Anjloknya harga gabah hingga di bawah ongkos produksi menjelang panen raya pertama tahun ini membuat petani rugi. Mereka berharap pemerintah menjaga agar harga gabah di tingkat petani tidak semakin ambyar.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga gabah di sejumlah sentra padi di Indonesia terus turun hingga di bawah ongkos produksi menjelang panen raya musim tanam pertama 2020/2021. Para petani berharap pemerintah melalui Perum Bulog mengoptimalkan penyerapan untuk meredam penurunan harga.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Hery Sugiartono, saat dihubungi, Jumat (26/2/2021), menyebutkan, harga jual gabah di tingkat petani semestinya Rp 4.500 per kilogram (kg) kering panen (GKP) agar ongkos produksi tertutupi dan petani mendapatkan margin. ”Saat ini harga gabah malah anjlok ke Rp 3.800-Rp 3.900 per kg. Petani tengah merugi,” katanya.
Menurut Hery, panen serentak membuat harga semakin tertekan. Di tengah situasi itu, petani berharap Bulog mengoptimalkan penyerapan serta mesin-mesin pengering yang dimiliki untuk menjaga harga tidak semakin anjlok.
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja menyebutkan, harga gabah kering panen di tingkat petani turun sekitar Rp 300 per kg dari posisi akhir 2020. Harga berpotensi bergerak ke bawah Rp 4.000 per kg GKP karena petani tidak memiliki kesempatan menjemur di tengah cuaca saat ini. Mereka terpaksa melepaskan gabah hasil panennya.
Di sisi lain, ongkos produksi dan kebutuhan petani cenderung meningkat setahun terakhir. Hal ini tampak dari indeks harga yang dibayarkan dalam komponen nilai tukar petani. Oleh karena itu, dia berharap harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras dinaikkan setidaknya 10-15 persen dari posisi saat ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, indeks harga yang dibayarkan oleh petani pada Januari 2021 mencapai 107,16. Indeks ini lebih tinggi dibandingkan posisi Desember 2020 yang mencapai 106,69 dan Januari 2020 yang mencapai 105.
Sementara itu, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras, harga GKP di tingkat petani ditetapkan Rp 4.200 per kg. Artinya, sebagian petani kini terpaksa menjual rugi hasil jerih payahnya.
Menurut Guntur, jaminan penyerapan dengan harga di atas ongkos produksi jadi insentif terbaik bagi petani. ”Kami berharap Bulog, badan usaha milik daerah, pemerintah daerah dan pusat, serta offtaker lain menyerap gabah petani,” ujarnya.
Naikkan HPP
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa berpendapat, anjloknya harga turut disebabkan kandungan air yang lebih banyak akibat curah hujan tinggi. Akibatnya, kualitas gabah menurun. Selain itu, posisi sisa stok beras pada akhir tahun 2020 lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya sehingga memengaruhi neraca beras nasional.
Guna melindungi harga di tingkat petani, dia menggarisbawahi pentingnya kemauan pemerintah menaikkan HPP, setidaknya ke Rp 4.500 per kg GKP. ”Kalau masih menggunakan HPP saat ini, tengkulak dapat memasang harga lebih rendah ke petani. Padahal, HPP penting untuk menjaga daya beli petani dan memiliki dampak ganda pada pengentasan rakyat dari kemiskinan di perdesaan,” katanya.
Sementara itu, Wakil Direktur Utama Perum Bulog Gatot Trihargo menyatakan, perusahaan lebih banyak menyerap gabah kering giling sepanjang tahun lalu. Oleh karena curah hujan lebih tinggi tahun ini, Bulog berencana menyerap produksi dalam negeri lebih banyak dalam bentuk beras.
Selain itu, Bulog membuat skenario alternatif untuk mengimpor beras sebanyak 1 juta ton. ”Ini masih asumsi karena pentingnya menjaga stok nasional. Namun, kami prioritaskan penyerapan di dalam negeri sambil melihat dinamika kebutuhan,” katanya saat seminar daring berjudul ”Meninjau Rantai Pasok Beras di Indonesia dan Peran Bulog” yang digelar Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Kamis.
Dalam tabel skenario yang dipaparkan Gatot, realisasi impor beras diperkirakan terjadi pada kurun Agustus-November 2021 dengan volume 250.000 ton per bulan. Sebanyak 500.000 ton dari beras tersebut akan dialokasikan untuk bantuan sosial penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), komersial 400.000 ton, dan stok 100.000 ton.
Per 25 Februari 2021, jumlah stok beras yang dikelola Bulog mencapai 881.415 ton. Sebanyak 854.558 ton dialokasikan untuk kewajiban pelayanan publik dan sisanya komersial. Hingga saat ini, kata Gatot, ada sekitar 381.000 ton beras sisa impor pada 2018. ”Beras ini berasal dari Vietnam dan Thailand sehingga sifatnya lebih pera. Agar pulen, kami campurkan dengan beras baru hasil panen dalam negeri,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyebutkan, pengadaan beras dari produksi dalam negeri ditargetkan 1,45 juta ton sepanjang tahun 2021. ”Kami memprioritaskan penyerapan dari dalam negeri untuk mendukung petani,” ujarnya.