Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor nonmigas tumbuh 6,3 persen tahun ini. Pencapaian target itu juga membutuhkan penguatan fungsi intelijen pasar.
Oleh
M Paschalia Judith J/Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor nonmigas sepanjang 2021 tumbuh 6,3 persen daripada tahun sebelumnya. Neraca perdagangan ditargetkan surplus 1 miliar dollar Amerika Serikat. Untuk merealisasikannya, Kementerian Perdagangan menyiapkan enam strategi.
Keenam strategi itu adalah pemanfaatan pasar nontradisional sebagai alternatif pasar, penyelesaian perjanjian perdagangan, mengikuti Dubai Expo dan menggelar Trade Expo Indonesia 2021, menggelar misi dagang, menjaga arus barang masuk untuk bahan baku dan penolong ekspor, serta memberikan kepastian perizinan.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Senin (11/1/2021), menyatakan, strategi peningkatan ekspor itu perlu ditopang dengan pertumbuhan industri berbasis investasi. Apalagi saat ini sedang terjadi fenomena baru di Indonesia. Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara pengekspor barang mentah dan barang setengah jadi mulai bergerak dan akan menjadi pengekspor barang industri berkualitas tinggi.
Lutfi mencontohkan, Indonesia mulai menjadi pengekspor barang industri melalui produk besi baja dan kendaraan bermotor yang nilai ekspornya tinggi. Untuk terus menjadi pengekspor produk bernilai tambah tinggi, Indonesia perlu membuka pasar agar menjadi lebih kompetitif.
”Terbukanya pasar akan mengundang investasi dan industrialisasi. Ini sejalan dengan optimalisasi perjanjian perdagangan yang mengedepankan kolaborasi,” katanya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara pengekspor barang mentah dan barang setengah jadi mulai bergerak dan akan menjadi pengekspor barang industri berkualitas tinggi.
Menurut Lutfi, perjanjian dagang dapat berdampak ganda pada penguatan daya saing industri dan struktur ekspor nasional. Pembukaan akses pasar dalam perjanjian dagang akan mendatangkan investasi untuk perdagangan dan investasi serta turut menghadirkan barang-barang komponen berorientasi ekspor.
Selain itu, di tengah pandemi Covid-19 ini, Kementerian Perdagangan juga akan memastikan berjalannya arus barang mengingat ekspor-impor menjadi salah satu komponen pertumbuhan ekonomi. ”Artinya, kami menargetkan dua pertiga barang impor merupakan barang modal serta bahan baku/penolong yang dapat berdampak pada ekspor dan manufaktur dalam negeri,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan sepanjang Januari-November 2020 surplus 19,66 miliar dollar AS. Adapun ekspor nonmigas pada Januari-November 2020 senilai 139,49 miliar dollar AS, turun 2,18 persen dibandingkan dengan periode sama 2019. Impor nonmigas merosot 16,54 persen menjadi 114,35 miliar dollar AS.
Pembukaan akses pasar dalam perjanjian dagang akan mendatangkan investasi untuk perdagangan dan investasi serta turut menghadirkan barang-barang komponen berorientasi ekspor.
Pencapaian target pertumbuhan ekspor ini membutuhkan sokongan intelijen pasar. Tujuannya guna menggali informasi tentang selera konsumen, standardisasi, dan aturan produk yang mesti dipenuhi serta hambatan nontarif.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menyatakan, pencapaian target ekspor dan neraca perdagangan yang ditetapkan membutuhkan penguatan fungsi intelijen pasar. ”Intelijen pasar mesti menghimpun informasi kebutuhan masyarakat setempat, selera konsumen, regulasi, hambatan perdagangan, hambatan nontarif, serta jaringan distribusi dan logistik di setiap negara,” ujarnya.
Indonesia, lanjut Ahmad, juga mesti memanfaatkan peluang perubahan pola konsumsi masyarakat dunia yang kini lebih memedulikan aspek kebersihan dan kesehatan serta produk-produk yang menunjang aktivitas dari rumah. Produk-produk yang potensial ditingkatkan ekspornya terdiri dari alat kesehatan, obat-obatan, dan makanan siap masak atau siap santap.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, pemerintah dapat bekerja sama dengan pelaku usaha dan industri terkait distribusi intelijen pasar untuk meningkatkan efisiensi pasar. Kolaborasi yang sama dapat diterapkan untuk sosialisasi pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas dan penjajakan bisnis.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan, kebijakan nontarif di negara tujuan ekspor dapat menjadi tantangan di tengah ketidakpastian global yang masih akan berlanjut tahun ini. Hal itu tampak dari pemenuhan standar produk yang turut menjadi instrumen pengendalian impor di negara tujuan. (HENDRIYO WIDI)