Partisipasi perempuan di pasar keuangan juga cukup tinggi. Dalam penerbitan ORI018, misalnya, Rp 6,73 triliun dari Rp 12,97 triliun dana hasil penjualan ORI018 dibeli investor perempuan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
Cita-cita percepatan pemulihan ekonomi nasional pascapandemi tidak bisa mengesampingkan perempuan. Harus diakui, perempuan memainkan peran strategis dalam pergerakan roda ekonomi mulai dari tataran rumah tangga sampai ke tingkat nasional. Namun, ketimpangan jender yang kronis masih menghambat kontribusi perempuan dalam perekonomian.
Di Indonesia, 53,76 persen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dimiliki perempuan, di mana 97 persen karyawannya juga perempuan. Selama ini UMKM menjadi penopang ekonomi nasional dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 61 persen, investasi 60 persen, dan ekspor 14,4 persen.
Indonesia termasuk satu dari enam negara di dunia yang memberikan posisi strategis dan tapuk kepemimpinan kepada perempuan. Sebagai contoh, 90 persen Program Keluarga Harapan diterima oleh perempuan sebagai kepala keluarga. Bantuan permodalan UMKM pun sebagian besar dijalankan perempuan.
Partisipasi perempuan di pasar keuangan juga cukup tinggi. Dalam penerbitan ORI018, misalnya, Rp 6,73 triliun dari Rp 12,97 triliun dana hasil penjualan ORI018 dibeli investor perempuan. Jumlah investor perempuan dalam ORI018 mencapai 57,82 persen. Kondisi serupa terjadi pada penerbitan ORI017 dengan porsi investor perempuan 55,87 persen.
Selain ekonomi, partisipasi perempuan dalam kesehatan dan tingkat pendidikan juga menunjukkan tren positif kendati belum signifikan. Indonesia menempati peringkat ke-85 dalam indeks Global Gender Gap tahun 2019. Secara spesifik, partisipasi dalam ekonomi peringkat ke-68, tingkat pendidikan ke-105, kesehatan ke-79, dan peran politik ke-82.
Partisipasi perempuan di pasar keuangan juga cukup tinggi. Dalam penerbitan ORI018, misalnya, Rp 6,73 triliun dari Rp 12,97 triliun dana hasil penjualan ORI018 dibeli investor perempuan.
Namun, rendahnya proporsi perempuan dalam pasar tenaga kerja dan ketimpangan tingkat pendapatan masih menjadi masalah kronis. Paling tidak dalam tiga tahun terakhir, pada 2018-2020, angka partisipasi angkatan kerja perempuan cenderung stagnan di level 55 persen.
Adapun angka partisipasi angkatan kerja laki-laki naik tipis di kisaran 83-84 persen. Bahkan, partisipasi perempuan sempat turun menjadi 54,56 persen pada 2020. Sejumlah data menunjukkan, perempuan menikah dan perempuan dengan anak memiliki tingkat partisipasi terendah.
Selain itu, perempuan yang bekerja sebagai profesional kurang dari 50 persen dengan tingkat pendapatan lebih kecil dari laki-laki (kesenjangan gaji). Untuk posisi manajerial, misalnya, kurang dari 40 persen diduduki perempuan. Belum lagi, rata-rata perempuan memperoleh pendapatan setengah dari laki-laki. Hal ini mengindikasikan lingkungan kerja di Indonesia masih menempatkan perempuan sebagai minoritas.
Mengutip data Human Development Working Paper yang dirilis Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 2020, Indeks Kesenjangan Gender (IKG) Indonesia menempati peringkat ke-6 dari 10 negara dengan nilai 0,451. IKG Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lain, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Tingginya IKG Indonesia merefleksikan partisipasi perempuan dalam berbagai aspek sosial dan ekonomi perlu ditingkatkan.
Indeks Kesenjangan Gender (IKG) Indonesia menempati peringkat ke-6 dari 10 negara dengan nilai 0,451.
Kesenjangan jender juga tecermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. Kendati IPM terus mengalami perbaikan dalam empat tahun terakhir, IPM perempuan selalu di bawah IPM laki-laki. Pada 2019, IPM laki-laki sebesar 75,95, sementara IPM perempuan 69,18. IPM diukur dari tiga aspek esensial, yaitu lama hidup dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak.
Jika masalah itu dapat diatasi, menurut riset MicKinsey tahun 2018, kesetaraan jender berpeluang meningkatkan PDB Indonesia hingga 135 miliar dollar AS pada 2025 dengan asumsi terjadi pemerataan kesempatan kerja di mana partisipasi kerja perempuan meningkat dari 50 persen tahun 2014 menjdi 56 persen tahun 2025.
Isu kesetaraan jender acap kali luput dalam agenda besar pemulihan ekonomi nasional. Padahal, untuk mewujudkan pemulihan berkelanjutan aspek-aspek terkait pemerataan dan kesempatan bagi perempuan untuk berkontribusi lebih besar adalah keniscayaan. Konstruksi kuno yang selama ini menghambat ruang gerak perempuan harus didobrak.
”If women have equal opportunities to reach their full potential, the world not only be fairer, it would be more prosperous as well,” ujar Kristalina Georgieva, saat menjabat CEO interim Bank Dunia, dalam Forum Ekonomi Dunia 2019.