IMF Puji Keandalan Bauran Kebijakan RI dan Ingatkan Risiko Ekonomi
IMF menilai positif bauran kebijakan RI untuk memulihkan ekonomi. Meski demikian, risiko ketidakpastian masih berlanjut. Sementara ASEAN sepakat mempercepat lima program prioritas untuk menopang pemulihan ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS — Dana Moneter Internasional atau IMF menilai positif sinergi atau bauran kebijakan Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan imbasnya ke perekonomian nasional. IMF juga meminta Indonesia agar tetap mencermati sejumlah risiko ketidakpastian ekonomi mengingat pandemi bisa berlangsung lebih lama.
Sinergi kebijakan yang diambil Indonesia itu mencakup kebijakan pengendalian pandemi di sektor kesehatan, stimulus fiskal, kebijakan moneter akomodatif, pelonggaran kebijakan makro dan mikroprudensial, serta berbagi beban (burden sharing) antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah. IMF memandang bauran kebijakan ditempuh secara kuat dan cepat oleh Indonesia sehingga dapat menopang pemulihan ekonomi.
IMF menyebutkan juga ekonomi Indonesia akan berangsur-angsur pulih mulai tahun ini. IMF memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 4,8 persen pada 2021 dan 6 persen pada 2022. Selain itu, pada 2021, inflasi juga akan meningkat bertahap dan masih terjaga menjadi 3 persen pada 2021, sedangkan defisit transaksi berjalan akan melebar menjadi 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Asesmen IMF terhadap perekonomian Indonesia tersebut disampaikan dalam laporan Article IV Consultation tahun 2020 yang dirilis Rabu (3/3/2021).
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan, sejumlah kebijakan di bidang makroekonomi yang dinilai positif IMF adalah komitmen otoritas untuk mengembalikan batas atas defisit fiskal sebesar 3 persen pada 2023 secara gradual dari target defisit APBN 2020 yang sebesar 6,3 persen.
IMF juga melihat bank sentral telah menerapkan kebijakan moneter akomodatif dengan tetap memperhatikan tingkat inflasi melalui kebijakan suku bunga rendah dan pembelian surat berharga negara (SBN) dalam kondisi extraordinary saat ini.
”Indonesia juga dinilai memiliki komitmen kuat untuk melanjutkan reformasi struktural melalui Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan melanjutkan pembangunan infrastuktur,” ujar Erwin melalui siaran pers di Jakarta, Rabu.
Sinergi kebijakan yang diambil Indonesia itu mencakup kebijakan pengendalian pandemi di sektor kesehatan, stimulus fiskal, kebijakan moneter akomodatif, pelonggaran kebijakan makro dan mikroprudensial, serta berbagi beban antara BI dengan Pemerintah.
Menurut Erwin, ketahanan ekonomi Indonesia yang terjaga dinilai IMF sebagai cerminan kebijakan makroekonomi yang baik sejak sebelum pandemi. IMF memproyeksikan berlanjutnya perbaikan ekonomi Indonesia pada 2021, seiring dengan mulai bergulirnya vaksinasi Covid-19 dan berlanjutnya bauran kebijakan.
Meskipun demikian, IMF juga meminta agar Indonesia mencermati risiko atas ketidakpastian yang masih terjadi mengingat pandemi Covid-19 dapat berlangsung lebih lama. Misalnya, potensi kerentanan di sektor perbankan dan korporasi nonkeuangan terkait kualitas aset, serta pengetatan kondisi keuangan global.
”Selain itu, IMF melihat, perubahan iklim juga dapat mengganggu perekonomian dan menambah beban fiskal,” katanya.
Dalam laporannya, IMF juga menyebutkan, seiring dengan beban pembiayaan dalam program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), utang Pemerintah Indonesia pada 2021 diperkirakan melebar menjadi 40,1 persen dari PDB. Kendati begitu, dalam skenario terburuk, utang Pemerintah Indonesia akan stabil di kisaran 48,4 persen dari PDB pada 2025.
Baca juga: Serba Membengkak
Erwin menambahkan, BI, pemerintah, dan otoritas terkait akan terus memperkuat sinergi kebijakan dan mendukung berbagai kebijakan lanjutan guna memulihkan ekonomi nasional. Hal itu dilakukan melalui pembukaan sektor-sektor ekonomi produktif dan aman, akselerasi stimulus fiskal, penyaluran kredit perbankan, melanjutkan stimulus moneter dan makroprudensial, serta mengakselerasi digitalisasi ekonomi dan keuangan.
Terbaru, BI, pemerintah, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan stimulus bauran kebijakan di sektor otomotif dan properti. Pemerintah memberikan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan kategori sedan dan 4x2 berkapasitas silinder maksimal 1.500 cc dengan kandungan dalam negeri 70 persen ke atas pada 1 Maret-31 Desember 2021.
Pemerintah juga memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) properti selama enam bulan, 1 Maret-31 Agustus 2021. Pemerintah akan menanggung 100 persen PPN atas penyerahan rumah tapak atau rumah susun dengan harga jual paling tinggi Rp 2 miliar, dan 50 persen PPN atas penyerahan rumah tapak atau rumah susun seharga di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar.
