Kesempatan Belajar bagi Kepala Desa Harus Pertimbangkan Berbagai Faktor
Program peningkatan sumber daya manusia perdesaan untuk memiliki derajat kesarjanaan perlu memperhatikan berbagai faktor dan urgensi penerapannya. Menempuh pendidikan lanjut dinilai kian meningkatkan wawasan.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Program peningkatan sumber daya manusia perdesaan untuk memiliki derajat kesarjanaan harus memperhatikan berbagai faktor dan urgensi penerapannya. Menempuh pendidikan lanjut dinilai bisa meningkatkan wawasan dan membentuk pola pikir, tetapi tidak semua individu memiliki kesiapan dan minat serupa.
Program tersebut digagas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kementerian PDTT) untuk mendukung percepatan pembangunan desa agar tercapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Perdesaan (Sustainable Development Goals/SDGs Desa). Oleh karena itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) perdesaan, terutama kepala desa dan pengurus badan usaha milik desa (BUMDes), dianggap penting.
Kepala Desa Bojong Timur, Kecamatan Bojong, Purwakarta, Dedi Junaedi (49), Kamis (18/2/2021), menyambut baik wacana itu. Menurut dia, pesatnya perkembangan zaman membuatnya terpacu mengembangkan kapasitas diri. Sebagai tamatan sekolah menengah atas (SMA), Dedi merasa bekal ilmu yang dia miliki belum seberapa dibandingkan dengan mereka yang lulusan perguruan tinggi.
Selama ini, Dedi berupaya menambah wawasannya dengan berbagai cara, antara lain, mencari informasi via internet, membaca buku, dan mengobrol dengan kaum muda yang mengeyam bangku kuliah. Dia juga memanfaatkan setiap acara perkumpulan warga untuk mengasah kemampuan komunikasi dan pengambilan keputusan.
”Saya pribadi mau banget kalau diberi kesempatan sekolah lanjut. Tidak ada kata terlambat untuk mengejar pendidikan. Fokusnya bukan hanya mendapatkan ijazah, melainkan juga materinya dapat melengkapi pengalaman di lapangan. Harapannya bisa semakin membentuk pola pikir dan menambah wawasan,” tutur Dedi.
Jika wacana itu benar dilakukan, Dedi berharap para kades diberikan kelonggaran waktu supaya bisa bekerja sekaligus melanjutkan pendidikan. Sebab, tak mudah membagi waktu dan bepergian terlalu sering meninggalkan tugas jika kuliah dilakukan rutin. Adapun materi kuliah dan tugas yang diberikan harus diperbanyak membahas perihal kondisi dan permasalahan yang terjadi di desa.
Sementara itu, Kepala Desa Kutamanah, Kecamatan Sukasari, Purwakarta, Maman Surahman (50) justru khawatir jika tidak bisa menyelesaikan kuliah karena kemampuan daya ingatnya sudah tidak seprima dulu. Menurut dia, program tersebut sebaiknya diberikan kepada pada kades yang masih muda.
”Jika nanti kuliah, pasti ada ujian, pikiran menjadi tidak fokus karena terbelah antara pelayanan masyarakat dan pendidikan itu sendiri,” ucap Maman.
Meski begitu, Maman menilai, peningkatan kualitas SDM perdesaan cukup penting. Sebab, kades dituntut mencari solusi, mengambil keputusan, dan mengatasi permasalahan yang muncul. Selain lewat program pendidikan lanjut, Maman berharap para kades diberikan lebih banyak pelatihan atau kursus.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Purwakarta, sebanyak 117 dari total 183 kades di Purwakarta merupakan tamatan SMA. Selanjutnya, ada kades yang mengenyam pendidikan sarjana sebanyak 58 orang atau setara 32 persen, diploma (4 orang), dan SMP (4 orang). Angka tersebut sejalan dengan yang pernah disebutkan oleh Menteri PDTT Abdul Halim Iskandar bahwa mayoritas kades di Indonesia adalah tamatan SMA, yakni 44.767 orang (64,26 persen).
Pengamat kebijakan publik sekaligus Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Cecep Darmawan menilai, program itu bisa meningkatkan wawasan, kompetensi, dan kecakapan mengelola warga. Namun, bentuk perkuliahan harus mempertimbangkan berbagai faktor agar tidak mengganggu tugas keseharian kepala desa. Hal itu meliputi lokasi perguruan tinggi, waktu kuliah di akhir pekan atau malam hari, relevansi jurusan, hingga sistem perkuliahan bisa dilakukan jarak jauh.
”Pendidikan yang diterapkan sebaiknya sarjana terapan yang berkaitan dengan pemerintahan desa atau pengelolaan ekonomi desa. Semakin bagus apabila diperbanyak praktiknya dibandingkan teori sehingga mereka bisa mengaplikasikannya langsung,” kata Cecep.
Skripsi bukan menjadi satu-satunya penentu kelulusan, mereka diperbolehkan mengambil tugas akhir lain yang disetarakan dengan skripsi. Misalnya, mereka melakukan tugas nyata yang berkaitan dengan pekerjaan yang tengah dikerjakan.
Proses peningkatan kapasitas tidak boleh berhenti begitu saja setelah ijazah atau gelar didapatkan. Selanjutnya, pemerintah didorong menyiapkan pelatihan dan kursus bagi mereka. ”Kompetensi tetap harus dipelihara dengan program pemberdayaan, yakni pelatihan atau kursus rutin. Kemampuannya harus diasah secara terus-menerus,” ucap Cecep.
Menurut Prof Cecep, kesempatan mengenyam pendidikan lanjut ini sebaiknya bersifat pilihan atau opsional mengingat tidak sedikit kepala desa atau pengurus BUMDes yang berusia lanjut. Bagi yang berusia di atas 50 tahun, mereka bisa memilih mengambil pendidikan sarjana atau mengikuti kursus pelatihan yang berkaitan dengan pekerjaan ini.
Para kades yang mengenyam pendidikan sarjana juga bisa menjadi pembimbing yang belum sarjana, misalnya membantu akses modul kampus dan berbagi pengalaman dalam memecahkan solusi yang dihadapinya. Pertukaran pengetahuan dan diskusi pengalaman ini semakin memperkaya wawasan setiap kades.