Koperasi Syariah Potensial
Pengembangan koperasi syariah dinilai potensial menjangkau masyarakat yang belum terjangkau layanan perbankan. Undang-Undang Cipta Kerja mempertegas kelembagaannya.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan koperasi syariah. Sistem ekonomi koperasi dapat menjangkau kelompok masyarakat kecil yang selama ini belum terjangkau oleh layanan perbankan.
Asisten Deputi Pembiayaan Syariah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RR Rini Megawarti menyatakan, sistem ekonomi koperasi kini dibedakan antara konvensional dan syariah. Koperasi konvensional memperoleh nilai tambah dari uang yang dipinjam, sementara koperasi syariah mengedepankan bagi hasil dan manfaat uang.
”Saat ini ada sekitar 4.000 koperasi syariah di Indonesia dan diperkirakan terus berkembang,” kata Rini dalam webinar Indonesia Islamic Festival 2020 yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Dyandra Promosindo, Jumat (12/12/2020).
Koperasi syariah memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena sesuai dengan karakteristik penduduk Indonesia. Sistem ekonomi koperasi menyasar masyarakat kecil yang memiliki keterbatasan modal dan minim akses ke layanan keuangan formal. Ditambah konsep ekonomi syariah yang berlandaskan hukum Islam.
Menurut Rini, pemerintah akan memperkuat posisi koperasi syariah sebagai bagian dari pengembangan ekonomi dan keuangan syariah nasional. Penguatan koperasi syariah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Syarat pendirian koperasi dipermudah dari semula harus beranggotakan 20 orang menjadi 9 orang.
Selain itu, Undang-Undang Cipta Kerja mempertegas kelembagaan koperasi syariah sebagai usaha berbadan hukum. Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah setara dengan pengurus dan pengawas.
”Dewan Pengawas Syariah berperan independen, tidak diangkat oleh pengurus ataupun pengawas,” ujar Rini.
Dalam laporan ekonomi Islam global 2020/2021 yang dirilis DinarStandard, perusahaan riset yang berbasis di Dubai dan New York, disebutkan, peringkat indikator ekonomi Islam global Indonesia naik dari posisi ke-10 pada 2018, lalu ke-5 (2019), dan ke-4 pada 2020 dari 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Kenaikan peringkat global belum dibarengi peningkatan aset keuangan syariah yang signifikan. Aset keuangan syariah Indonesia menempati peringkat ke-17 dengan nilai 99,2 miliar dollar AS. Aset Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia 570,5 miliar dollar AS, Qatar 143,9 miliar dollar AS, dan Kuwait 132,3 miliar dollar AS.
Segmen koperasi
Ketua Lembaga Perekonomian PBNU Jaenal Effendi menambahkan, pengembangan koperasi syariah secara otomatis meningkatkan aset keuangan syariah Indonesia. Koperasi syariah memiliki pasar tersendiri yang bukan segmen industri keuangan bank. Salah satunya pekerja sektor pertanian berpendapatan rendah.
Akan tetapi, pengembangannya dihadapkan pada tantangan kemajuan teknologi dan aneka program pembiayaan mikro. Oleh karena itu, kompetensi sumber daya koperasi mesti ditingkatkan. Tidak hanya di bidang manajemen, tetapi juga pengetahuan seputar industri koperasi syariah. ”Prospek dan tantangan koperasi syariah luar biasa,” ujarnya.
Jaenal menambahkan, strategi pengembangan koperasi syariah bisa berdasarkan segmen usia. Pengurus koperasi didorong membuat produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan anggota. Kebutuhan anggota berusia 18-23 tahun, misalnya, adalah perlengkapan sekolah dan tabungan belajar. Sementara kebutuhan anggota berusia 56-60 tahun adalah perlengkapan haji, menikahkan anak, atau layanan investasi.
Selain itu, pemerintah juga perlu merancang skema untuk menyinergikan koperasi syariah dengan sumber pembiayaan dari perbankan dan kementerian/lembaga. Sinergi dibutuhkan untuk memperkuat sistem permodalan usaha mikro serta menanggulangi kemiskinan dan memperluas lapangan usaha.
Advisor Group Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Maskum menambahkan, pengembangan ekonomi dan keuangan syariah harus terus dibarengi literasi dan edukasi masyarakat. Literasi keuangan, terutama untuk produk syariah di Indonesia, masih sangat rendah.
Berdasarkan data OJK, indeks literasi keuangan syariah masih 38 persen dan indeks literasi keuangan digital 36 persen. Angka ini jauh di bawah indeks inklusi keuangan di Indonesia yang telah mencapai 76,19 persen dengan tingkat literasi keuangan 38,03 persen pada 2019.