Program diversifikasi energi di Indonesia menjadikan pengembangan energi tidak fokus. Pemanfaatan energi fosil masih amat dominan di tengah melimpahnya sumber energi terbarukan di dalam negeri.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu peta jalan yang mampu merumuskan proses transisi energi dari fosil ke sumber energi yang bersih dan terbarukan. Dokumen Rencana Umum Energi Terbarukan saat ini dipandang kurang relevan terhadap kondisi mutakhir. Di satu sisi, pemerintah tengah menyusun strategi besar untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di dalam negeri.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, peta jalan tersebut dibutuhkan untuk memenuhi ambisi Perjanjian Paris 2015 yang ikut ditandatangani Pemerintah Indonesia. Dengan kemampuan sendiri, Indonesia berambisi menurunkan emisi gas rumah kaca 29 persen dan 41 persen jika didukung dunia internasional pada 2030. Indonesia juga telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim.
”Pemerintah perlu merencanakan proses transisi energi lewat peta jalan yang jelas dengan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan secara masif. Ingat, ada target 23 persen sumber energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional di 2025. Saat ini capaiannya masih sekitar 11 persen,” ucap Fabby, saat dihubungi, Rabu (3/3/2021), di Jakarta.
Fabby memandang perlunya revisi Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Pasalnya, berbagai indikator makro saat RUEN tersebut disusun telah banyak berubah, terutama sejak terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia pada Maret 2020. Pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah dan teknologi berbasis baterai tengah tumbuh pesat.
Indonesia berambisi menurunkan emisi gas rumah kaca 29 persen dan 41 persen jika didukung dunia internasional pada 2030.
”Penyesuaian RUEN harus merefleksikan transisi energi dari fosil ke energi terbarukan serta program dekarbonisasi. RUEN yang ada baru mengakomodasikan bauran energi baru dan terbarukan hingga 2050 dan itu pun masih hanya di angka 31 persen, sedangkan sisanya masih bersumber dari energi fosil,” kata Fabby.
Secara terpisah, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, mengatakan, DEN sedang menyusun strategi besar yang mengacu pada Perjanjian Paris untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia. Strategi tersebut untuk merespon permintaan energi di Indonesia yang terus meningkat dan masih bergantung pada impor. Beberapa strateginya adalah dengan meningkatkan produksi minyak di dalam negeri, mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan, serta pengoptimalan gas bumi untuk transportasi dan industri.
”Rencana evaluasi RUEN sangat memungkinkan karena banyak asumsi dasar, seperti harga minyak dan pertumbuhan ekonomi, tidak sesuai dengan keadaan sekarang,” ujar Satya.
Dalam webinar pada Selasa (2/3/2021), pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan, kebijakan energi di Indonesia dikenal tak konsisten atau mudah sekali berubah. Ia mencontohkan program gasifikasi batubara untuk menghasilkan dimetil eter (DME) sebagai pengganti elpiji. Di saat yang sama, pemerintah juga mengembangkan program jaringan gas rumah tangga dan kompor listrik.
DEN sedang menyusun strategi besar yang mengacu pada Perjanjian Paris untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia.
”Awalnya, dari konversi minyak tanah ke elpiji. Lalu, ada gasifikasi batubara, gas rumah tangga, dan kompor listrik. Tidak fokus dan mudah sekali berubah. Padahal, ada subsidi negara dalam program-program tersebut,” ucap Faisal.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, ditetapkan bauran energi primer pada 2025 terdiri dari batubara 30 persen; energi baru dan terbarukan 23 persen; minyak bumi 25 persen; dan gas bumi 22 persen. Adapun target bauran pada 2050 adalah batubara turun menjadi 25 persen; energi baru dan terbarukan naik menjadi 31 persen; minyak bumi turun menjadi 20 persen; dan gas bumi naik menjadi 24 persen. Status sampai akhir 2020, bauran energi baru dan terbarukan sebesar 10,9 persen.
Di satu sisi, potensi dan sumber daya sumber energi terbarukan terbilang melimpah. Tenaga surya adalah potensi paling melimpah di Nusantara sebesar 207.800 megawatt (MW). Disusul kemudian potensi hidro 75.000 MW; bayu atau angin 60.600 MW; bioenergi 32.600 MW; panas bumi 23.900 MW; dan samudra (arus laut) 17.900 MW. Sayangnya, potensi sebesar itu baru termanfaatkan 10.400 MW atau sekitar 2,5 persen saja.