Pemerintah dinilai perlu mengalkulasi secara cermat kebutuhan anggaran untuk vaksinasi gratis tahun 2021. Tanpa pemotongan atau realokasi, atau hasil pemotongan tak cukup, pemerintah mesti menambah utang negara.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain efektivitas dan distribusi, masalah krusial dalam pelaksanaan program vaksinasi gratis adalah terkait alokasi anggaran. Pemerintah diminta mengalkulasi secara cermat kebutuhan dan sumber anggaran untuk program vaksinasi gratis tahun 2021.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, program vaksinasi gratis bukan solusi akhir memperbaiki perekonomian yang porak-poranda akibat Covid-19. Namun, program vaksinasi akan memberikan sinyal kemajuan dalam penanganan Covid-19.
Di luar perdebatan tentang efektivitas dan skema distribusi vaksin, salah satu hal paling krusial dalam pelaksanaan vaksinasi gratis 2021 adalah anggaran. Program vaksinasi membutuhkan anggaran cukup besar. Dari hitungan Indef, alokasi yang dibutuhkan untuk mengakses 250-300 juta dosis vaksin mencapai Rp 110 triliun hingga Rp 120 triliun.
”Hal yang cukup krusial, anggaran vaksin dari mana dalam situasi ini. Mau tidak mau, terpaksa harus memotong anggaran atau realokasi belanja kementerian/lembaga yang besar,” kata Tauhid dalam diskusi catatan akhir tahun Indef bertema ”Vaksin Datang, Ekonomi Melaju Kencang?”, Rabu (23/12/2020).
Pemotongan atau realokasi anggaran utamanya dapat dilakukan dari belanja kementerian/lembaga yang meningkat signifikan dari tahun 2020 ke 2021, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menjadi Rp 149,8 triliun, Kementerian Pertahanan Rp 136,99 triliun, dan Kepolisian Negara RI Rp 111,9 triliun.
Tauhid mengatakan, pemotongan dan realokasi anggaran mesti dibarengi perubahan postur anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) tahun 2021. Alokasi anggaran infrastuktur untuk mendukung vaksinasi, imunisasi pasca-vaksin, dan pengecekan lab perlu ditingkatkan.
Pada 2021, alokasi anggaran PC-PEN mencapai Rp 372,3 triliun, lebih rendah dibandingkan tahun 2020 yang mencapai Rp 695,2 triliun. PC-PEN 2021 dialokasikan untuk bidang kesehatan, perlindungan sosial, dukungan UMKM, bantuan sektoral bagi kementerian/lembaga dan pemda, pembiayaan korporasi, dan insentif usaha.
”Jika tidak dilakukan pemotongan atau realokasi anggaran, atau hasil pemotongan dan realokasi tidak cukup, pemerintah terpaksa harus menambah utang negara,” ujar Tauhid.
Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sejauh ini alokasi anggaran untuk program vaksinasi belum diubah. Program vaksinasi dialokasikan dari cadangan anggaran Rp 18 triliun dan ditambah sisa anggaran PC-PEN bidang kesehatan tahun 2020 sebesar Rp 36,44 triliun.
”Karena belum jelas berapa banyak, harganya, kami belum menemukan angkanya hari ini (program vaksinasi). Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan BUMN untuk melihat keseluruhan kebutuhan anggaran,” kata Sri Mulyani.
Selain dari PC-PEN, anggaran vaksinasi gratis juga bisa bersumber dari belanja kementerian/lembaga dan pemda. Presiden telah menginstruksikan agar vaksinasi gratis menjadi agenda prioritas semua kementerian/lembaga dan pemda sehingga pemotongan atau realokasi mungkin dilakukan.
Akar masalah
Dalam kesempatan yang sama, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menuturkan, ekonomi belum tentu melaju kencang kendati vaksin sudah ditemukan dan didistribusikan. Hal ini karena akar masalah perekonomian ada pada konsumsi rumah tangga dan investasi.
Sejauh ini, belum bisa dipastikan vaksin dapat mendorong pertumbuhan konsumsi atau meningkatkan investasi. Padahal, kontribusi konsumsi dan investasi terhadap perekonomian RI mencapai 80 persen dan tidak akan berubah dalam jangka pendek. Pemerintah juga harus realistis tidak semua sektor langsung pulih pasca-vaksinasi.
Ekonomi belum tentu melaju kencang kendati vaksin sudah ditemukan dan didistribusikan.
”Walaupun Indonesia mengalami kontraksi ekonomi lebih kecil dibandingkan negara tetangga, dampak Covid-19 terhadap struktur keternagakerjaan dan perekonomian harus dilihat detail,” ujar Enny.
Di sisi lain, kebijakan Presiden Joko Widodo menganti sejumlah menteri dan wakil menteri belum tentu berdampak positif bagi pemulihan ekonomi. Pemulihan ekonomi membutuhkan terobosan dan langkah-langkah taktis dalam penanganan Covid-19 yang dapat dilakukan kalangan profesional bukan politikus.
Secara terpisah, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro berpendapat, reshuffle kabinet akan berdampak positif ke perekonomian apabila jajaran menteri dan wakil menteri baru dapat mengatasi berbagai permasalahan kesehatan akibat Covid-19. Pasalnya, laju perekonomian domestik saat ini membutuhkan kepercayaan dari pelaku ekonomi.
Konsumsi rumah tangga saat ini masih tertahan karena kekhawatiran eskalasi kasus Covid-19. Jika masalah kesehatan ini mampu diatasi, kepercayaan masyarakat untuk mengembalikan konsumsi ke level normal akan pulih.
”Kalau reshuffle kabinet mampu menghasilkan dampak dalam kesehatan, kepercayaan pasar akan terdorong sehingga dampak ke perekonomian meningkat,” kata Andry.