Kebutuhan investasi tidak semua ditanggung pemerintah. Kontribusi pemerintah diperkirakan sekitar 6 persen atau Rp 350 triliun, BUMN 7 persen atau Rp 400 triliun, dan sisanya 85-90 persen dari swasta.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia membutuhkan investasi berkisar Rp 5.800 triliun-Rp 5.900 triliun untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi pada 2021. Dari kebutuhan investasi itu, hampir 90 persen diharapkan berasal dari swasta.
Pada 2021, pemerintah menargetkan ekonomi nasional tumbuh 4,5-5,5 persen. Target pertumbuhan ekonomi akan tercapai jika investasi bisa tumbuh 6,4 persen atau setara dengan kebutuhan investasi Rp 5.800 triliun-Rp 5.900 triliun.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti, Senin (28/12/2020), mengatakan, kebutuhan investasi tidak semua ditanggung pemerintah. ”Kontribusi pemerintah diperkirakan sekitar 6 persen atau Rp 350 triliun, badan usaha milik negara (BUMN) 7 persen atau Rp 400 triliun, dan sisanya 85-90 persen dari swasta,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Kebutuhan investasi tidak semua ditanggung pemerintah. Kontribusi pemerintah diperkirakan sekitar 6 persen atau Rp 350 triliun, BUMN 7 persen atau Rp 400 triliun, dan sisanya 85-90 persen dari swasta.
Menurut Amalia, porsi investasi yang berasal pemerintah relatif kecil karena APBN masih diprioritaskan untuk penanganan Covid-19. Kapasitas fiskal APBN juga terbatas sehingga tidak akan mampu mencukupi seluruh kebutuhan investasi. Investasi pemerintah senilai Rp 350 triliun hanya sebagai stimulan agar sektor swasta mau bergerak.
Kebutuhan investasi dari sektor swasta, salah satunya bersumber dari Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Nantinya, sovereign wealth fund (SWF) milik Pemerintah Indonesia itu akan mengelola dana investasi asing untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur strategis, seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan.
Sejauh ini, lanjut Amalia, pemerintah belum mendetailkan target dana kelolaan LPI pada 2021. LPI baru akan beroperasi pada paruh kedua tahun depan dengan modal dasar Rp 75 triliun atau setara 5 miliar dollar AS.
”Investasi dibutuhkan untuk mendorong pemulihan jangka pendek dari sisi permintaan. Sisi permintaan ini harus didobrak dengan menciptakan lapangan kerja melalui investasi,” ujarnya.
Bappenas mencatat, setiap kenaikan investasi sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,3 persen dengan penciptaan lapangan kerja rata-rata 0,16 persen dan penyerapan sekitar 75.000 tenaga kerja.
Secara terpisah, Chairman Creador Capital Group Darwin Cyril Noerhadi mengatakan, realisasi investasi asing langsung relatif stagnan, yaitu berkisar Rp 400 triliun. Hal ini karena investor yang berminat masuk ke Indonesia melihat tidak ada mitra yang cocok, terutama untuk investasi infrastruktur.
Stagnasi investasi asing langsung secara tidak langsung berimbas pada peningkatan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio utang diperkirakan meningkat dari 30 persen PDB pada 2019 menjadi 37-38 persen PDB pada 2020.
”Rasio utang meningkat karena pendanaan infrastruktur dibebankan ke BUMN,” ujarnya.
Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Tbk Destiawan Soewardjono, Senin, mengatakan, sejak 2014, nilai kontrak baru Waskita didominasi proyek strategis nasional dengan skema investasi dan skema pembayaran setelah proyek selesai (turnkey). Saat ini Waskita telah dan dalam proses menyelesaikan 44 proyek strategis nasional.
Karena skema pembayaran turnkey, Waskita harus mengandalkan fasilitas pinjaman perbankan dan obligasi dengan bunga komersial untuk memenuhi kebutuhan pendanaan. Beban penugasan pembangunan infrastruktur yang besar mengakibatkan utang berbunga meningkat signifikan.
”Rasio utang berbunga Waskita sudah mencapai 2,43 kali pada 2019. Padahal, batas maksimal rasio utang adalah 3 kali,” ujarnya.
Rasio utang berbunga Waskita sudah mencapai 2,43 kali pada 2019. Padahal, batas maksimal rasio utang adalah 3 kali.
Destiawan menyatakan, pendirian LPI penting bagi BUMN Karya. Dana kelolaan akan membantu neraca keuangan perusahaan yang saat ini dibebani banyak proyek infrastruktur nasional. BUMN Karya akan mendapat suntikan modal ketimbang harus meminjam ke bank atau memperoleh pendanaan dari obligasi.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menambahkan, pendirian LPI memang untuk mengatasi masalah pembiayaan infrastruktur. Selama ini pembangunan infrastruktur masih mengambil dana dari APBN ataupun BUMN sendiri. Padahal, kapasitas fiskal dalam negeri terbatas dan berisiko dalam jangka menengah panjang.
”LPI diharapkan menjadi sesuatu yang baru bagi Indonesia untuk mengumpulkan dana pembangunan,” ujar Arya.
LPI diharapkan menjadi sesuatu yang baru bagi Indonesia untuk mengumpulkan dana pembangunan.
Pendirian LPI diharapkan mampu menarik investasi langsung asing lebih banyak masuk ke dalam negeri, mencukupi kebutuhan pembiayaan infrastruktur, dan mengurangi defisit APBN. LPI akan memiliki otoritas penuh dalam pengambilan keputusan dan manajemen dana kelolaan investasi.
Di sektor industri jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mengawal program restrukturisasi kredit dan pembiayaan. Upaya ini untuk membantu masyarakat dan pelaku usaha, serta mencegah dampak pandemi Covid-19 yang lebih luas terhadap perekonomian dan sektor keuangan.
Hingga 30 November, total kredit restrukturisasi Covid-19 sebesar Rp 951,2 triliun dari sekitar 7,53 juta debitor di perbankan. Jumlah itu terdiri dari 5,80 juta debitor usaha kecil menengah (UKM) senilai Rp 382 triliun dan 1,73 juta debitor non-UKM senilai Rp 569,2 triliun. Adapun total restrukturisasi di perusahaan pembiayaan hingga 15 Desember sebesar Rp 188,3 triliun dari 4,94 juta kontrak dan di lembaga keuangan mikro Rp 26,4 miliar.
”Hingga November 2020, perbankan telah menyalurkan kredit baru sebesar Rp 146 triliun. Namun, pelunasan kredit dan hapus buku masih lebih besar dari kredit baru sehingga pertumbuhan kredit minus 1,39 persen secara tahunan,” kata Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo melalui siaran pers. (HEN)