Harga Terus Naik, Konsumsi Rokok Tetap Tinggi
Pandemi Covid-19 di 2020 membuat banyak masyarakat mengurangi konsumsi produk dan jasa dari berbagai sektor. Namun, tampaknya tidak banyak yang rela mengurangi konsumsi rokok dan tembakau demi keuangan dan kesehatan.
Pandemi yang melanda dunia, termasuk Indonesia, di 2020 berdampak besar pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Banyak masyarakat mengurangi konsumsi produk dan jasa dari berbagai sektor karena keterbatasan ruang gerak hingga penghasilan.
Namun, tampaknya tidak banyak yang rela mengurangi konsumsi rokok mereka di tengah krisis kesehatan dan ekonomi akibat Covid-19. Selain pandemi, kenaikan cukai rata-rata 23 persen dan harga jual eceran rokok 35 persen pada tahun ini juga belum berdampak signifikan pada pengurangan konsumsi rokok.
Supriyadi (55), pedagang bajigur keliling di daerah Kramatjati, Jakarta Timur, bahkan kembali merokok setelah beberapa tahun berhenti. Tiga bulan lalu, ia tergoda menjadi perokok lagi karena pengaruh teman-temannya.
”Rokok sehari enggak banyak, sih. Paling lima batang aja. Biasanya ngerokok habis makan atau kalau lagi sepi nunggu pembeli,” ujarnya saat ditemui pada Selasa (15/12/2020).
Ia mengatakan pernah berhenti merokok karena tuntutan ekonomi. Penghasilannya sebagai pedagang bajigur tidak sebesar saat ia dulu menjadi pedagang buah di pasar.
Dengan penghasilan yang tidak seberapa, terlebih karena penjualan masih sepi karena pandemi, ia mengaku hanya mampu membeli rokok keretek eceran. Pria dua anak itu juga menyadari harga rokok terus naik. Namun, pengaruh lingkungan begitu besar.
Hal sama juga dirasakan Herman (39). Pria yang bekerja sebagai tukang ojek itu mengaku tidak bisa mengurangi rokok kendati pendapatan berkurang sejak awal pandemi. Sebelumnya, ia biasa mengonsumsi rokok 10-12 batang rokok keretek filter per hari.
”Sekarang karena pemasukan berkurang, saya ngelinting rokok sendiri. Beli lebih murah, satu ons tembakau kering bisa jadi ratusan batang,” katanya yang beralih ke rokok linting karena mengikuti kawannya.
Baca juga : Transaksi Rokok Ilegal Tetap Tinggi Selama Pandemi
Kenaikan cukai dan harga eceran rokok tahun ini juga tidak jadi pertimbangan besar untuk beralih atau mengurangi rokok. Damar (27), pekerja swasta, yang biasa mengonsumsi rokok keretek, sebenarnya sudah merasakan kenaikan harga rokok.
Sebungkus rokok isi 16 batang yang biasa ia konsumsi per hari sejak awal tahun hingga kini mengalami kenaikan Rp 1.500. Kenaikan itu bahkan tidak menjadi masalah kendati pendapatannya sebagai pekerja media menurun akibat pandemi.
”Saya akan tetap beli, sih, karena ini soal selera, ya. Kalau harga rokok sudah sampai Rp 50.000 mungkin baru beralih ke yang lain atau berhenti,” ujarnya.
Santi (26), yang merokok sejak duduk di bangku sekolah menengah, juga akan berpikir ulang ketika harga rokok yang ia sukai sudah menyentuh harga Rp 30.000 lebih sebungkus. Perempuan yang biasa mengonsumsi rokok putih itu sejauh ini masih bisa menoleransi kenaikan harga kurang dari Rp 5.000.
”Saya biasanya cari rokok yang harganya sesuai kantong juga. Jadi, kalau rokok yang sekarang saya konsumsi naik, saya bakal cari rokok lain yang lebih murah,” katanya.
Tetap tinggi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi tiga jenis rokok, yakni keretek, keretek filter, dan putih, cenderung mengalami inflasi pada 2020.
Pada Januari 2020, terjadi lonjakan inflasi pada rokok keretek 3,03 persen, rokok keretek filter (1,77 persen), dan rokok putih (4,36 persen). Pada November 2020, inflasi rokok keretek 0,06 persen, rokok keretek filter 0,11 persen, dan rokok putih 0,49 persen.
