Iklim investasi tak cukup dibenahi dari sisi regulasi, tetapi juga struktur ekonomi. Investasi berteknologi tinggi penting, tetapi jangan lupakan para pengangguran usia kerja yang membutuhkan tempat menyambung hidup.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Sejak lama, ekonomi Indonesia mengidap sakit bawaan yang mungkin akan sulit disembuhkan. Kedua ”penyakit” itu adalah ketergantungan terhadap investor asing di pasar saham dan keuangan, serta impor.
Saat ekonomi global bergejolak, ”penyakit bawaan” itu kambuh. Tentu saja dengan kadar infeksi dan dampak yang beragam bergantung pemicu gejolak. Gejolak ekonomi global akibat perang dagang Amerika Serikat-China dan Brexit yang kuat bergulir dua tahun belakangan kerap membuat penyakit ini kambuh.
Belum tuntas persoalan itu, pandemi Covid-19 datang membawa Indonesia masuk jurang resesi. ”Penyakit bawaan” Indonesia makin terang terlihat. Dana panas pemodal asing masuk dan keluar pasar keuangan domestik sehingga berpengaruh pada transaksi modal. Impor yang turun tajam menjadi penanda industri dan permintaan dari dalam-luar negeri masih lesu. Anomali terjadi. Transaksi berjalan yang selalu defisit menjadi surplus.
Kebutuhan pembiayaan juga semakin membengkak. Setidaknya, untuk program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekononi Nasional (PC-PEN) 2020, dana yang digulirkan Rp 695,5 triliun. Kalau pandemi tidak terjadi, dana program ini pun tidak akan ada. Kebutuhan pembiayaan yang tinggi ini akan berujung pada peningkatan utang luar negeri Indonesia.
Kementerian Keuangan mencatat, per akhir September 2020, total utang pemerintah mencapai Rp 5.756,87 triliun atau sebesar 36,41 persen terhadap produk domestik bruto. Total utang itu terdiri dari pinjaman sebesar Rp 864,29 triliun dan total hasil penerbitan surat berharga negara (SBN) Rp 4.892,57 triliun. Pada akhir tahun ini, dengan ragam penghitungan kebutuhan pembiayaan, ABPN diperkirakan defisit sebesar Rp 1.039,2 triliun atau sekitar 6,34 persen.
Saat ekonomi global bergejolak, ’penyakit bawaan’ itu kambuh. Tentu saja dengan kadar infeksi dan dampak yang beragam bergantung pemicu gejolak.
Guna membangun imunitas ekonomi nasional, aneka macam ”vaksin” dalam program PC-PEN disuntikkan. Gelontoran dana besar mengalir demi membangun perlindungan sosial, serta menjaga ketahanan pelaku usaha dan industri. Tak terkecuali paket ”vaksin super” bagi badan usaha milik negara (BUMN) senilai total Rp 152 triliun. Dari nilai tersebut, sekitar Rp 90 triliun adalah akumulasi utang pemerintah pada sejumlah BUMN yang belum dibayarkan sejak 3-4 tahun.
Pandemi juga dijadikan momentum untuk menyembuhkan ”penyakit kronis” BUMN, seperti PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Penyelamatan Jiwasraya dilakukan melalui pembentukan Indonesia Financial Group (IFG) dan anak perusahaannya IFG Life yang akan mendapatkan penyertaan modal negara Rp 22 triliun dalam dua tahap. Adapun Garuda Indonesia melalui penerbitan obligasi wajib konversi (mandatory convertible bond) senilai Rp 8,5 triliun yang akan dibeli PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero).
Tak cukup itu saja, pandemi juga menjadi saksi mata golnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Janji manis pemerintah, menciptakan lapangan kerja melalui investasi, digulirkan di tengah pemutusan hubungan kerja yang menambah pengangguran dan pekerja informal.
Badan Pusat Statistik dalam Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020 juga menunjukkan, Covid-19 berimbas pada sektor ketenagakerjaan. Sebanyak 29,12 juta orang atau 14,28 persen dari 203,97 juta orang penduduk usia kerja terdampak pandemi.
Jumlah pengangguran meningkat 2,56 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Jumlah pekerja formal turun 39,53 persen menjadi 50,77 juta orang dari total 128,45 juta penduduk yang bekerja. Sebaliknya, jumlah pekerja informal melonjak 60,47 persen menjadi 77,68 juta orang.
Kehadiran vaksin Covid-19 memang menjadi asa mengakhiri era pandemi Covid-19 di Indonesia. Ekonomi akan turut bergerak. Namun, hati-hati. Jangan sampai terjebak pada euforia vaksin. Kedatangan salah satu vaksin Covid-19, Sinovac, berpotensi memicu mobilitas masyarakat pada akhir tahun ini kendati pemerintah telah memangkas masa libur panjang.
Jika pergerakan itu terjadi, kasus Covid-19 berpotensi meningkat. Tren pemulihan ekonomi akan kembali tersendat. Pengeluaran finansial negara akan semakin membengkak.
Jika pergerakan itu terjadi, kasus Covid-19 berpotensi meningkat. Tren pemulihan ekonomi akan kembali tersendat. Pengeluaran finansial negara akan semakin membengkak.
Ekonomi bersyarat
Tahun depan, imunitas ekonomi nasional perlu dibangun secara bertahap. Bank Indonesia (BI) telah menelurkan strategi pemulihan. Ekonomi jangan pendek dan menengah bisa pulih bersyarat. Ekonomi Indonesia pada 2021 bisa tumbuh pada kisaran 4,8 persen hingga 5,8 persen. Namun, hal ini hanya bisa terjadi dengan syarat vaksinasi dan disiplin protokol Covid-19 dijalankan optimal sehingga mata rantai penularan Covid-19 di Indonesia bisa terputus.
Langkah itu perlu diikuti dengan lima kebijakan strategis yang mencerminkan sinergi lintas pemangku kepentingan. Kelima kebijakan strategis itu adalah membuka secara bertahap sektor produktif, percepatan realisasi stimulus fiskal, ekspansi kredit perbankan, stimulus moneter dan makroprudensial yang akomodatif, serta digitalisasi ekonomi dan keuangan.
Namun, jangan lupakan ”penyakit bawaan” Indonesia, risiko pembengkakan utang luar negeri, dan janji-janji manis pemerintah. Benahi struktur ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada dana panas investor asing dan impor. Realisasikan juga penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor industri padat karya dengan peta jalan serapan tenaga kerja yang jelas.
Napas utama UU Cipta Kerja adalah memperbaiki iklim investasi langsung ke sektor riil di Indonesia dan menciptakan lapangan kerja, bukan ’mendepak’ pekerja.
Napas utama UU Cipta Kerja adalah memperbaiki iklim investasi langsung ke sektor riil di Indonesia dan menciptakan lapangan kerja, bukan ”mendepak” pekerja. Oleh karena itu, iklim investasi tak cukup dibenahi dari sisi regulasi, tetapi juga struktur ekonomi. Di sisi lain, investasi berteknologi tinggi penting, tetapi jangan lupakan para pengangguran usia kerja yang membutuhkan tempat menyambung hidup.
Semoga ”vaksin” imunitas atau minimal ”vaksin” ketahanan dan kelenturan ekonomi Indonesia diracik dengan baik. Bukan justru dikomersialisasikan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.