Langkah pemerintah melegalkan kembali penggunaan cantrang menuai sejumlah reaksi. Aturan bisa berubah-ubah 180 derajat tergantung siapa yang menjadi menteri dan menteri berteman dengan siapa.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akhirnya melegalisasi kembali penggunaan cantrang dan sejenisnya di wilayah pengelolaan perikanan RI. Dalam kurun empat dekade terakhir, aturan penggunaan alat tangkap sejenis pukat hela dan pukat tarik ini dilarang, diizinkan, dilarang, dan kini kembali diizinkan.
Legalisasi penggunaan cantrang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas yang terbit pada 18 November 2020. Peraturan ini sekaligus menganulir Permen KP No 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seint net).
Dalam Permen KP No 59/2020, alat tangkap yang kembali diizinkan beroperasi antara lain adalah pukat tarik, cantrang, dogol dan sejenisnya, pukat ikan, dan pukat hela dasar udang. Kebijakan ini sekaligus menambah daftar panjang berubah-ubahnya aturan pemerintah dalam membuka dan melarang penggunaan alat tangkap jenis trawl dan alat tangkap lain yang berpotensi merusak.
”Perubahan aturan penangkapan ikan ini menunjukkan buruknya tata kelola perikanan dan inkonsistensi kebijakan. Hal ini akan merugikan nelayan, pelaku usaha, dan ancaman bagi keberlanjutan sumber daya ikan,” kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, Senin (14/12/2020).
Perubahan aturan penangkapan ikan ini menunjukkan buruknya tata kelola perikanan dan inkonsistensi kebijakan. Hal ini akan merugikan nelayan, pelaku usaha, dan ancaman bagi keberlanjutan sumber daya ikan.
Pada 1980, pemerintah pernah menerbitkan Keputusan Presiden No 39/1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Penghapusan itu dilakukan secara bertahap di wilayah Jawa, Bali dan Sumatera. Selain itu, pengurangan trawl di wilayah perairan lainnya menjadi maksimum 1.000 trawl.
Selanjutnya, pemerintah membuka kembali penggunaan cantrang, pukat hela dan sejenisnya di perairan Indonesia pada 2011. Legalisasi itu diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 11/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Ketentuan itu disahkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad.
Dengan diizinkannya operasional alat tangkap trawl dan sejenisnya, penggunaan alat tangkap tersebut berkembang pesat di sejumlah wilayah, terutama di Jawa dan Sumatera.
Pada 2016, pemerintah menerbitkan Permen KP No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Ketentuan yang diterbitkan Menteri Susi Pudjiastuti itu melarang penggunaan jenis alat tangkap yang mengganggu dan merusak kelestarian sumber daya alam, meliputi pukat tarik, cantrang, dogol, dan lampara dasar. Selain itu, larangan pukat hela, pukat ikan, serta perangkap ikan peloncat.
Abdi menilai perubahan aturan seharusnya dilakukan secara hati-hati dengan pertimbangan teknis yang matang. Beroperasinya kapal cantrang di sejumlah wilayah terbukti telah memicu konflik antarnelayan. Inkonsistensi aturan dinilai merupakan preseden buruk pada tata kelola perikanan.
”Aturan bisa berubah-ubah 180 derajat tergantung siapa yang menjadi menteri dan menteri berteman dengan siapa,” kata Abdi.
Aturan bisa berubah-ubah 180 derajat tergantung siapa yang menjadi menteri dan menteri berteman dengan siapa.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Mohammad Zaini mengemukakan, kapal-kapal dengan alat tangkap cantrang dan sejenisnya hingga kini masih terus beroperasi meskipun ada pelarangan terhadap alat tangkap tersebut. Oleh karena itu, pemerintah kini menata penggunaan cantrang dan mengawasinya secara ketat.
Penataan cantrang itu meliputi jumlah kapal yang dibolehkan menggunakan cantrang, jalur penangkapan, ukuran kapal, dan sanksi terhadap pelanggaran. Izin cantrang hanya diberikan untuk kapal-kapal yang sudah ada dan tidak boleh diberikan kepada kapal baru.
”Kita legalkan saja, tetapi tidak boleh (alat tangkap) bertambah. Alat tangkap yang ada ditata dan tidak boleh ada (penambahan kapal cantrang) yang baru. (Izin) dibuka, tetapi diawasi,” katanya.
Kita legalkan saja, tetapi tidak boleh (alat tangkap) bertambah. Alat tangkap yang ada ditata dan tidak boleh ada (penambahan kapal cantrang) yang baru. (Izin) dibuka, tetapi diawasi.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon Budi Laksana meragukan upaya pengawasan pemerintah terhadap penggunaan cantrang, trawl, dan sejenisnya. Ia mengaku tidak yakin kapal cantrang hanya akan beroperasi di zona ekonomi eksklusif Indonesia karena operasional kapal cantrang selama ini merambah ke zona tangkapan nelayan kecil dan tradisional.
”Penggunaan alat tangkap yang sudah dilarang karena merusak, lalu dibolehkan lagi, menimbulkan kesan pemerintah main-main. Kebijakan ini sangat membingungkan dan menghilangkan rasa percaya nelayan kecil terhadap pemerintah,” katanya.