”Ketika rokok masih inflasi, itu indikasi bahwa permintaan masih tinggi di tengah daya beli yang menurun,” ujar Yusuf Rendy Manilet, ekonom Center of Reform on Economic (CORE).
Tren inflasi rokok lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi secara keseluruhan yang sebesar 0,07 persen pada Oktober 2020 dan 0,28 persen pada November 2020. Selama periode Juli hingga September 2020, indeks harga konsumen mengalami deflasi.
Padahal, konsumsi rumah tangga, yang mengindikasikan daya beli masyarakat, terkontraksi sejak triwulan II-2020. Pada triwulan kedua, konsumsi rumah tangga terkontraksi -5,51 persen secara tahunan, sedangkan pada triwulan III-2020 terkontraksi -4,04 persen.
Inflasi rokok diprediksi berlanjut di 2021. Februari tahun depan, pemerintah berencana menaikkan kembali cukai rokok rata-rata 12,5 persen. Kenaikan cukai itu akan dikenakan pada rokok jenis keretek dan putih mesin. Sementara rokok buatan tangan tidak dikenai kenaikan untuk melindungi pekerja di industri rokok.
Baca juga : Dorong Kenaikan Cukai Rokok Lebih Agresif
Langkah tepat
Seperti diketahui, konsumsi rokok menempati urutan kedua pengeluaran per kapita per bulan masyarakat Indonesia.
Pada 2019, persentase pengeluaran masyarakat per kapita per bulan untuk rokok dan tembakau 6,05 persen. Di urutan pertama ditempati makanan dan minuman jadi 17,26 persen. Di urutan ketiga ada padi-padian 5,57 persen.
Yusuf Rendy menilai, pemerintah sudah tepat membuat kebijakan cukai untuk menekan prevalensi merokok secara bertahap. Namun, kebijakan komprehensif dengan memerhatikan aspek lain yang mungkin terdampak langsung juga harus dipertimbangkan.
”Kalau terlalu agresif, pemerintah akan berhasil menurunkan konsumsi rokok, tetapi di sisi lain juga berpotensi menimbulkan gejolak harga. Selain itu, industri rokok ini kan juga menyerap banyak tenaga kerja, solusi untuk mereka juga harus dipikirkan," pungkas Rendy.
Hal senada juga disampaikan, Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany. Menurut dia, pemerintah sudah di jalur yang benar dengan terus mengevaluasi kebijakan cukai serta membuat beragam kebijakan lain untuk menekan perilaku merokok, seperti pengaturan kemasan hingga pembatasan area merokok.
”Kenaikan cukai sudah jadi preseden cukup bagus. Tetapi, mungkin anginnya belum cukup keras untuk membuat orang kapok merokok,” ujarnya.
Menurut studi yang ia lakukan bersama tim di Universitas Indonesia, masyarakat Indonesia baru mau mengurangi atau berhenti merokok jika harga sebungkus rokok mencapai Rp 70.000. Namun, melihat banyaknya kepentingan dalam industri rokok dan tembakau, kebijakan drastis akan sulit dilakukan.
Indonesia telah membuat peta jalan untuk menghadirkan kebijakan lain dalam menekan konsumsi rokok. Rencana kebijakan yang dibuat, antara lain, simplifikasi harga dan varian rokok.
”Cukai rokok memang cara efektif, tetapi bukan satu-satunya. Kita masih harus lebih tegas untuk tidak menjual rokok, terutama ke anak-anak. Pendidikan keluarga juga perlu dan ini perlu kerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah,” tuturnya.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi perokok di atas usia 15 tahun mencapai 33,8 persen dan penduduk usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Secara kelompok pendapatan, perokok di Indonesia banyak dari kalangan kelompok pendapatan rendah, seperti nelayan yang mencapai 70,4 persen dan petani atau buruh 46,2 persen.
Sebanyak 357 miliar batang rokok yang diproduksi di 2019 diperkirakan bernilai sekitar Rp 400 triliun jika harga rokok per batang rata-rata Rp 1.200.
Perilaku merokok yang meningkat juga berkolerasi pada peningkatan penyakit tidak menular (PTM). Penyakit komorbid terkait sistem kardiovaskular, jantung, hipertensi, diabetes, dan paru-paru, kerap berkaitan dengan kebiasaan merokok.