Di sektor otomotif, BI menindaklanjutinya dengan kebijakan uang muka atau DP 0 persen untuk kredit kendaraan bermotor. OJK melengkapinya dengan menurunkan bobot risiko pembiayaan (ATMR) bagi perbankan dan perusahaan pembiayaan berdasarkan profil risikonya. Penurunan ATMR itu dari 100 persen menjadi 50 persen hingga 0 persen.
Di sektor properti, BI melonggarkan rasio kredit atau pembiayaan terhadap nilai (LTV/FTV) menjadi 100 persen dan menghapus ketentuan inden. Sementara OJK mengeluarkan pelonggaran ATMR bagi perbankan dan perusahaan pembiayaan agar dapat lebih leluasa menyalurkan kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah. Kebijakan BI dan OJK ini memungkinkan masyarakat membeli rumah dan perbankan atau perusahaan pembiayaan menyalurkan kredit bahkan dengan DP hingga 0 persen.
Baca juga: Dorong Konsumsi, Pemerintah Tanggung Pajak Rp 7,99 Triliun
Bahaya divergensi
Dalam rangkaian pertemuan negara-negara G-20 secara virtual pada 24 Februari 2021, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyampaikan pidatonya berjudul ”The Great Divergence: A Fork in the Road for the Global Economy”. Dia menyebutkan, tahun ini masih diselimuti ketidakpastian. Pemulihan memang akan terjadi secara bertahap, tetapi bisa menjadi pemulihan yang berbahaya di banyak negara.
Ada risiko besar dalam pemulihan itu karena negara-negara ekonomi maju dan beberapa pasar berkembang pulih lebih cepat. Di sisi lain, sebagian besar negara berkembang akan lambat pulih selama bertahun-tahun yang akan datang.
”Ini tidak hanya akan memperburuk tragedi kemanusiaan dari pandemi, tetapi juga penderitaan kelompok sosial-ekonomi yang paling rentan,” ujarnya.
Sebelum krisis, IMF memperkirakan, kesenjangan pendapatan antara negara maju dan 110 negara berkembang akan menyempit selama periode 2020-2022. Namun saat ini, IMF memperkirakan hanya 52 negara yang akan mampu mengejar pemulihan dalam periode tersebut, sementara 58 negara lainnya akan tertinggal. Hal ini terutama terjadi karena akses vaksin tidak merata dan keterbatasan ruang fiskal.
Oleh karena itu, Georgieva meminta agar negara-negara di dunia melakukan tiga langkah kunci. Pertama, meningkatkan upaya untuk mengakhiri krisis kesehatan. Kedua, memulihkan krisis ekonomi dengan sinergi kebijakan yang terukur. Dan ketiga, memberikan dukungan kepada negara-negara miskin untuk mereduksi ketimpangan di bidang kesehatan dan ekonomi.
”Sekali lagi, kita berdiri di persimpangan jalan. Jika kita ingin membalikkan perbedaan berbahaya antar dan di dalam negara, kita harus mengambil tindakan dan kebijakan yang kuat sekarang,” ujar Georgieva.
Sekali lagi, kita berdiri di persimpangan jalan. Jika kita ingin membalikkan perbedaan berbahaya antar dan di dalam negara, kita harus mengambil tindakan dan kebijakan yang kuat sekarang.
Baca juga: Dunia Menghadapi Divergensi Besar
Komitmen ASEAN
Sementara di kawasan Asia Tenggara, para menteri bidang ekonomi ASEAN terus mendorong pemulihan ekonomi setiap negara dan kawasan. Dalam Pertemuan Para Menteri Ekonomi ASEAN (AEM Retreat) ke-27 yang digelar secara virtual, para menteri berkomitmen mendorong upaya pemulihan termasuk melalui vaksinasi, kerja sama antarnegara anggota ASEAN, dan penguatan rantai nilai global.
Menteri Perdagangan RI Muhammad Lutfi mengatakan, dalam forum tersebut, Indonesia menyerukan perlunya kebijakan fasilitasi perdagangan, di antaranya memberikan perhatian pada isu-isu yang terkait dengan penerapan kebijakan nontarif (non-tariff measures), dan upaya-upaya lain untuk menjaga keterbukaan pasar, agar arus perdagangan, wisata, dan tenaga kerja perlahan kembali pulih pascapandemi Covid-19.
Dalam pertemuan ini, para Menteri Ekonomi ASEAN juga menyepakati akselerasi pengimplementasian 5 dari 13 prioritas ekonomi ASEAN 2021. Kelima prioritas itu adalah mengadopsi perangkat efektivitas biaya untuk pengukuran kebijakan nontarif, negosiasi Perjanjian Perdagangan Besar ASEAN-Kanada, Kerangka Kerja Fasilitasi Investasi ASEAN (AIFF), Rancangan Kerja Implementasi Kesepakatan Perdagangan secara Digital (E-Dagang) ASEAN 2021-2025, dan Kerangka Kerja Ekonomi Sirkular.
”Para menteri juga menekankan pentingnya penyusunan visi Masyarakat Ekomoni ASEAN (MEA) pasca-2025. Dalam rangka itu, Indonesia menekankan pentingnya sentralitas ASEAN membangun daya tahan ekonomi regional dari kemungkinan krisis global di masa depan, di antaranya melalui pemanfaatan teknologi digital,” kata Lutfi.
Baca juga: Tantangan Nyata ASEAN di Tengah Pandemi
Baca juga: RCEP dan INA Turut Topang Kelanjutan Proyek Strategis Nasional