Selain menekan emisi, transisi dari energi berbasis fosil ke sumber lain yang lebih ramah lingkungan dapat meningkatkan efisiensi produksi. Komitmen pembuat dan pelaksana kebijakan dibutuhkan guna mendorong transisi itu.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
DIDIE SW
Ekonomi Energi Terbarukan, Transisi Kesadaran.
JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi dari sumber berbasis fosil ke sumber lain yang lebih ramah lingkungan dapat meningkatkan efisiensi produksi energi. Transisi dibutuhkan untuk mengendalikan dampak perubahan iklim. Butuh komitmen banyak pihak untuk mempercepat proses tersebut.
Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasojo mengatakan, sejumlah transisi dilakukan perseroan. Salah satunya penggunaan teknologi lebih mutakhir untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Dengan teknologi lama, efisiensinya paling tinggi 34 persen. ”Sekarang 43 persen,” ujarnya dalam webinar ”Renewable Energy: Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil” yang digelar Harian Kompas bersama Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (2/3/2021).
Hadir pula Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Ketua Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan Tri Mumpuni, serta Direktur Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Coca-cola Amatil Indonesia (CCAI) Lucia Karina sebagai pembicara.
Emisi karbon yang dihasilkan PLTU batubara dengan teknologi terbaru juga lebih rendah. Dengan teknologi lama, PLTU menghasilkan emisi 1,3 kilogram per kilowatt jam (KwH). Teknologi baru menekan emisi menjadi 950 gram per KwH.
Kompas
Sejumlah pembicara yang hadir dalam webinar ”Renewable Energy: Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil” yang digelar Harian Kompas bersama Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (2/3/2021).
Selain teknologi baru di PLTU batubara, proses transisi di PLN juga terkait pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). PLN tengah mengupayakan pergantian 5.200 PLTD di 2.130 daerah dengan total daya mencapai 2 gigawatt. PLN menghabiskan Rp 13 triliun pada 2019 untuk membeli solar bagi seluruh PLTD tersebut.
Menurut Ganjar, ada tantangan di pembuat dan pelaksana kebijakan untuk mendorong transisi energi agar penggunaan energi baru terbarukan (EBT) meningkat. Kala berkomunikasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral soal EBT, kata Ganjar, salah satu pejabat di kementerian itu berseloroh bahwa yang terus terbarukan baru pejabatnya. Sebab, pejabat terus berganti, sementara kebijakannya belum jalan.
Sementara di Jawa Tengah, petugas di kantor Samsat Jawa Tengah kebingungan kala Ganjar akan mendaftarkan sepeda motor listrik. Sebab, kala itu belum ada aturan untuk pendaftaran kendaraan listrik. Memang, belakangan, kendaraan itu bisa terdaftar di samsat.
Tantangan lain dari penggunaan EBT adalah sebagian pihak belum mendukung penggunaannya. Ganjar mencontohkan Jawa Tengah yang mempunyai beberapa sumber panas bumi. Sayangnya, upaya pemanfaatannya masih dipandang sebagai perusakan lingkungan.
Di seluruh Jawa Tengah ditaksir ada sumber energi panas bumi dengan daya total 1,3 GW dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 386 megawatt. Dengan lebih dari 300.000 ekor hewan ternak, Jawa Tengah juga bisa mengembangkan listrik dari biogas. Selain itu, ada pula potensi dari surya (PLTS) dan angin/bayu (PLTB). Ada rencana pembangunan PLTB berdaya total 120 MW di Tegal dan PLTS terapung pada sejumlah waduk di Jawa Tengah.
Pemberdayaan
Lucia menambahkan, perusahaannya telah menggunakan PLTS untuk pabrik di Cikarang. Dalam dua tahun mendatang, PLTS akan dibangun di pabrik unit Pasuruan, Jawa Timur, dan Bawen, Jawa Tengah. Penggunaan PLTS memang membutuhkan investasi besar. Walakin, manajemen berkomitmen memperluas penggunaan EBT dalam operasional perusahaan. CCAI juga berkomunikasi dengan PLN agar bisa mendapatkan listrik dari sumber-sumber yang bersih seperti PLTA.
Menurut Tri, penggunaan EBT merupakan bentuk demokratisasi energi. Sebab, pembangkit listrik EBT kerap berskala kecil dan dikelola oleh masyarakat. Pembangkit-pembangkit berdaya di bawah 1,5 megawatt memang kerap kurang dilirik perusahaan besar.
KOMPAS/EDDY HASBY
Pengisisan baterai Hyundai Kona Electric di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Kantor PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Semarang, Kamis (12/11/20).
Penggunaan pembangkit EBT juga bentuk pemberdayaan sumber lokal. Sebab, pembangkit EBT menggunakan sumber energi yang tersedia di lokasi pembangkit. Sementara PLTU atau PLTD kerap menggunakan bahan bakar yang harus diimpor dari luar negeri atau setidaknya dikirim dari wilayah di luar lokasi pembangkit.
Hal itu menjadi salah satu penyebab sejumlah daerah belum bisa menikmati listrik sehari penuh. Tri tidak menampik, sejumlah komponen pembangkit EBT masih harus didatangkan dari luar daerah. Hal itu, antara lain, untuk PLTS atau baling-baling PLTB. Meski demikian, biaya produksi listrik EBT terus menurun, sementara listrik dari energi fosil terus meningkat.