RI-Jepang Tingkatkan Kerja Sama di Sektor Perikanan
Indonesia menyimpan potensi besar perikanan meski dalam hal promosi dan distribusi rantai dingin masih berkembang. Untuk itu, perusahaan Jepang siap berinvestasi di Indonesia dengan menyediakan mesin-mesin pendingin.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perikanan menjadi salah satu produk ekspor utama Indonesia ke Jepang yang dapat diandalkan di tengah pandemi Covid-19. Namun, lepas dari potensi besar itu, Indonesia masih kalah dari Thailand untuk mengekspor produk perikanan ke Jepang. Pemerintah Indonesia dan Jepang pun sepakat meningkatkan kerja sama perdagangan dan investasi di sektor perikanan.
Duta Besar Indonesia untuk Jepang Heri Akhmadi, Rabu (27/1/2021), mengatakan, potensi kerja sama perdagangan dengan Jepang sangat besar. Indonesia, sebagai negara produsen produk perikanan kedua terbesar dunia, adalah mitra alami Jepang sebagai salah satu negara konsumen ikan terbesar dunia.
Kemitraan dagang Indonesia dan Jepang selama pandemi Covid-19 pun relatif stabil. Ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang pada Januari-November 2020 masih mencapai nilai 11,6 miliar dollar AS. Sementara, total nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke Jepang pada periode yang sama adalah 528 juta dollar AS. Produk yang paling banyak diekspor adalah udang dan ikan tuna.
Namun, capaian itu belum cukup. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia ternyata bukan eksportir produk perikanan terbesar ke Jepang karena masih kalah dari Thailand.
”Oleh karena itu, kerja sama di sektor perikanan antara Indonesia dan Jepang harus terus ditingkatkan,” kata Heri dalam acara Japan-Indonesia 2021 Market Access Workshop: Seafood yang digelar secara virtual.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia ternyata bukan eksportir produk perikanan terbesar ke Jepang karena masih kalah dari Thailand.
Selain perdagangan, kerja sama investasi di sektor perikanan juga berpeluang ditingkatkan. Untuk menggenjot kapasitas produk perikanan, salah satu strategi pemerintah adalah membangun sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di enam kepulauan terluar.
Menurut Heri, pembangunan enam SKPT di daerah terluar Indonesia itu banyak dibantu oleh investasi Jepang. ”Kami berharap, ke depan perusahaan Jepang bisa lebih terlihat untuk berinvestasi dalam proyek SKPT di Indonesia dan membantu meningkatkan produk perikanan yang bisa diekspor ke Jepang pula,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal ASEAN-Japan Centre Masataka Fujita menuturkan, peningkatan volume produksi perikanan Indonesia yang signifikan di beberapa tahun terakhir, termasuk selama pandemi, membuat potensi perdagangan dan investasi dengan Indonesia di sektor perikanan semakin menggiurkan.
Perusahaan-perusahaan Jepang tertarik berinvestasi di Indonesia untuk meningkatkan produksi perikanan Indonesia. Nantinya, investasi tersebut bisa mendongkrak ekspor yang lebih prospektif ke Jepang.
”Indonesia menyimpan potensi besar meski dalam hal promosi dan distribusi rantai dingin (cold chain) masih berkembang. Untuk itu, perusahaan Jepang siap berinvestasi di Indonesia dengan menyediakan mesin-mesin pendingin untuk mempertahankan kesegaran produk,” kata Fujita.
Perusahaan Jepang siap berinvestasi di Indonesia dengan menyediakan mesin-mesin pendingin untuk mempertahankan kesegaran produk.
Sepanjang 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, total nilai ekspor perikanan Indonesia mencapai 5,2 miliar dollar AS. Sebanyak 4,84 miliar dollar AS merupakan ekspor ikan konsumsi dengan volume ekspor mencapai 1,06 juta ton sepanjang tahun.
Lima pasar utama produk perikanan Indonesia adalah China, Jepang, Amerika Serikat, ASEAN, dan Uni Eropa. Adapun total produksi perikanan RI selama 2020 mencapai 23,16 juta ton, menurun 2,94 persen dibandingkan 2019.
Penasihat Perdagangan dan Investasi di Organisasi Impor Barang Manufaktur dan Promosi Investasi (MIPRO), Makoto Nakamura, mengemukakan, pelaku usaha perikanan di Indonesia perlu memahami kondisi regulasi dan restriksi impor makanan laut beku di Jepang. Apalagi, tren konsumen Jepang ke depan adalah semakin mengutamakan aspek kesehatan dan keamanan produk di atas pertimbangan ekonomi atau kemudahan memperoleh produk.
Beberapa regulasi yang harus diperhatikan eksportir adalah Undang-Undang mengenai Sanitasi Makanan serta Undang-Undang Perdagangan Luar Negeri di Jepang. Pemeriksaan produk impor makanan laut di Jepang terdiri dari empat tahap, sejak di kantor karantina pusat, laboratorium karantina, dan pemeriksaan terakhir oleh petugas kesehatan setempat di pasar-pasar sebelum produk dijual.
Aspek yang diperiksa adalah penggunaan bahan tambahan artifisial seperti pewarna buatan, pengawet buatan, atau kadar residu potasium (biasa digunakan untuk obat bius saat penangkapan) dalam ikan dan produk makanan laut lainnya.
”Dari segi pelanggaran regulasi, Indonesia sebenarnya tidak banyak pelanggaran dibandingkan negara lain, tetapi tetap saja ada beberapa masalah yang sering muncul untuk produk gurita atau ikan fillet dari Indonesia,” kata Nakamura.