Pengawasan Lemah Berpotensi Investasi Jadi Kontraproduktif
Tindak lanjut UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah menerbitkan 49 PP. Dengan PP itu, diharapkan implementasi UU dapat meningkatkan pemulihan ekonomi. Namun, diingatkan, pengawasan yang lemah mesti diperkuat.
Ilustrasi UU Cipta Kerja
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 49 aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah diterbitkan. Pemerintah berharap, hal ini akan segera mempercepat implementasi undang-undang sehingga ikut mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Namun, tantangannya adalah pada pengawasan dan koordinasi yang selama ini dikenal lemah. Bahkan dengan detail aturan yang kompleks, penunggang gelap berpotensi bermunculan.
”Intinya, peraturan pelaksana ini dihasilkan dengan terburu-buru, dikasih target. Mohon sistem pengawasan dari kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab harus tegas. Kalau tidak tegas, peraturan ini tidak ada gunanya. Kita kan pandai buat peraturan tapi tidak pandai mengawasinya,” kata pengamat kebijakan public dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, Jakarta, Senin (22/2/2021).
Agus berpandangan, Undang-Undang Cipta Kerja berikut peraturan pelaksananya dibuat oleh Presiden Joko Widodo dengan niat baik. Namun, dengan sejumlah persoalan pada substansi peraturan pelaksana dan lemahnya pengawasan, ia khawatir aturan tidak akan berjalan efektif. Bahkan, situasinya bisa menjadi kontraproduktif. Alasannya, beberapa ketentuan justru berpotensi menciptakan iklim yang tidak kompetitif. Ini misalnya terjadi pada ketentuan di sektor perhubungan laut dan darat.
Baca juga: Pemerintah Kebut Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja
Contohnya adanya ketentuan agen umum yang tidak hanya memberikan layanan jasa administrasi, tetapi bisa mengurusi sampai angkutan. Hal ini berpeluang menimbulkan kompetisi yang tak sehat karena industri kapal dalam negeri yang sedang kesulitan akan dihantam oleh munculnya agen-agen yang ikut bermain pada angkutan. Sementara modalnya cukup punya kantor tetapi tanpa harus memiliki kapal dengan berbagai izin.
Intinya, peraturan pelaksana ini dihasilkan dengan terburu-buru, dikasih target. Mohon sistem pengawasan dari kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab harus tegas. Kalau tidak tegas, peraturan ini tidak ada gunanya. Kita kan pandai buat peraturan tapi tidak pandai mengawasinya.
Agus juga mengingatkan, pada saat proses penyusunan peraturan pelaksana, banyak makelar memasukkan berbagai agendanya. Artinya, ketika peraturan dijalankan, akan ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan secara tidak fair ataupun marak penunggang gelap. Hal ini butuh evaluasi tegas.
”Jangan sampai niat yang baik tidak jalan. Saya harap, ketika implementasinya tidak efektif atau ada muncul persoalan, Presiden harus segera menggelar rapat terbatas untuk mencari solusinya,” kata Agus.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah menetapkan 49 peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang terdiri dari 45 peraturan pemerintah dan 4 peraturan presiden. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Sekretariat Negara Eddy Cahyono Sugiarto melalui siaran pers, Minggu (21/2/2021), menyatakan, keberadaan aturan pelaksana itu diharapkan dapat segera berdampak pada upaya pemulihan perekonomian nasional sekaligus menjadi momentum kebangkitan bangsa Indonesia.
Undang-Undang Cipta Kerja resmi berlaku sejak diundangkan pada 2 November 2020. Tujuannya, menurut Eddy, untuk menyediakan seluas-luasnya lapangan kerja yang berkualitas, memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), menyederhanakan regulasi, serta meningkatkan ekosistem investasi untuk percepatan proyek strategis nasional.
Guna mengimplementasikannya, Undang-Undang Cipta Kerja membutuhkan beberapa peraturan pelaksanaan teknis, di antaranya mencakup sektor penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko; kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMKM; dan perpajakan yang mendukung kemudahan berusaha. Sektor lainnya antara lain penataan ruang, lingkungan hidup dan kehutanan, pertanahan, dan ketenagakerjaan.
”Peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja secara lengkap dapat diakses melalui Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara,” kata Eddy.
Serius bangun perekonomian
Dihubungi di Yogyakarta, pengajar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Agustinus Subarsono, menyatakan, terbitnya 49 peraturan pelaksana tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun perekonomian pasca-ditetapkan Undang-Undang Cipta Kerja. Hal itu juga mencerminkan besarnya komitmen pemerintah memulihkan perekonomian yang dihantam Covid-19.
Undang-Undang Cipta Kerja memiliki spektrum yang luas. Dengan demikian, peraturan pelaksananya juga mengatur berbagai sektor yang luas cakupannya. Agar implementasinya efektif, Subarsono menyatakan, pemerintah pusat harus proaktif menyosialisasikan dan mengoordinasikan seluruh peraturan pelaksana dengan seluruh pemangku kepentingan terkait sesuai sektor masing-masing.
”Jadi bagaimana pemerintah pusat melakukan sosialisasi ke pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan sektoral lainnya, termasuk swasta, supaya ikut serta dalam implementasinya. Jadi harus menciptakan sinergi pusat dan daerah, serta antarsektoral,” kata Subarsono.
Dalam diskusi seputar hubungan antara pemberantasan korupsi dan investasi, pekan lalu, ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, berpendapat, UU Cipta Kerja adalah salah kaprah. Ini berangkat dari pandangan keliru terhadap realisasi investasi di Indonesia.
Jadi bagaimana pemerintah pusat melakukan sosialisasi ke pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan sektoral lainnya, termasuk swasta, supaya ikut serta dalam implementasinya. Jadi harus menciptakan sinergi pusat dan daerah, serta antarsektoral.
Menurut Faisal, investasi di Indonesia rendah. Padahal, faktanya, investasi lumayan. Investasi di Indonesia tumbuh lebih tinggi ketimbang China, Malaysia, Thailand, Afrika Selatan, dan Brasil serta hampir sama dengan India. Akibat pertumbuhan investasi lumayan tinggi itu, maka porsi investasi dalam produk domestik bruto terus meningkat, bahkan lebih tinggi ketimbang rerata negara berpendapatan menengah-bawah ataupun kelompok negara berpendapatan menengah-atas.
Baca juga: Kejar Tayang Aturan Turunan UU Cipta Kerja
Persoalannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di 5 persen. Hal ini, menurut Faisal, bukan karena investasinya yang kurang, melainkan adanya praktik-praktik tak sehat dalam investasi di Indonesia. Misalnya praktik anti-persaingan dan pembebasan bea masuk sejumlah barang impor yang mestinya tak perlu.
Praktik-praktik tak sehat itu bermuara pada rasio antara investasi di tahun yang lalu dengan pertumbuhan output regional atau PDRB (incremental capital-output ratio/ICOR) yang sangat tinggi. ICOR bisa menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilai ICOR, semakin tidak efisiennya suatu negara untuk investasi masuk.
Saat ini, ICOR Indonesia mencapai 6,5. Sementara di era Orde Baru sampai era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rata-raya hanya 4,3. Bahkan, ICOR Indonesia pun tertinggi di ASEAN. ICOR Indonesia yang tinggi ini menunjukkan tingkat efisiensi yang masih rendah untuk masuknya investasi di Indonesia. Untuk menghasilkan tambahan satu unit output, diperlukan tambahan modal 50 persen lebih banyak. Tambahan modal itu tak lain dan tak bukan adalah investasi.