Percepatan divergensi dalam sebuah negara juga terindikasi dari semakin banyaknya warga yang kehilangan pekerjaan. IMF memproyeksikan, total kehilangan pekerjaan di negara-negara G-20 mencapai 25 juta orang pada 2021.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Sekali lagi, kita berdiri di persimpangan jalan. Jika kita ingin membalikkan perbedaan berbahaya antar dan di dalam negara, kita harus mengambil tindakan dan kebijakan yang kuat sekarang. (Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva)
Krisis akibat pandemi Covid-19 membuat dunia tengah berada di persimpangan jalan menuju divergensi atau perbedaan besar. Hampir semua sektor kehidupan terkontraksi sejak penyakit yang disebabkan virus korona baru ”mengekspansi” banyak negara.
Proses pemulihan memang tengah terjadi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Vaksinasi Covid-19 menjadi salah satu penentunya atau game changer. Namun, akses terhadap vaksin, perbedaan kemampuan pendanaan setiap negara, dan semakin tergerusnya pasar tenaga kerja yang menambah kemiskinan, tengah memunculkan divergensi antar dan di dalam negara.
Fase pemulihan kesehatan dan ekonomi antar-negara akan beragam. Begitu juga fase pemulihan setiap sektor penopang ekonomi dalam sebuah negara, akan berbeda-beda dan parsial. Mau tidak mau, hal ini akan terjadi dan tidak bisa dihindari. Namun, agar tidak terjadi jurang divergensi yang besar, langkah-langkah yang tepat perlu digulirkan.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, dalam pertemuan negara-negara G-20 secara virtual pada 24 Februari 2021, menyampaikan pidatonya berjudul ”The Great Divergence: A Fork in the Road for the Global Economy”. Dia menyebutkan, tahun ini masih diselimuti ketidakpastian. Pemulihan memang akan terjadi secara bertahap, tetapi bisa menjadi pemulihan yang berbahaya di banyak negara.
Ada risiko besar dalam pemulihan itu karena negara-negara ekonomi maju dan beberapa pasar berkembang pulih lebih cepat. Di sisi lain, sebagian besar negara berkembang akan lambat pulih selama bertahun-tahun yang akan datang. Ini tidak hanya akan memperburuk tragedi kemanusiaan dari pandemi, tetapi juga penderitaan kelompok sosial-ekonomi yang paling rentan.
Akses terhadap vaksin, perbedaan kemampuan pendanaan setiap negara, dan semakin tergerusnya pasar tenaga kerja yang menambah kemiskinan, tengah memunculkan divergensi antar dan di dalam negara.
Sebelum krisis, IMF memperkirakan, kesenjangan pendapatan antara negara maju dan 110 negara berkembang akan menyempit selama periode 2020-2022. Namun saat ini, IMF memperkirakan hanya 52 negara yang akan mampu mengejar pemulihan dalam periode tersebut, sementara 58 negara lainnya akan tertinggal. Hal ini terutama terjadi karena akses vaksin tidak merata dan keterbatasan ruang fiskal.
Percepatan divergensi di dalam sebuah negara juga terindikasi dari semakin banyaknya warga yang kehilangan pekerjaan. Untuk negara-negara G-20 saja (tidak termasuk India dan Arab Saudi), IMF memproyeksikan total kehilangan pekerjaan mencapai 25 juta orang pada 2021 dan mendekati 20 juta orang pada 2022. Hal ini juga akan menjadi beban pemulihan setiap negara.
IMF memproyeksikan total kehilangan pekerjaan di negara-negara G-20 (belum termasuk India dan Arab Saudi) mencapai 25 juta orang pada 2021 dan mendekati 20 juta orang pada 2022.
Di Indonesia, hal tersebut sudah terjadi dan menambah jumlah penduduk miskin. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2020 sebesar 10,19 persen. Indonesia kembali ke tingkat kemiskinan dua angka yang ditinggalkan pada Maret 2018.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia 27,55 juta orang. Jumlah ini naik 1,13 juta orang dari Maret 2020 atau naik 2,76 juta orang dari September 2019. Kemiskinan bertambah, antara lain, akibat 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi, termasuk 2,56 juta orang menjadi penganggur. Akibatnya, per Agustus 2020, ada 9,77 juta penganggur di Indonesia.
Rasio gini yang menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk menjadi 0,385 per September 2020. Ketimpangan lebih buruk dari September 2019 yang rasio gininya 0,380 dan Maret 0,381. Rasio gini dalam rentang 0-1 dengan ketimpangan yang semakin lebar mendekati 1.
Aneka program jaring pengaman sosial jangka pendek telah, sedang, dan akan digelontorkan pemerintah. Hal itu mulai dari bantuan pangan pokok, bantuan sosial langsung tunai, Kartu Prakerja, hingga program padat karya. Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi penopang serapan tenaga kerja terbesar juga dilindungi dan difasilitasi. Mereka-mereka yang ingin merintis usaha baru juga dipermudah perizinannya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta 51 regulasi turunannya.
Kehadiran usaha-usaha dan aneka investasi baru diharapkan bisa memulihkan pasar tenaga kerja dan mengatasi angka kemiskinan di Indonesia yang tengah melonjak.
UU yang menuai pro-kontra sejak dalam pembahasannya itu bertujuan mempermudah usaha dan mendulang investasi guna mencipta lapangan kerja. UU ini diharapkan menjadi salah satu vaksin ”pemulih” ekonomi nasional, baik di era pandemi Covid-19 maupun saat penyakit akibat virus korona baru itu benar-benar terkendali.
Kehadiran usaha-usaha dan aneka investasi baru diharapkan bisa memulihkan pasar tenaga kerja dan mengatasi angka kemiskinan di Indonesia yang tengah melonjak. Dengan begitu, diharapkan divergensi bahkan kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia tidak semakin lebar dan dalam.