan penurunan omzet harian warteg berkisar 50 persen hingga 90 persen. Sebagian warteg yang bermodal besar dengan omzet harian di atas Rp 5 juta kini bahkan ada yang hanya dapat Rp 500.000 sehari.
Ada pula sebagian pengusaha warteg yang mengorbankan uang lebih untuk menjaga pelanggan setia. ”Kalau yang modalnya besar, masih bisa begitu. Tetapi, kalau modalnya cekak, mau enggak mau mungkin akan ngurangin takaran atau porsi masakan,” ujarnya.
Menurut dia, pedagang saat ini bertahan dengan cara sendiri-sendiri. Ada yang menaikkan harga masakan sekitar Rp 1.000-Rp 2.000. Ada juga yang mengurangi takaran cabai untuk masakan, yang artinya juga turut mengorbankan rasa.
Sementara cabai rawit itu menjadi campuran untuk hampir semua jenis masakan. ”Banyak pedagang sepakat kalau cabai rawit pedasnya lebih menggigit, lebih nendang. Masakan pedas juga jadi kesukaan banyak orang. Jadi, ya, mahalnya cabai berdampak banget ke masakan,” ujar Mukroni.
Di lain tempat, Wahyu (46) juga bercerita kondisi yang sama. Pegawai di Rumah Makan Nasi Kapau Bukittinggi, Senen, Jakarta Pusat, ini mesti mengirit biaya belanja bahan makanan untuk rumah makannya. Padahal, kebutuhan cabai untuk rumah makan tempatnya bekerja bisa mencapai 3 kilogram untuk sambal, bumbu lauk, dan sebagainya.
”Kebutuhan cabai untuk masakan Minang banyak di sambal sama bumbu makanan. Masakan Minang, kan, andalannya pedas. Seandainya anggaran belanja segitu-gitu saja, ya, beli cabainya juga makin berkurang, dong,” kata Wahyu.
Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri menyampaikan faktor tingginya harga saat ini adalah masalah distribusi yang belum merata ke Jakarta. Musim hujan turut memengaruhi proses distribusi itu.
Abdullah menyampaikan, kondisi ketersediaan pasokan jangan sampai berkurang karena bulan depan mulai memasuki masa Ramadhan. Apabila stok tidak tercukupi, harga bahan pangan bisa makin tinggi.