Produksi Berpotensi Naik, Antisipasi Anjloknya Harga di Tingkat Petani
Produksi padi pada Januari-April 2021 berpotensi lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Kenaikan itu berimbas pada merosotnya harga gabah di tingkat petani sehingga pemerintah perlu mengantisipasinya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Produksi padi pada Januari-April 2021 berpotensi lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Namun, kenaikan tersebut berimbas pada merosotnya harga gabah di tingkat petani sehingga pemerintah perlu mengantisipasinya.
Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, luas panen padi pada Januari-April 2021 sebesar 4,86 juta hektar. Luasan tersebut lebih besar dibandingkan dengan luas panen pada Januari-April 2019 dan Januari-April 2020 yang masing-masing 4,55 juta hektar dan 3,84 juta hektar. Luas panen itu dihitung berdasarkan lahan baku sawah yang ditetapkan pada 2019 yang seluas 7,46 juta hektar.
Dari perkiraan luas panen itu, potensi produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari-April 2021 diperkirakan 25,37 juta ton atau setara 14,54 juta ton beras. Potensi produksi GKG itu lebih rendah dari produksi GKG pada Januari-April 2019 yang sebanyak 23,78 juta ton (13,63 juta ton beras) dan Januari-April 2020 yang sebanyak 19,99 juta ton (11,46 juta ton beras).
Kepala BPS Suhariyanto, Senin (3/1/2021), mengatakan, potensi kenaikan gabah dan beras sepanjang Januari-April 2021 mengacu pada produktivitas periode sama tahun sebelumnya. Sepanjang 2020, sejumlah sentra produksi menunjukkan kenaikan produktivitas, seperti di Jawa Timur, Lampung, dan Aceh.
”Meski begitu, curah hujan yang tinggi perlu dicermati agar tidak menyebabkan gagal panen. Curah hujan yang tinggi ini telah menyebabkan sejumlah daerah sentra beras kebanjiran, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Curah hujan yang tinggi telah menyebabkan sejumlah daerah sentra beras kebanjiran, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan.
Selain itu, Suhariyanto menuturkan, pemerintah perlu mengantisipasi penurunan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Penurunan harga GKP ini terjadi karena ada panen raya pada Maret-April dan imbas banjir di sejumlah daerah produsen beras.
”Ke depan, seiring dengan kenaikan produksi pada panen raya Maret-April 2021, harga GKP akan menurun,” ujarnya.
BPS mencatat, pada Februari 2021, harga GKP di tingkat petani Rp 4.758 per kilogram (kg). Harga ini lebih rendah 3,31 persen dibandingkan dengam Januari 2021 yang seharga Rp 4.921 per kg dan turun 8,08 persen dibandingkan dengan Februari 2020 yang seharga Rp 5.176 per kg.
Sejalan dengan penurunan harga GKP tersebut, nilai tukar petani tanaman pangan (NTPP) turun ke bawah titik impas yang sebesar 100. Pada Februari 2021, NTPP berada di posisi 99,21, sedangkan pada Januari 2021 di level 100,06.
Melihat kecenderungan anjloknya harga gabah di tingkat petani, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa menekankan krusialnya menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP).
Dia menilai, tren penurunan harga gabah disebabkan masih berlimpahnya stok beras di masyarakat, pengepul, dan pedagang yang menunda pembelian lantaran menunggu panen raya tahun ini.
HPP gabah dan beras saat ini tertera dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras. Aturan itu menyebutkan, HPP untuk GKP di tingkat petani senilai Rp 4.200 per kg.
Tren penurunan harga gabah disebabkan masih berlimpahnya stok beras di masyarakat, pengepul, dan pedagang yang menunda pembelian lantaran menunggu panen raya tahun ini.
Selain itu, Dwi menilai, target serapan untuk pengadaan beras dalam negeri yang dikelola Perum Bulog pada 2021 naik menjadi 2,5 juta ton. Dia juga menyatakan, tidak boleh ada wacana impor beras karena dapat memengaruhi pergerakan harga di tingkat petani.
Langkah-langkah itu bertujuan melindungi harga di tingkat petani. ”Pendapatan petani mesti dijaga. Jika harga di tingkat petani anjlok, petani akan mengalihkan lahannya untuk menanam yang lain. Dampaknya, luas tanam padi pada periode berikutnya menurun,” tuturnya saat dihubungi, Senin.
Pendapatan petani mesti dijaga. Kalau harga di tingkat petani anjlok, petani akan mengalihkan lahannya untuk menanam yang lain.
Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja berharap, pemerintah daerah dapat turun tangan menjamin serapan di tingkat petani. Badan usaha milik daerah dan mitra offtaker lainnya juga perlu dikerahkan.
Dia juga telah mengimbau para petani untuk menyimpan sebagian hasil panen di lumbung desa. ”Langkah ini dapat menjaga harga di tingkat petani sekaligus membuat keluarga tani memiliki cadangan beras untuk dikonsumsi,” katanya.
Di sisi lain, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri menyatakan, pemerintah tengah berupaya memitigasi dan mencegah gagal panen akibat cuaca ekstrem serta serangan organisme pengganggu tanaman yang berpotensi pada tahun ini. Dari sisi ekstensifikasi, pemerintah mendorong area pertanaman baru.
BPS juga memublikasikan, luas panen sepanjang 2020 sebesar 10,66 juta hektar atau lebih rendah 0,19 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski begitu, produksi GKG meningkat 0,08 persen dari 54,6 juta ton pada 2019 menjadi 54,65 juta ton pada 2020. Begitu juga produksi beras juga naik 0,07 persen dari 31,31 juta ton pada 2019 menjadi 31,33 juta ton pada 2020.