Jembatan Musi IV, Mendekatkan Jarak Merekatkan Harmoni
Jembatan Musi VI yang baru dibuka pada awal tahun 2021 menjadi wajah baru Kota Palembang. Keberadaannya diharapkan dapat menjadi pemangkas kesenjangan di sisi hulu dan hilir Palembang.
Jembatan Musi VI yang dibuka di awal 2021 menjadi wajah baru Kota Palembang. Selain diciptakan untuk mendampingi saudara tuanya, Ampera, jembatan ini diharapkan jadi pemangkas kesenjangan antara kawasan hilir dan hulu.
Topan Saputra (29), warga Jakabaring, Palembang, bersandar santai di pagar Jembatan Musi VI, Jumat (15/1/2021). Matanya memandang kemegahan Sungai Musi yang berhiaskan hilir mudik aktivitas tongkang batubara, jukung, dan perahu ketek.
Dia pun tampak terkagum dengan rancangan arsitektur jembatan yang mengusung konsep jembatan pelengkung (arch bridge), dipermanis dengan hiasan berbentuk topi tanjak di salah satu sisinya. ”Bangunan ini memang keren,” ujarnya terpukau.
Sejak dibuka bagi masyarakat umum pada Rabu (6/1/2021), jembatan yang menghubungkan Jalan Faqih Usman, Kecamatan Seberang Ulu I, dengan Jalan Sultan Mansyur, Kecamatan Seberang Ilir Barat II, ini menjadi obyek wisata baru warga Palembang.
Banyak pengendara atau pesepeda yang menepi untuk sekadar menikmati pemandangan sembari mengambil gambar diri dari atas jembatan. Kala malam tiba, tampilan Musi VI cindo nian (cantik sekali) dengan permainan 1.527 lampu hias di sepanjang tubuhnya.
Baca Juga: Jembatan Musi VI Dibuka, Sempitnya Jalan Akses Masih Jadi Kendala
Bagi Topan, jembatan bernilai invetasi Rp 548 miliar ini bukan sekadar tempat wisata, melainkan jalur baru baginya dalam menjalankan aktivitas keseharian sebagai seorang buruh lepas. Topan tak perlu lagi melewati Jembatan Ampera sehingga waktu tempuh dari rumah ke tempat kerja terpangkas hingga 25 menit.
Pembangunan molor
Awalnya, Jembatan Musi VI dibangun berbarengan dengan Musi IV Palembang, yakni pada tahun 2015. Harapannya, kedua jembatan ini bisa rampung sebelum perhelatan Asian Games 2018. Ketika itu, Palembang menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar di Asia, mendampingi DKI Jakarta. Nyatanya, hanya Musi IV yang selesai, sedangkan Musi VI tertinggal karena terbentur pembebasan lahan.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga Sumatera Selatan Darma Budhi mengatakan, pembebasan lahan untuk jalan akses jembatan Musi VI memang menjadi kendala utama pembangunan. ”Ada warga yang menuntut ganti rugi jauh dari harga pasar, bahkan bisa mencapai tujuh kali lipat. Inilah yang membuat kesepakatan sulit tercapai,” ucapnya.
Ketika masih anak-anak, di daerah ini masih hamparan hutan. Sekarang sudah menjelma menjadi pusat kota.
Padahal, ujar Darma, harga yang ditawarkan sudah cukup tinggi. ”Bisa dibilang, pemilik lahan dapat ganti untung, bukan ganti rugi,” ucapnya. Dengan beragam pendekatan, akhirnya proses pembebasan lahan hampir tuntas. Dari sekitar 151 persil lahan yang dibutuhkan, hanya 7 persil yang belum bebas.
Rita (44), salah satu warga Kecamatan Ilir Barat II Palembang, mengenang rumahnya yang kini telah berganti rupa menjadi tiang jembatan. Pada 2017, lahan dan rumah yang telah ia tempati selama puluhan tahun dihargai Rp 950 juta. Dari uang itu, kini Rita dan dua saudaranya bisa membeli tiga rumah pengganti.
