Dalam 10 tahun terkahir, produksi kedelai di Banyuwangi menunjukkan tren penurunan produksi. Hal itu disebabkan alih komoditas tanam para petani dari kedelai menjadi buah naga dan jeruk.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Banyuwangi tercatat menjadi produsen kedelai tertinggi nasional tahun 2014. Namun, kini lahan kedelai banyak berganti menjadi kebun jeruk dan buah naga. Sulitnya bersaing harga dengan kedelai impor yang dulu murah menjadi penyebabnya.
Dalam 10 tahun terakhir, produksi kedelai di Banyuwangi menunjukkan tren penurunan produksi. Hal itu disebabkan alih komoditas tanam para petani dari kedelai menjadi buah naga dan jeruk.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Arief Setyawan di Banyuwangi, Jumat (8/1/2021). ”Pada tahun 2011 luas lahan kedelai di Banyuwangi mencapai 36.068 hektar dengan total produksi setahun 66.077 ton kedelai. Tahun 2020, lahan kedelai yang tersisa hanya 5.247 hektar dengan hasil produksi 10.573 ton kedelai,” ungkapnya.
Menurut Arief, penurunan luasan lahan yang diikuti dengan penurunan produksi kedelai terjadi akibat alih komoditas yang dilakukan petani secara besar-besaran. Petani di wilayah Banyuwangi selatan banyak beralih menanam buah naga dan jeruk. Hal itu dilakukan karena kedua komoditas tersebut dinilai lebih menguntungkan daripada menanam kedelai. Alih komoditas terjadi sekitar tahun 2016.
”Alih komoditas terjadi karena menanam kedelai dinilai tidak menguntungkan secara harga. Gencarnya impor kedelai saat itu membuat petani kedelai lokal kalah saing. Saat ada komoditas buah naga dan jeruk yang dinilai lebih menguntungkan, para petani banyak yang beralih,” kata Arief.
Alih komoditas terjadi karena menanam kedelai dinilai tidak menguntungkan secara harga. Gencarnya impor kedelai saat itu membuat petani kedelai lokal kalah saing.
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Banyuwangi, lanjut Arief, berusaha menjaga produksi kedelai dengan memberikan bantuan benih terhadap 200 hektar hingga 300 hektar per tahun.
Kondisi itu dibenarkan oleh Suwito (34), petani jeruk asal Desa Kalipait, Kecamatan Tegaldlimo Banyuwangi. Hingga 2016, ia masih menanam kedelai. Namun, karena terus merugi, ia beralih menanam jeruk.
”Setiap kali panen kedelai, saya terus-terusan rugi. Tidak pernah untung karena harganya kalah bersaing dengan kedelai impor yang murah. Waktu itu, para perajin tahu dan tempe juga lebih memilih kedelai impor karena lebih murah,” keluhnya.
Suwito mengatakan, hingga saat ini ia sama sekali tidak tertarik untuk kembali menanam kedelai. Pasalnya, budidaya jeruk yang ia kembangkan masih lebih menjanjikan.
Dampak penurunan produksi kedelai membuat banyak perajin tahu dan tempe di Banyuwangi kini mengandalkan kedelai impor. Saat kedelai impor harganya melambung tinggi, mereka tidak dapat lagi menemukan kedelai lokal di pasar.
”Awal Desember kedelai impor harganya sekitar Rp 7.000 per kg, sekarang sudah mencapai Rp 9.500 per kg. Kalau kedelai lokal maksimal harganya Rp 7.200, itu pun kalau ada. Masalahnya sekarang sudah tidak ada yang jual karena petani tidak menanam kedelai lagi,” tutur Nurhasyim (38), perajin tahu.
Nurhasyim mengakui, sebenarnya secara kualitas rasa dan aroma tahu dari kedelai lokal lebih gurih dan harum. Ia mengaku sempat menggunakan bahan baku kedelai lokal hingga tahun 2016. Namun, karena tidak ada pasokan kedelai lokal, ia lantas beralih ke kedelai impor.
Saat ini berbagai upaya dilakukan para perajin untuk menyiasati tingginya harga kedelai impor. Beberapa di antaranya ialah mengurangi bahan baku hingga memperkecil potongan tahu.
”Dulu dalam sehari saya bisa mengolah 1,5 kuintal kedelai. Sekarang saya hanya mampu mengolah 1,2 kuintal kedelai sehari. Dampaknya, keuntungan juga semakin menipis dari semula Rp 300.000 sehari kini menjadi Rp 75.000 per hari,” ungkapnya.
Hal serupa disampaikan perajin tahu Suhardi (60). Ia juga mengurangi bahan baku produksi tahu dari yang semula 60 kg per hari menjadi 30 kg per hari.
”Saya juga memperkecil potongan tahu dari yang semula 1 kotak dipotong menjadi 200 potongan, kini menjadi 230 potongan. Saya sempat ingin menjaga ukuran potongan tahu, tetapi menaikkan harga. Namun, justru susah menjualnya karena banyak pesaing dari sesama perajin tahu,” tuturnya.
Nurhasyim yang sudah 20 tahun lebih menjadi perajin tahu mengungkapkan, biasanya kenaikan harga kedelai terjadi jelang hari raya Idul Fitri. Saat itu kenaikan tidak lebih dari Rp 500. Namun, kali ini harga kedelai naik hingga Rp 2.000 pada awal tahun.