Ritel Konvensional Perlu Diawasi untuk Tekan Perokok Anak
Peritel konvensional seperti toko dan warung tradisional masih menjadi tempat yang mudah dijangkau anak di bawah umur untuk mendapatkan rokok. Pengawasan berbagai pihak penting untuk menekan angka perokok anak.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peritel konvensional seperti toko dan warung tradisional masih menjadi tempat yang mudah dijangkau anak di bawah umur untuk mendapatkan rokok. Pengawasan berbagai pihak penting untuk menekan angka perokok anak yang terus meningkat.
Merujuk Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah perokok Indonesia mencapai 33 persen jumlah penduduk, yang berarti 1 dari 3 orang merupakan perokok. Sementara jumlah perokok anak usia 10-18 tahun mencapai 9,1 persen, naik dari sekitar 7,2 persen pada tahun 2013.
Sesuai Kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 terkait Produk Tembakau, pemerintah menargetkan untuk menekan jumlah perokok anak hingga 8,7 persen. Hal ini pun didukung semua pihak, termasuk pelaku industri rokok dan peritel.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey dalam konferensi virtual ”Komitmen Tekan Perokok Anak Lewat Aksi Kolaborasi Lintas Platform”, Selasa (16/12/2020), menilai pengawasan di hilir penting dalam upaya mengurangi perokok anak.
Ia menyebut, 45.000 toko ritel modern, mulai dari hipermarket hingga minimarket, sudah melaksanakan pembatasan penjualan rokok lewat peletakan rak khusus rokok di dekat kasir. Mekanisme tersebut dilakukan agar petugas kasir dapat mengawasi pembeli di bawah umur.
Sayangnya, mekanisme tersebut masih sulit dilakukan di gerai ritel konvensional, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 3,6 juta di seluruh Indonesia. ”Kami berharap mekanisme pengawasan ini juga terjadi di warung lapak pasar tradisional karena jumlahnya lebih banyak. Kami harapkan pengawasan lebih berkesinambungan,” ujarnya.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Atong Soekirman pada kesempatan yang sama juga menyoroti pentingnya pengawasan penjualan rokok batangan yang banyak dilakukan peritel konvensional.
Penjualan eceran secara batangan disebut memudahkan anak mengakses rokok. Di satu sisi, penjualan rokok secara eceran tanpa pita cukai atau tanda pelunasan cukai, yang biasa dilekatkan pada kemasan bungkus rokok, adalah ilegal sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
”Ini kembali lagi ke pengawasan penjual dan masyarakat pada umumnya. Perlu ada langkah konkret dan mekanisme yang dibangun untuk meningkatkan kesadaran di hilir,” ujarnya.
Ia pun mengingatkan agar setiap pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan masyarakat, mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. PP tersebut mengatur pembinaan dan pengawasan penggunaan rokok dan tembakau, termasuk untuk golongan dilindungi, yaitu anak dan perempuan hamil.
Kolaborasi untuk pembinaan dan pengawasan tentu diperlukan untuk mengendalikan perokok anak. Hari ini, Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) melalui ”Komitmen Tekan Perokok Anak Lewat Aksi Kolaborasi Lintas Platform” mengajak berbagai pihak untuk mendukung usaha melindungi anak dan remaja dari dampak rokok.
Ketua Gaprindo Muhaimin Moeftie mengatakan, pelaku industri hasil tembakau berupaya terus melakukan upaya pengendalian yang sampai saat ini diakui belum efektif. ”Sebagai pelaku usaha, kami tidak ingin lepas tangan,” ujarnya.
Gaprindo pun meluncurkan platform daring www.cegahperokokanak.id. Situs tersebut diharapkan dapat membantu menyebarluaskan kampanye edukasi pengendalian jumlah perokok anak kepada publik.
Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany, yang dihubungi Kompas sebelumnya, mengatakan, baik pemerintah maupun swasta juga perlu menguatkan pendidikan di keluarga. ”Pendidikan keluarga sampai saat ini belum benar-benar ditegakkan,” katanya.
Mengutip Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2013, anggota keluarga menjadi salah satu determinan perilaku merokok, selain faktor tingkat pengetahuan, teman sebaya, iklan rokok, dan sikap. Badan Pusat Statistik juga mencatat, 4,53 persen perokok memiliki keluarga perokok dibanding hanya 2,58 persen yang tidak memiliki anggota perokok.
Selain edukasi, Hasbullah menyebut kenaikan cukai juga dapat berkontribusi menekan perilaku perokok. Seperti diketahui, tahun ini pemerintah menaikkan cukai rokok rata-rata 23 persen. Tahun depan kenaikan cukai rokok disepakati 12,5 persen. Kenaikan cukai akan mengerek harga jual rokok.
Kenaikan cukai rokok dua kali lipat tahun ini, akibat tidak adanya kenaikan cukai pada 2019, dan pandemi Covid-19 disebut memengaruhi pertumbuhan industri pengolahan tembakau. Pada triwulan ketiga 2020, Kemenko Perekonomian mencatat pertumbuhannya negatif 5,19 persen secara tahunan.
”Pada triwulan pertama 2020, pertumbuhannya masih 3,49 persen. Pascapandemi, di triwulan kedua sempat minus 10,84 persen,” kata Atong.
Dari sisi ritel, Roy melaporkan, kontribusi penjualan rokok terhadap penjualan seluruh produk di toko ritel modern tergerus selama pandemi. Jika sebelumnya kontribusi penjualan rokok berkisar 0,41-0,5 persen, saat pandemi hanya 0,24-0,3 persen.
Di satu sisi, industri pengolahan tembakau berkontribusi besar pada perekonomian nasional. Hal ini disampaikan Abdul Rochim selalu Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian.
”Banyak industri hasil tembakau multinasional berinvestasi di Indonesia untuk mengekspor produknya. Produk ekspor industri hasil tembakau menyumbang devisa lebih dari 900 juta dollar AS per tahun, membuat Indonesia menjadi negara eksportir hasil tembakau nomor enam terbesar di dunia,” katanya.
Selain itu, industri hasil tembakau juga menyerap sekitar 650.000 tenaga kerja serta melibatkan jutaan pelaku usaha dan tenaga kerja di sektor distribusi dan ritel. Industri hasil tembakau di dalam negeri menyerap seluruh produksi tembakau dan 90 persen produksi cengkeh nasional.