Dengan kemajuan teknologi, penurunan emisi secara optimal pada PLTU bisa dilakukan. Namun, ada konsekuensi yang harus ditanggung, yaitu naiknya biaya produksi listrik. Insentif menjadi penting.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) siap menguji coba penggunaan teknologi penurun emisi pada dua pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU, yakni di Banten dan di Sumatera Selatan. Teknologi yang disebut sebagai carbon capture storage atau CCS itu bisa menurunkan emisi hingga sebesar 90 persen. Namun, ada dampak lain dari penggunaan teknologi ini, yaitu naiknya biaya pokok penyediaan listrik.
Dua PLTU yang akan diterapkan teknologi CCS tersebut adalah PLTU Jawa 7 dengan kapasitas 2 x 1.000 megawatt (MW) di Serang, Banten. PLTU lainnya adalah PLTU Sumatera Selatan 6 dengan kapasitas 600 MW. PLTU Jawa 7 sudah beroperasi pada 2020, sedangkan PLTU Sumatera Selatan 6 dijadwalkan beroperasi pada 2022. Penerapan teknologi CCS di PLTU Jawa 7 dijadwalkan pada 2025 dan di PLTU Sumatera Selatan 6 pada 2027.
Menurut Executive Vice President Eelctricity System Planning PLN Edwin Nugraha Putra, ada tiga skenario penurunan emisi yang bakal diterapkan di dua PLTU tersebut. Ketiga skenario itu dilakukan dengan menurunkan tingkat emisi masing-masing sebesar 90 persen, 45 persen, dan 22,5 persen. Setiap skenario memiliki konsekuensi tersendiri.
”Setiap skenario penurunan emisi karbon berdampak pada turunnya daya listrik yang dihasilkan pada PLTU tersebut. Sebagai contoh, apabila diterapkan skenario 90 persen pada PLTU Jawa 7 dengan kapasitas maksimum 2.000 MW, maka daya yang dikeluarkan turun menjadi 1.449 MW,” kata Edwin dalam webinar ”Application of CCUS Technology Indonesia’s Electricity Industry” yang diselenggarakan Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), Kamis (25/2/2021).
Setiap skenario penurunan emisi karbon berdampak pada turunnya daya listrik yang dihasilkan pada PLTU tersebut.
Selain berdampak terhadap turunnya daya mampu pembangkit, lanjut Edwin, penerapan teknologi CCS bisa menaikkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Sebagai contoh pada PLTU Jawa 7, BPP listriknya akan membengkak menjadi 15 sen dollar AS per kilowatt jam (kWH) dari semula yang sebesar 7,9 sen dollar AS per kWH. Hal itu disebabkan biaya investasi teknologi CCS terbilang mahal.
”Untuk skenario 45 persen saja, biaya teknologi CCS di PLTU Jawa 7 lebih dari 1 miliar dollar AS, sedangkan investasi pembangunan pembangkitnya 3,76 miliar dollar AS. Biaya investasi CCS tersebut belum termasuk biaya penyimpanan dan pengangkutan karbon,” ujar Edwin.
Koordinator Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan (KP3) Teknologi Eksploitasi pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Usman Pasarai menambahkan, kendati teknologi CCS dikenal sebagai solusi penurunan emisi, pemanfaatannya belum seperti yang diharapkan. Di seluruh dunia, hingga 2020, baru ada 21 proyek yang memanfaatkan teknologi tersebut. Sebagian besar adalah proyek hulu minyak dan gas bumi.
”Proyek yang sudah menerapkan teknologi CCS untuk pembangkit listrik baru ada dua di dunia, yaitu proyek Petra Nova di Texas, AS, dan Boundary Dam di Kanada. Keduanya bisa berjalan dengan mendapat dukungan insentif dari pemerintah setempat,” kata Usman.
Di seluruh dunia, hingga 2020, baru ada 21 proyek yang memanfaatkan teknologi tersebut. Sebagian besar adalah proyek hulu minyak dan gas bumi.
Usman membenarkan bahwa berdasar kajian Lemigas dan Bank Dunia terhadap penerapan teknologi CCS menyebabkan naiknya biaya produksi listrik. Oleh karena itu, dukungan insentif dari pemerintah dalam penerapan teknologi ini sangat diperlukan. Di sisi lain, karbon yang berhasil disimpan dengan teknologi CCS bisa diperjualbelikan.
Dalam sambutannya, Ketua MKI Wiluyo Kusdwiharto menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen dalam Perjanjian Paris 2015 untuk berpartisipasi menurunkan emisi karbon. Pengendalian emisi yang dihasilkan di proyek energi membutuhkan penerapan teknologi canggih. Komitmen terhadap Perjanjian Paris 2015 tersebut diharapkan dibarengi dengan pemanfaatan teknologi yang bersih dan ramah lingkungan.
”Sebagai bentuk dukungan penurunan emisi di Indonesia, MKI akan terus mengedukasi dan menyosialisasikan bersama seluruh pemangku. Perlu dikenalkan teknologi rendah karbon pada pembangkit listrik di Indonesia,” kata Wiluyo.
Ketentuan penurunan emisi pada pembangkit listrik di Indonesia diatur lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal. Parameter yang digunakan, antara lain kadar maksimum kandungan sulfur dioksida, nitrogen oksida, partikulat, dan kandungan merkuri.
Kebijakan ini berlaku untuk sejumlah jenis pembangkit, seperti PLTU, pembangkit listrik tenaga mesin gas, pembangkit listrik tenaga gas dan uap, pembangkit listrik tenaga panas bumi, maupun pembangkit listrik tenaga biomassa.