Pada 2021, Total Pembiayaan Utang Rp 1.654,92 Triliun
Kebutuhan utang diperkirakan mencapai Rp 1.654,92 triliun tahun ini, antara lain untuk menutup defisit anggaran dan membayar utang jatuh tempo. Pemerintah diminta memperbaiki sisi pendapatan untuk mengerem beban utang.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Total kebutuhan pembiayaan utang tahun 2021 diperkirakan mencapai Rp 1.654,92 triliun. Risiko ketidakpastian dan volatilitas masih menyelimuti sehingga utang masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan.
Kebutuhan itu terdiri dari pembiayaan defisit APBN Rp 1.006,38 triliun, utang jatuh tempo Rp 477,57 triliun, dan non-utang Rp 170,97 triliun. Kebutuhan pembiayaan akan dipenuhi dari utang domestik sebesar 83,27 persen dan utang berdenominasi valuta asing 18,54 persen.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman saat dihubungi, Kamis (7/1/2021), menuturkan, paling tidak ada empat strategi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan tahun 2021. Pertama, mengoptimalkan sumber non-utang dari saldo anggaran lebih.
Kedua, melakukan pinjaman bilateral atau multilateral ke mitra pembangunan, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA). Ketiga, menerbitkan surat berharga negara (SBN). Keempat, memanfaatkan pembiayaan dari Bank Indonesia sebagai last resort.
”Risiko sepanjang tahun 2021 bermacam-macam serta masih diliputi ketidakpastian dan volatilitas. Diharapkan kebijakan suku bunga rendah global masih berlanjut pada tahun ini,” ujar Luky.
Pada tahun 2021, pembiayaan melalui SBN meliputi penerbitan obligasi dalam negeri, termasuk SBN ritel mencapai Rp 80 triliun, penerbitan obligasi global atau berdenominasi valuta asing berkisar 12-15 persen dari total kebutuhan SBN, serta penerbitan SBN melalui skema private placement untuk investor institusi khusus.
Luky menambahkan, upaya memenuhi kebutuhan pembiayaan akan dibarengi pengelolaan utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio utang terhadap PDB tetap dijaga dalam batas aman di bawah 60 persen PDB. Rasio utang tahun 2021 diproyeksikan 41,1 persen PDB atau lebih tinggi dari tahun 2020 yang sebesar 38,68 persen.
Saat dihubungi secara terpisah, Kamis, Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto berpendapat, penambahan utang pemerintah masih dapat dikelola. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor pendukung, seperti likuiditas rupiah yang melimpah sehingga permintaan dari investor domestik ke pasar obligasi masih tinggi.
Selain itu, arus modal masuk asing juga diperkirakan lebih banyak pada 2021 sejalan dengan likuiditas global yang masih tinggi. Likuiditas global tinggi karena adanya kebijakan quantitative easing dan potensi perlemahan dollar AS karena defisit kembar AS. Selain itu, ada dukungan Bank Indonesia (BI) di pasar perdana.
”Tahun 2020 pembeli surat utang pemerintah terbesar adalah BI dan perbankan, sementara asing masih menjual. Kondisi berbeda di tahun 2021, asing sudah membeli. BI, perbankan, dan retail juga akan jadi pembeli besar,” kata Handy.
Peningkatan utang
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, mengatakan, utang terus meningkat karena pendapatan negara rendah. Pada 2021, pendapatan negara Rp 1.473,6 triliun, turun 21,9 persen dibandingkan dengan sebelum pandemi atau kondisi normal. ”Utang jadi faktor kritis yang akan menjadi beban warisan sangat berat bagi pemimpin atau presiden yang akan datang,” ujarnya.
APBN mengalami masalah cukup berat dari sisi penerimaan pajak. Masalah anggaran selama beberapa tahun terakhir disebabkan defisit primer. Dengan kata lain, tanpa faktor utang, pendapatan negara tidak cukup untuk membiayai pengeluaran yang diperlukan. Akibatnya, pemerintah harus berutang untuk menutup defisit.
”Utang juga harus ditambah untuk membayar utang karena anggaran menanggung beban pembayaran utang pokok yang sudah jatuh tempo dan pembayaran cicilannya,” ujar Didik.
Peningkatan utang berisiko memperketat ruang fiskal dalam jangka panjang jika tidak ada reformasi yang dilakukan pemerintah. Bank Dunia memproyeksikan pembayaran bunga utang akan naik menjadi rata-rata 2,4 persen PDB per tahun pada 2021-2022 atau naik dibandingkan pada 2019 sebesar 1,7 persen PDB.
Bank Dunia merekomendasikan beberapa reformasi pendapatan negara yang bisa ditempuh. Salah satunya meningkatkan Pajak Penghasilan (PPh) untuk orang-orang berpenghasilan tinggi serta menaikkan cukai produk yang berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan, seperti tembakau, bahan bakar fosil, kantong plastik sekali pakai, dan mengurangi subsidi energi.