Rita yang sejak lahir sudah tinggal di kawasan tersebut tidak menyangka kampung halamannya itu bakal berubah seperti sekarang. ”Ketika kecil, di daerah ini masih hamparan hutan. Sekarang sudah menjelma menjadi pusat kota,” ujarnya.
Musi VI pun membawa berkah bagi Rita. ”Sejak jembatan ini dibuka, omzet penjualan saya meningkat hingga tiga kali lipat,” ucap Rita yang membuka warung pempek tak jauh dari jembatan.
Gubenur Sumatera Selatan Herman Deru meyakini keberadaan Musi VI dapat mengurangi beban Jembatan Ampera yang saat ini menginjak usia 55 tahun. Selain itu, jembatan sepanjang 925 meter ini juga akan memberi dampak pada pemerataan pembangunan di Seberang Ulu dan dan Seberang Ilir.
”Semua warga Palembang, baik di hulu maupun hilir, memiliki hak yang sama dalam pembanguan dan berlalu lintas,” ucapnya. Jembatan ini diharapan juga menjadi poros ekonomi baru bagi warga setempat yang akhirnya bermuara pada kesejahteraan.
Baca Juga: Sempat Molor Dua Tahun, Jembatan Musi VI Dibuka di Akhir Tahun
Masa kolonial
Pengamat perkotaan dari Universitas Indo Global Mandiri Palembang, Bambang Wicaksono, menuturkan, kesenjangan antara kawasan Seberang Ulu dan Seberang Ilir ini terbentuk sejak masa kolonial Belanda. Saat itu, mereka membedakan konsep pembangunan di kedua sisi kota Palembang.
Di Kawasan Seberang Ilir dibangun semarak dengan beragam perumahan, pasar, rumah ibadah, dan kantor pemerintahan, sedangkan kawasan Seberang Ulu seakan ditinggalkan bahkan terkesan dibiarkan dengan fasilitas dan jaringan infrastruktur yang kurang memadai.
”Dulu, kawasan Seberang Ulu diperuntukkan bagi kaum pendatang, sedangkan kawasan Seberang Ilir diperuntukan bagi kerabat kesultanan, bangsawan, dan kaum elite Belanda,” kata Bambang.
Ini diperparah dengan kondisi geografis kawasan Seberang Ulu yang didominasi rawa dalam sehingga dibutuhkan biaya yang besar untuk mendirikan bangunan. ”Ibaratnya, pertumbuhan di kawasan hulu berdasarkan deret hitung, sedangkan kawasan hilir berdasarkan deret ukur,” ujar Bambang.
Namun, stigma itu seakan terkikis ketika Presiden Soekarno memutuskan membangun Jembatan Ampera pada 1962. Tujuannya untuk menciptakan harmoni antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang telah lama terjerembab dalam kutukan kesenjangan. Terbukti, setelah Jembatan Ampera diresmikan pada 30 September 1965, pergerakan masyarakat Palembang semakin cepat.
Semua warga Palembang, baik di hulu maupun hilir, memiliki hak yang sama dalam pembanguan dan berlalu lintas.
Keberadaan jembatan diharapkan dapat menciptakan spread effect (penyebaran pengaruh) dari pusat kota (hilir) ke wilayah sekitarnya (hulu). Di sisi lain, jembatan bisa membuat kawasan hulu semakin ”terisap” karena banyak warga di kawasan hulu yang tergoda untuk beraktivitas di kawasan hilir.
Bambang memprediksi Jembatan Musi VI mampu mengurai kepadatan di Jembatan Ampera. Hanya saja, dia berharap pembangunan jembatan selanjutnya jangan berdekatan agar tidak terjadi penumpukan aktivitas, penumpukan arus yang berpotensi menciptakan sumbatan (bottleneck). Sebaiknya jembatan dibangun di kawasan yang belum tumbuh pesat.
Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur darat, termasuk di antaranya jembatan, ujar Bambang, yang terpenting adalah tetap menjadikan Sungai Musi sebagai bagian pembangunan Kota Palembang. ”Semenjak pembangunan berpola darat bertumbuh pesat, sungai seakan telah ditinggalkan, tetapi tetap jangan pernah dihilangkan,” katanya.