Daya Beli dan Keyakinan Masyarakat Pengaruhi Belanja
Relaksasi fiskal dan moneter di sektor otomotif dan properti diharapkan meningkatkan permintaan. Namun tingkat konsumsi dipengaruhi daya beli dan ekspektasi masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Daya beli dan ekspektasi atas penanganan pandemi Covid-19 memengaruhi konsumsi masyarakat. Jika penanganan pandemi membaik, konsumsi warga bakal terdongkrak, di antaranya pada sektor otomotif dan properti.
Sejauh ini, tertahannya konsumsi di beberapa sektor terjadi karena masyarakat masih cenderung mengutamakan kebutuhan primer, dan berjaga-jaga menghadapi kondisi yang masih serba tak pasti.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama mengatakan, penjualan kendaraan bermotor sebenarnya sudah beranjak pulih walaupun masih lambat.
”Meskipun dapat mendorong industri otomotif, penurunan PPnBM penuh risiko dan kurang efektif,” kata Riza dalam Diskusi Online Indef ”DP 0% KPR dan Kendaraan Bermotor, Efektifkah?”, Selasa (23/2/2021).
Riza mengatakan, kemampuan belanja atau daya beli masyarakat belum pulih. Selain itu, menghadapi ketidakpastian di masa pandemi, masyarakat memilih berinvestasi atau menabung daripada membelanjakan uang mereka.
Adapun pemerintah menghadapi risiko pendapatan pajak merosot karena penerimaan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) berkurang.
Pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan PPnBM untuk pembelian mobil berkapasitas mesin kurang dari 1.500 cc, memiliki penggerak roda 4x2, dan memiliki tingkat kandungan dalam negeri setidaknya 70 persen.
Keringanan PPnBM diberikan 9 bulan secara bertahap per 3 bulan, mulai 1 Maret 2021. Pada Maret-Mei, keringanan PPnBM sebesar 100 persen. Adapun keringanan PPnBM pada Juni-Agustus sebesar 50 persen dan September-November sebesar 25 persen.
Bank Indonesia juga merelaksasi rasio pinjaman terhadap aset (loan to value/LTV) untuk kredit kendaraan bermotor (KKB) dan kredit pemilikan rumah (KPR). Pelonggaran ini berlaku pada Maret-Desember 2021.
Uang muka KKB dilonggarkan menjadi paling sedikit 0 persen, atau LTV bisa 100 persen. Sementara, LTV KPR paling besar 100 persen untuk semua jenis properti. Ketentuan berlaku bagi bank yang memenuhi kriteria tertentu.
Riza menambahkan, uang muka nol persen untuk KPR dapat mendorong penjualan rumah. Hal ini berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) bagi pemerintah daerah.
Akan tetapi, tetap ada risiko yang mesti dihadapi. Sebab, bank akan lebih selektif memberikan pinjaman berkaitan dengan kemampuan nasabah mencicil pinjaman. Riza menyebutkan, persepsi masyarakat perihal kondisi di masa mendatang sangat tergantung pada penanganan pandemi lebih baik.
Baca juga : Insentif Pajak Turunkan Harga Mobil dan Dorong Industri Otomotif
Survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan, keyakinan konsumen tertahan pada Januari 2021. Indeks yang pada Desember 2020 sebesar 96,5 turun menjadi 84,9 pada Januari 2021. Sejak April 2020, IKK meninggalkan zona optimistis, yakni nilai indeks di atas 100, menuju zona pesimistis.
Survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan, keyakinan konsumen tertahan pada Januari 2021
Adapun kekhawatiran masyarakat perihal ketidakpastian kondisi perekonomian tercermin dari simpanan masyarakat atau dana pihak ketiga yang terus bertambah. Per akhir 2020, dana pihak ketiga masyatakat di bank tumbuh 11,11 persen secara tahunan. Sebaliknya, kredit perbankan yang disalurkan ke masyarakat tumbuh minus 2,41 persen secara tahunan.
Tidak signifikan
Direktur Program Indef Esther Sri Astuti mengatakan, kebijakan insentif pajak dan uang muka nol persen tidak akan meningkatkan penjualan secara signifikan. ”Pada kondisi uang susah di tengah pandemi, tanpa ada insentif pajak pun penjualan kendaraan bermotor relatif tinggi, sekitar 5 persen. Kalau diberikan insentif, kan, sia-sia,” kata Esther.
Obral insentif pajak menimbulkan pertanyaan karena rasio pajak Indonesia hanya sekitar 9-10 persen. Rasio ini lebih rendah ketimbang negara-negara ASEAN lain, di antaranya Malaysia dan Singapura yang berkisar 15-20 persen
Esther menuturkan, kebijakan insentif pajak dan uang muka nol persen akan mengurangi penerimaan pajak PPnBM sekitar Rp 2,8 triliun. Pajak daerah juga akan berkurang.
Obral insentif pajak menimbulkan pertanyaan karena rasio pajak Indonesia hanya berkisar 9-10 persen.
Ia menyebutkan, kebijakan tersebut dapat berdampak pada peningkatan pajak penghasilan perusahaan, jika penjualan kendaraan meningkat.
Risiko lain yang mesti dipikirkan, tambah Esther, adalah kemacetan dan polusi udara yang makin meningkat jika penjualan kendaraan berbahan bakar fosil terdongkrak. ”Pemberian insentif pajak harus memikirkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan,” katanya.
Baca juga: KPR dan KKB Pacu Konsumsi, tetapi Pertimbangkan Risiko
Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia Sigit Kumala ketika dihubungi, Selasa, mengatakan daya beli masyarakat belum pulih. Hal itu antara lain terlihat dari penjualan sepeda motor pada 2020 yang sekitar 3.663.000 unit atau turun dibandingkan dengan 2019 yang sekitar 6.485.000 unit.
”Penjualan di Januari 2021 mencapai 400.000 unit. Penjualan ini sudah lebih baik dibandingkan dengan rata-rata penjualan di triwulan IV-2019 yang sekitar 300.000 unit. Akan tetapi, masih belum bisa menyamai penjualan di Januari 2020 yang sebanyak 520.000 unit,” kata Sigit.
Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia, penjualan mobil dari pabrik ke diler (wholesale) pada 2020 sebanyak 532.027 unit. Adapun penjualan ritel 578.327 unit. (CAS)