Tekan Disparitas Harga, Pemilik Muatan Antarpulau Wajib Lapor
Kewajiban melapor itu saat ini baru berlaku untuk pemilik muatan yang mendistribusikan barang pokok dan barang penting. Namun, per 10 November 2021, kewajiban itu berlaku untuk semua pelaku usaha dan pelabuhan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mewajibkan semua pemilik muatan untuk melaporkan daftar muatan barang yang diperdagangkan dan didistribusikan antarpulau. Kebijakan itu diyakini dapat mengatasi masalah klasik disparitas harga serta kelangkaan barang atau komoditas antarwilayah.
Kewajiban baru itu tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antarpulau yang diumumkan Kementerian Perdagangan, Kamis (10/12/2020). Lewat peraturan itu, semua pemilik muatan barang yang diperdagangkan antarpulau wajib melengkapi daftar muatan atau manifes domestik.
Manifes domestik adalah dokumen yang berisi data perdagangan antarpulau yang disampaikan pemilik muatan secara dalam jaringan melalui Sistem Indonesia National Single Window (SINSW). Daftar itu harus memuat setidaknya data tentang pemilik muatan, barang yang diperdagangkan, pengangkutan barang yang diperdagangkan, dan penerima muatan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto mengatakan, kewajiban melapor baru berlaku bagi pemilik muatan yang mendistribusikan barang pokok dan barang penting, termasuk barang asal impor atau barang tujuan ekspor yang singgah di pelabuhan domestik. Kewajiban itu juga baru berlaku untuk barang yang dimuat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Namun, per 10 November 2021, kewajiban itu akan berlaku untuk semua. ”Tentu sekarang masih masa transisi selama satu tahun. Nantinya, semua barang dan komoditas, semua pemilik muatan, dan semua pelabuhan wajib mendaftarkan barang yang dikirim lintas pulau. Semua harus tercatat,” katanya dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta.
Ia menambahkan, penyampaian laporan daftar manifes oleh pelaku usaha cukup dilakukan satu kali melalui SINSW sebelum barang dimuat ke kapal. Data yang disampaikan sudah langsung terhubung dengan Sistem Informasi Perizinan Terpadu (SIPP) Kementerian Perdagangan. Laporan itu juga akan digunakan sebagai referensi penerbitan shipping instruction.
”Permendag ini tidak mempersulit pelaku usaha. Justru memudahkan pelaku usaha karena hanya dengan sekali mendaftar dan melapor,” kata Suhanto.
Pencatatan dalam perdagangan antarpulau sebenarnya bukan hal baru karena sebelumnya juga sudah diatur dalam Permendag Nomor 29 Tahun 2017 tentang Perdagangan Antarpulau. Namun, sistem kali ini lebih terintegrasi antarkementerian dan lembaga serta hukumnya diwajibkan bagi setiap pelaku usaha.
Sistem kali ini lebih terintegrasi antarkementerian dan lembaga serta hukumnya diwajibkan bagi setiap pelaku usaha.
Kesenjangan harga
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra mengatakan, optimalisasi perdagangan domestik kerap terkendala sistem logistik nasional yang belum tertata dan sinergis. Penataan sistem logistik yang buruk kerap membuat barang/komoditas langka di suatu wilayah, sedangkan di wilayah lain surplus.
Sistem logistik yang buruk juga memunculkan kesenjangan harga yang drastis antarpulau, yang umumnya terjadi antara wilayah Indonesia bagian timur dan provinsi lain. Regulasi baru tentang wajib lapor daftar muatan itu diharapkan menjawab dua persoalan klasik terkait harga dan pasokan.
”Pembangunan negara baru bisa berhasil kalau dilakukan secara merata. Dalam perdagangan, artinya harus ada integrasi pasar dalam negeri,” katanya.
Sistem perdagangan antarpulau yang tertata juga bisa membantu memasarkan dan menjual produk unggulan lintas daerah. Setiap arus barang yang datang dan pergi akan tercatat sehingga perencanaan pengiriman distribusi barang dari daerah surplus ke daerah minus menjadi lebih mudah, terkendali, serta bisa menekan biaya.
Sistem perdagangan antarpulau yang tertata juga bisa membantu memasarkan dan menjual produk unggulan lintas daerah.
Menurut Suhanto, hal ini menguntungkan pelaku usaha karena bisa mendapat informasi yang pasti tentang volume dan jenis produk/komoditas yang berasal dari wilayah tujuan pengiriman. Selama ini, berkaca pada pengalaman Gerai Maritim lewat tol laut, setelah kapal dari daerah surplus merapat di daerah tujuan, kapal itu kerap kembali dengan muatan kosong.
”Hal ini tentu membuat biaya jadi tinggi. Dengan adanya pencatatan ini, justru ada kepastian. Setelah pelaku usaha mengapalkan suatu produk ke suatu daerah, pelaku usaha itu bisa memastikan apa produk yang bisa dia bawa balik dan perdagangkan dari daerah tersebut,” kata Suhanto.
Laporan dari dinas-dinas yang menjalankan tugas perdagangan di daerah yang dilalui tol laut menunjukkan, Gerai Maritim berhasil menurunkan harga 20-30 persen dari harga sebelumnya. ”Artinya, ini bisa mengurangi disparitas harga yang selama ini sangat tinggi antara daerah produsen dan daerah terluar,” katanya.
Kepala Lembaga National Single Window Agus Rofiudin mengatakan, pihaknya telah mengembangkan aplikasi daftar muatan antarpulau untuk mendukung penerapan kewajiban lapor manifes domestik. ”Kami telah menyiapkan sistem yang dibutuhkan untuk mewujudkan pelaporan itu. Namun, aplikasi ini masih butuh penyempurnaan agar lebih maksimal pelaksanaannya,” katanya.
Untuk memastikan kebijakan itu berjalan baik, dibutuhkan kolaborasi dan dukungan dari pelaku usaha untuk patuh pada peraturan. Menurut Agus, aplikasi tersebut tidak akan merepotkan pengusaha dan pemilik muatan, tetapi justru meringankan beban kewajiban mereka.
Kemudahan itu antara lain fitur sekali jalan (auto complete), berhubung sistem NSW sudah terintegrasi dengan sistem pendataan elektronik lainnya seperti Online Single Submission (OSS), Inaportnet Kementerian Perhubungan, serta Inatrade Kementerian Perdagangan. ”Ada juga fitur trace and tracking supaya pemilik muatan bisa melacak dan menelusuri pengiriman muatannya. Harapan kami, pelaku usaha justru dimudahkan dan mau berpartisipasi,” katanya.