Adaptasi Bisnis Daring Tidak Terelakkan Selama Pandemi
Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat pelaku usaha beradaptasi dengan kanal daring. Hal ini tidak terelakkan seiring dengan perilaku konsumen yang kian bergantung pada gawai dan teknologi digital.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Model bisnis serba daring menjadi hal yang tidak terelakkan bagi para pengusaha di tengah pandemi Covid-19. Tuntutan adaptasi dengan model itu semakin besar seiring dengan perubahan perilaku konsumen setahun terakhir selama pandemi ini.
Topik tersebut mengemuka dalam diskusi ”Problematika Bisnis Digital di Masa Pandemi” yang disiarkan secara daring lewat kanal Youtube resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Selasa (2/3/2021). Pelaku usaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) membagi pengalaman mereka dalam kesempatan itu.
Anggota Bidang 9 Badan Pengurus Pusat Hipmi, Andrew Bethlen, salah satu panelis dalam diskusi itu, mengatakan, pandemi setahun terakhir berdampak besar pada perubahan perilaku konsumen. Platform e-dagang dan pembayaran digital semakin banyak digunakan. Mau tidak mau, para pengusaha juga ikut beradaptasi demi menggaet konsumen di kanal digital.
”Dampak model bisnis digital ini beragam. Pengusaha makanan dan minuman beradaptasi dengan fitur pesan antar. Sementara, saya yang bergerak di bidang pendidikan juga sempat sepi karena tidak ada belajar tatap muka. Semuanya serba digital dan daring,” ujar Andrew, Selasa siang.
Yossa Setiadi, anggota Hipmi sekaligus pengusaha produk bawang goreng, bersusah payah beradaptasi dengan strategi pemasaran di media sosial dan platform e-dagang. Setelah beberapa bulan pandemi di Indonesia pada 2020, dia baru menemukan pola promosi yang tepat. Meski tidak merinci angka penjualan harian, dia mengklaim bisnisnya berjalan stabil dan beroperasi daring sepenuhnya.
Dampak model bisnis digital ini beragam. Pengusaha makanan dan minuman beradaptasi dengan fitur pesan antar.
Menurut Yossa, pengusaha harus benar-benar ambil kesempatan di kanal digital untuk merebut atensi konsumen. Medsos dan platform e-dagang, keduanya sama-sama penting.
”Harus ambil kesempatan di platform e-commerce (e-dagang) karena mereka turut beriklan gila-gilaan. Otomatis kita yang ada di dalam ekosistem swalayan mereka juga ikut terdongkrak secara penjualan,” jelasnya.
Yossa juga beriklan di medsos Instagram untuk menjangkau kalangan konsumen yang berbeda. Dia paham betul bahwa promosi di sejumlah medsos, seperti Instagram dan Tiktok, turut menarik calon konsumen bagi produknya.
Kecenderungan digital tampak seiring dengan survei angka pengguna internet menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Setidaknya hingga triwulan II tahun 2020, APJII mencatat 25,5 juta pengguna internet baru. Angka tersebut menambah total pengguna internet nasional menjadi 196,7 juta pengguna.
Dari jumlah total, 95,4 persen pengguna mengakses internet lewat ponsel. Mayoritas pengguna juga mengakses internet selama lebih dari delapan jam sehari dengan akses paling sering ke media sosial, keperluan edukasi, dan belanja daring.
Menurut catatan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM), ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan mencapai 130 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.929,34 triliun pada 2025. Pada 2019, angkanya sudah 40 miliar dollar AS dengan rata-rata proyeksi pertumbuhan 49 persen per tahun.
Terlebih selama pandemi Covid-19, penjualan lewat kanal e-dagang meningkat hingga 26 persen dengan volume transaksi harian 3,1 juta transaksi. Selama periode 14 Mei-15 Juli 2020, jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang masuk platform digital 1,07 juta unit usaha.
Seiring dengan berbagai tren itu, Andrew juga melihat aduan konsumen terhadap kanal penjualan digital semakin sering. Hal ini, menurut dia, adalah dampak dari kurangnya literasi digital pengguna saat menelusuri sejumlah layanan digital. Sebagian konsumen belum bisa membedakan kanal resmi atau bukan yang rentan menyebabkan penipuan.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menerima 1.276 aduan konsumen sepanjang 2020. Aduan perihal e-dagang melonjak dari 32 aduan pada 2017-2019 menjadi 282 aduan pada 2020. Porsi aduan mengenai e-dagang, yang semula 1,35 persen terhadap total aduan, meningkat menjadi 23,11 persen.
Ketua Komisi Advokasi BPKN Rolas B Sitinjak mengatakan, masyarakat paling sering mengadukan perihal uang dari pengembalian tiket, kata kunci sekali pakai, dan pengelabuan pada platform digital. Namun, sebagian besar hal yang diadukan itu disebabkan ketidaktelitian konsumen (Kompas, 15/12/2020).
Terkait itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menekankan, pertumbuhan digital mesti diiringi perkembangan regulasi yang melindungi konsumen. Jangan sampai platform digital yang memudahkan justru berkesan tidak aman untuk bidang usaha dan bisnis.